Thursday 31 January 2019

AKTIVITAS MANUSIA BERBASIS INFORMASI TEKNOLOGI RABBANY


AKTIVITAS MANUSIA BERBASIS INFORMASI
TEKNOLOGI  RABBANY
           ===============================================
Oleh: Prof. Dr. Sukiman, M.Si
                PENDAHULUAN
           Salah satu keunggulan manusia adalah hayawan an-natieq (hewan yang berfikir), sehingga otak manusia itu dianugerahi oleh Allah lebih kurang 60 milyard sel syaraf otak. Dengan jumlah yang bergitu besar sel yang dapat meyimpan partikel-partikel ilmu pengetahun dan cara kerja serta gerakan manusia. Dengan modal syaraf otak manusia itulah, manusia diberikan amanah untuk menjadi khalifah di bumi, dengan memiliki kemampuan untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Disinilah peran pendidikan akan memberikan wawsan ilmu pengetahuan (kognisi) sikap (afeksi) dan pengamalan (psikomotor) bagi manusia. Dimensi pendidikan dalam yang dapat membentuk ketiga potensi di atas, sejatinya dilakukan beberapa model, pertama; ta’lim untuk mengisi kecerdasan akal dengan diberikan  sejumlah ilmu pengetahuan agar hidupnya tetap dalam kebenaran (haq) dan jauh dari kesalahan (bathil). Kedua; tarbiyah untuk mengisi kecerdasan emosional (jiwa) dan keterampilan, sehingga seseorang memilki skill alternatif dan dapat mencapai kebaikan (thayyib) dan terhindar dari keburukan (syarr). Ketiga; ta’dib untuk mengisi kecerdasan spiritual agar manusia ini melaksanakan ibadah secara benar dan kontinutas sehingga hidupnya mulia (takrim)  dan terhindar dari kehinaan. Keempat; tazkiyah adalah untuk mengisi kecerdasan hati (qalb) agar manusia memperoleh rahmat (ni’mat) Allah dan terhindar dari laknat Allah berupa bencana atau musibah. Kelima; riyadhah untuk mengisi kecerdasan fisik berupa kesehatan lahir dan bathin agar hidup manusia sehat wala’afiyat, (M. Quraish Shihab, 1992:287), dan terhindar dari penyakit, sehingga memperoleh kebahagiaan (saadah) dan terhindar dari  kesengsaraan (al-wail). Keenam; sillat ar-rrahim untuk mengisi kecerdasan sosial agar hidupnya semakin luas (alwasi’) dan terhindar dari sempit (dhayyiq). Dengan bergitu, seorang manusia mesti berusaha menempatkan diri dalam posisi yang benar, baik, mulia, memperoleh rahmat Allah, sehat dan bersosial. Potensi-potensi tersebut sangat mempengaruhi kualitas kehidupan seorang manusia baik di dunia maupun untuk akhirat.
          Seluruh hidup manusia ini teleh diatur, ditetapkan dan dikendalikan oleh Allah Swt secara zahir maupun bathin, tidak ada sedikitpun yang luput dari pantauan dan aturan Allah Swt. Dengan begitu Allah Swt memiliki kekuasaan yang sangat besar (Agung) untuk memprogram seluruh data kehidupan manusia sejak dari zaman azaly, perbuatan-perbuatan manusia di dunia sampai mempertanggung jawabkan perbuatannya di akhirat. Jadi semua kegiatan hidup adalah sebagai data yang telah dirancang di Lauh Al-Mahfudz sebagai Pusat Data Hidup  Manusia (PDHM) mulai dari rancangan atau  blue print kehidupan dan catatan amal ibadah seseorang yang dikirim  berupa amalan-amalan manusia di alam dunia, seterusnya sampai pada hari akhirat, tersimpan rapi di pusat data ini.  Data-data hidup manusia ini terdiri dari data kebaikan (al-hasanah) dan data keburukan  (al-syaiat) data yang baik ini akan diberi Allah balasan berupa pahala (as-tsawab) dan di akhirat akan dimasukkan Allah ke dalam Surga (al-Jannah) sebaliknya data buruk dan kejahatan akan diberikan dosa (al-iqab) dan akan dimasukkan Allah ke dalam Neraka (an-Nar).
         Kertas kerja ini mencoba membahas secara imajinatif teologis berdasarkan ungkapan-ungkapan Alquran dan hadis-hadis Nabi Muhammad  Saw, maupun pendapat para ulama dengan menggunakan metode renungan dan analogi ilmiah berdasrkan penggunaan informasi teknologi secara faktual di dunia ini. Di zaman modern sekarang ini teknologi buatan manusia sudah begitu cangggih seperti computer, TV, leptop, hand phon yang kemudian dapat dijadikan sumber data serta melakukan hubungan komunikasi jarak jauh seperti internetan, email, telekomfrens, transaksi keuangan dan yang lainnya. Tentu saja Allah telah menciptakan informasi teknologi super cangggih yang dapat menyimpan, mengakses data-data manusia bahkan alam semesta ini tunduk dan patuh terhadap perintahnya (Q.S.  ). Sangat berbeda dengan tekologi informasi  buatan manusia yang terbatas  hanya berkutat antara manusia di alam dunia ini saja, sedangkan teknologi informasi buatan Allah dapat dimanfaatkan oleh manusia di dunia sampai nanti di akhirat dan dapat dilihat dan dikendlikan oleh Malaikat mencakup seluruh makhluk Allah Swt. Dalam tulisan ini dicoba mengelompokkan pembahasan  meliputi pangkalan data di Luhun Al-Mahfuz lalu kemudian bagaimana  data diproses sampai ke pusat data, evaluasi data dan tentu saja bagaimana pula cara mmeperbaiki data sekiranya hilang atau rusak dimakan oleh virus-verus jahat.
LAUHU AL-MAHFUDZ SEBAGAI PUSAT PANGKALAN DATA MANUSIA
               Dalam pandangan ilmu Pembangunan Islam bahwa blue print (cetak biru) kehidupan manusia  pada hakikatnya sudah  ada dalam perjanjian (MoU) yang disepakati antara manusia dengan Allah yang ditetapkan dalam satu waktu dan tempat di alam azaly yang dinamakan dengan Lauh al-Mahfudz (Q.S. 58:22).  Lauh al-Mahfuzd itu sendiri berada di kawasan Al-‘arsy Allah Swt, (Q.S.7:54) tsummastawa ‘ala al-arsy bermakna bersemayam di atas Arsy atau ditafsirkan sebagai berkuasa atau kekusaan Allah dalam mengatur dan mengendalikan alam raya, tetapi tentu saja hal tersebut sesuai dengan kebesaran dan kesucian Nya dari segala sifat kekurangan atau kemakhlukan. Arsy diartikan sebagai tempat duduk raja atau singgasana, jadi Allah Swt pemilik Arsy Yang memegang kendali kekuasaan dan semua merujuk dan tunduk kepada Nya. (M. Quraish Shihab, 2004:139).  Lauh al-Mahfuzd juga dimaknai dengan ummu al-kitab (induk catatan), kitab terpelihara (Q.S: al-Waqiah: 78), kitab yang nyata (Q.S. An-Nahl ayat 75).
             Selain itu, Lauh al-Mahfudz sendiri memiliki beberapa fungsi, pertama; tempat penyimpanan program atau rencana (qadha) Allah Swt. yang akan dwujudkan-Nya di dunia ini baik terhadap manusia, makhluk-makluk lain dan alam semesta, termasuk hal-hal yang akan terjadi berlaku di dunia maupun akhirat. Kedua, pusat data Ilahiyah bagi seorang hamba atau mahkluk Allah, di mana di tempat inilah dikemas secara rapi dan utuh amal ibadah serta semua prilaku manusia baik lahir maupun bathin (syirra wa alaniyah) yang kelak akan dibuka (print out) dan dapat diketahui dan diambil datanya untuk di klarifikasi dan dihisab di akhirat. Ketiga; Tempat hasil evaluasi dua arah antara qudrah Allah Swt. dengan amal manusia (ikhtiyar) manusia untuk kemudian dilakukan perbaikan berupa pengahapusan  serta penambahan data amal manusia di dunia, yang telah dihimpun oleh Malaikat  Kiraman dan Katibin.[1](Q.S.82:11-12). Keempat; tempat menerima kiriman (seving pahala) dari amal ibadah manusia berupa shadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat, anak amal shaleh,[2] termasuk doa, shadaqah dari keluarga dan orang-orang masih hidup. Salah satu wasiyat Rasulullah Saw kepada Abu Dzar Al-Ghifari, bacalah Al-quran karena sesungguhnya ia akan  menjadi cahaya (nur) bagimu di bumi dan menjadi simpanan (zuhrun: deposito) di langit (Lauh al-Mahfuzd). (Hasan Al-Banna, 2012:307). Dalam fungsi pertama Lauh al-Mahfuzd di zaman ‘azaly itulah Allah Swt. telah menciptakan roh-roh manusia dan membuat perjanjian (fakta integritas) antara Allah Swt selaku Khalik dan manusia sebagai makhluk dengan membuat pernyataan aqidah di hadapan Allah  Rabbul Jalil untuk menjadi seorang yang Rabbany yang beriman dan bertaqwa kepada Allah Swt, dengan menyatakan “alastu birabbikum qalu bala syahidna” Pengakuan ini termaktub dalam firman Allah surat Al-A’raf ayat 172 :
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آَدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (172)
        Maknanya:Ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adamketurunan mereka dan Allah mengambil kasaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman)”Bukakah Aku ini Tuhanmu?”Mereka menjawab “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi (Kami lakukan yang demikian itu) agar dihari Kiamat kamu tidak mengatakan, “sesungguhnyaketika itu   kami lengah terhadap ini. (Q.S.8:172).
       Menurut Muhammad Syukri Salleh (2003:34-35), bahwa ikrar manusia di alam roh ini melahirkan tiga hal penting bagi kehidupan manusia di dunia. Pertama, dikurniakan status sebagai hamba Allah s.w.t. Kedua, manusia dikurniakan pula garis panduan atau pelan induk (blue print) kehidupan di dunia.  Ketiga, manusia dimaklumkan bahwa alam roh, alam dunia dan alam akhirat sebenarnya merupakan alam-alam yang berkesinambungan dan tidak terpisah antara satu sama lain. Alam roh merupakan alam perjanjian, alam dunia merupakan alam pembuktian dan alam akhirat merupakan alam pembalasan. Oleh sebab itu, maka terbuktilah bahwa semua keturunan manusia sebagai anak Adam telah diberikan potensi sebagai makhluk yang beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. Potensi iman dan takwa ini direspons kelak oleh kedua orang tuanya berdasarkan giliran yang telah ditakdirkan oleh Allah Swt. Jadi secara emberiologi roh keturunan Nabi Adam telah pernah transit di Surga sebagai pengalaman rohani dengan segala kenikmatan dan kebahagiaan yang ada di dalamnya, kendatipun kemudian Nabi Adam dan isterinya Hawa diturunkan ke bumi karena melanggar perintah Allah dengan mendekati pohon Khuldi, (Q.S.2: 35). Pengalaman rohani bagi keturunan Adam itulah diberikan perintah agama (Dienul Islam) sebagai wahana di dunia agar kelak masuk lagi ke dalam Surga.
        Setiap manususia sesungguhnya telah memiliki pangkalan data di Lauh al-Mahfuzd atau sebut saja arsip Ilahiyah, pangkalan data ini baru sekedar tempat identitas maupun ruang catatan hidup manusia. Dalam pangkalan data ini baru tersimpan perjanjian seseorang manusia dengan Allah (Q.S.8:172) yang telah disebutkan di atas. Selanjutnya pangkalan data yang telah diisi dengan blue print, lalu kemudian baru ditambah dengan program umum atau istilah manajemen kepegawaian disebut dengan SKP (Sasaran Kerja Pegawai) sejatinya semua manusia telah menentukan sasaran kerja,  sebut saja SKM (sasaran kerja manusia)  yang akan dilalui oleh seseorang, yang terdiri dari empat kolom. Empat kolom itu sesuai dengan sabda Rasulullah Saw. yang bermakna:
    Dari Abi Abd Rahman Abdullah bin Masud Radhiyallahu anhu, Rasulullah Saw bersabda: ”Sesungguhnya seseorang kamu dikumpulkan kejadiannya dalam rahim ibunya empat puluh hari sebagai nutfah (air mani), kamudian menjadi ‘alaqah” (darah) semisal itu, lalu manjadi mudghah (daging) semisal itu, kamudian diutuslah  Malaikat untuk membawa roh seseorang di dalam rahim itu, lalu diserulah kepadanya empat hal, yaitu; catatan rizki, umur (ajal), celaka atau bahagia” (H.R. Bukhari Muslim).
       Keempat kolom (rubrik) itulah kelak seseorang akan mengisinya sebagai Sasaran Kerja Manusia (SKM). Jadi, semua amal perbuatan manusia itu akan diisi scara Online ketika manusia melaksanakan kegiatan walaupun sebesar molekul sekalipun (Q.S. 99:7-8), semua data itu akan tersimpan rapi di Pusat Data Manusia (PPM) di Lauh al-Mahfuzd. Data-data terekam sacara otomatis dari alam dunia menuju sasaran pusat data. Apabila ditelusuri secara mendalam bahwa empat rubrik data manusia yang telah disebutkan Nabi Muhammad Saw, itu merupakan pilar utama kehidupan. Pertama, antara rizki dan azal, kongkritnya antara aktivitas ekonomi dan umur, karena kedua indeks ini merupakan inti dari hidup. Apapun yang hendak dilakukan tentu mesti menggunakan harta (al-mal) sebagai modal dasar. Itu sebabnya Imam Al-Syatiby (tt:3).  meletakkan memelihara harta (maal) sebagai salah satu unsur  maqasid syariah, yang mesti dimiliki oleh manusia, dengan harta itulah seseorang dapat melakukan amalan-amalan ibadah, muamalah, akhlak bahkan imanpun sangat dipengaruhi oleh harta. Rasulullah Saw menyampaikan dalam sebuah hadisnya yang berbunyi:”kadal faqru an yakuna kufran” artinya: kefakiran akan membawa kepada kekufuran.  Lebih kongkrit lagi melakukan ibadah ke dalam masjid mestilah dengan maal bahkan sebelum melakukan ibadahpun perut diisi dahulu dengan makanan, lihat firman Allah dalam surah al-‘Araf ayat 31.
يَا بَنِي آَدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ (31)
Maknanya: Wahai anak cucu Adam Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebih-lebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihanan (Q.S.7:31).
       Begitu pentingnya harta (maal) dan aktivitas manusia, lebih dari itu apabila ada orang fakir tentu berpengaruh terhadap pengamalan ibadah sehingga kurang khusu’ (serius) malakukan ubudiyah kepada Allah, karena di samping  terus memikirkan bagaimana mencari harta juga terasa rendah diri dalam memasuki rumah Allah dan ada rasa malu dengan orang lain akibat tidak mempunyai harta ini. Sekali lagi rizki sangat mempengaruhi ibadah apalagi umat Islam disuruh naik haji, berqurban, bersedaqah, zakat yang tentu memerlukan harta. Ada lagi pesan keislaman bahwa doa orang muslim tidak tertetima disisi Allah jika memiliki harta yang haram. Ironisnya lagi, orang yang fakir dan miskin  baik fisik maupun miskin cultural membuat penderitaan hidup mereka sama dengan penderitaan di neraka. (Luqman Sutrisno, 1989:5). Mencari rizki yang halal dan aktivitas ibadah, muamalah dan akhlak melibatkan waktu sepanjang umur seseorang, sejak dari mukallaf sampai tutup usia. Jadi semua kehidupan manusia berada pada interval umur dan rizki, maka sudah tentulah semua aktivitas masuk dalam pangkalan data riki dan ajal.
      Pangkalan data kedua, ialah bahagia (syaadah) dan syaqiyah (celaka) sebagai dua jalan hidup sejak dari dunia sampai akhirat. Itu sebabnya Allah menurunkan Dienul Islam sebagai wadah penyelamat manusia baik di dunia maupun di akhirat (Q.3:19). Siapa yang jauh dari Islam maka ia akan merugi di akhirat (Q.S. 3:85). Barangsiapa yang mengamalkan ajaran Islam dia akan mendapatkan kebahgiaan dan barangsiapa yang meninggakan ajaran Islam maka ia akan celaka. Maka tujuan ajaran Islam adalah memberikan jalan akan manusia selamat sehingga diberikan dua pola yaitu, orang beriman megerjakan amal haleh akan mendapat pahala dan ujrah maka di akhiat masuk surga, sebailiknya orang yang kufir akan mendapat dosa (tsawab/iqab) dan di akhirat masuk Neraka. Maka sudah semestilah data-data yang membawa kepada dua jalan itu akan terus terinput dalam pangkalan data kedua ini, yang kelak nanti dia akhirat akan diterimanya.
          Sistem masuknya data ke dalam website seseorang melalui empat kolom yang telah dikemukan di atas, sangat otomatis dan pleksibel, artinya bahwa data yang masuk itu merupakan yang baik maka sudah terdeteksi secara dini dari niat dan diringi dengan kerja maka telah memdapat nilai ganda (niat+perbuatan). Apabila niat saja tanpa diiringi dengan kerja masih mendapat nilai satu point, sekiranya diringi dengan kerja maka dapat sepuluh point. Sedangkan pekerjaan buruk/ jahat, yang baru direncanakan atau niat saja maka belum masuk menjadi data kejahatan, akan tetapi jika diiringi dengan perbuatan jahat dsiniah baru masuk sebagai perbuatan dosa dalam pangkalan data (Q. S. 6:160). Jadi password data manusia secara otomotis muncul dari niat. Sabda rasulullah Saw, yang maknanya: “Sesungguhnya amal seseorang dimulai dari niat, dan sesungguhnya setiap urusan tergantung kepada niatnya, maka barangsiapa yang hijrah karena Allah dan Rasulnya maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasulnya, dan barang siapa yang hijrah karena dunia atau karena wanita yang akan dinikahinya maka hijranya itu apa yang ia niatkannya” HR. Muslim.
PROSES TRANMISI  DATA-DATA KEHIDUPAN  MANUSIA
            Manusia  beriman mulai diperhitungkan perbuatannya sejak  telah dibebani kewajiban (mukallaf) beragama di mana beban tersebut dalam bingkai hukum taklifi  meliputi hukum wajib, haram, sunnat, makruh dan mubah. Semua yang dikerjakan oleh umat Islam  tidak terlepas dari kelima hukum ini, sehingga setelah mukallaf inilah pekerjaan manusia sudah dihitung, apakah pekerjaan tersebut masuk dalam kategori pahala (tsawab) ataukah termasuk dalam dosa (zanbun/iqab), langsung dikirim ke Pusat Pangkalan Data (PPD) manusia di Lauh al-Mahfudz. Agar data itu akurat dan benar tentu, Islam mengajarkan bahwa setiap manusia mengawalinya dengan niat (nawaitu) serta diiringi dengan kalimat al-Basmallah dan ditutup dengan al-Hamdalah. Dalam sebuah hadis disebutkan bahwa “setiap urusan tidak dimulai dengan bismillah maka ia akan terputus.
         Adapun operator Informatika teknologi pekerjaan manusia ini dikendalikan oleh Malaikat Kiraman dan Katibin seperti yang difirmankan oleh Allah dalam surat al-Infitar ayat:  
وَإِنَّ عَلَيْكُمْ لَحَافِظِينَ (10) كِرَامًا كَاتِبِينَ (11) يَعْلَمُونَ مَا تَفْعَلُونَ (12)     
MaknanyaSesungguhnya kamu ada yang mengawasinya yaitu Kiraman Katibin, mereka mengetahui apa yang kamu lakukan (Q.S: 19:10-12).   
        Bagi Malaikat sebagai operator amal manusia, hanya bekerja untuk menginput, mengapdit, dan mengirim pebuatan manusia ke Pusat Data Manusia, menjadi deposito  bagi seseorang di akhirat. Adapun alat rekam (recoard) seluruh perbuatan manusia, Allah Swt telah menciptakan sebuah alat super canggih yang telah diletakkan di leher (unuq) yang sanggup merekam semua bentuk gerak-gerik, perbuatan baik yang tampak maupun yang tersembunyi secara otomatis dan nonstop. Hal ini disampaikan oleh Allah dalam  surat Al-Isra’ ayat 13-14 berbunyi:
وَكُلَّ إِنْسَانٍ أَلْزَمْنَاهُ طَائِرَهُ فِي عُنُقِهِ وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا (13) اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا (14)
Maknanya:Dan setiap manusia telah Kami kalungkan (catatan) amal perbuatannya di lehernya. Dan pada hari Kiamat Kami keluarkan baginya sebuah kitab dalam keadaan terbuka. Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghitung atas dirimu  (Q.S.17: 13-14).
          Berdasarkan ayat di atas, maka semua gerak gerik manusia sesungguhnya telah direkam secara utuh, totalitas dan berkesinambungan dan di akhirat nanti catatan rekaman data itu akan dibuka secara online. Akhirat adalah sasutu rukin iman yaitu percaya kepada hari akhir, karena di sinilah Allah Swt. akan memberikan balasan terhadap perbuatan manusia di dunia, berupa perbuatan baik maupun yang buruk.  Untuk mendapatkan balasan tersebut tentu amalan-amalan manuia tersebut mestilah ditelusuri dan diklarifikasi melalui tiga bentuk, yaitu  (1) niat  (2) perkataan dan (3) perbuatan. Oleh sebab itu, setiap niat yang dicetuskan, kata yang keluar dari mulut, setiap tindakan yang dilakukan oleh anggota tubuh kita dicatat dalam eter (Waheeduddin, 1983:116), yang dalam al-Quran disebut dengan Unuq. Fakta ilmiah membuktikan bahwa memang apa-apa saja kita alami, kita kerjakan yang terjadi dalam hidup kita senantiasa dapat kita ingat-ingat lagi perisiwa-peristiwa ini masih dapat kita orientasi ulang semenjak kita sudah balligh (berakal). Terdapat percobaan ilmiah membuktikan bahwa seluruh fikiran kita tersimpan dalam bentuknya yang sempurna dan kita tidak akan mampu untuk menghilangkannya. Percobaan-percobaan tersebut membuktikan pula bahwa kepribadian tidaklah rerbatas pada apa yang kita sebut dengan “alam sadar”. Di samping alam sadar itu terdapat bagian lain dari kepribadian manusia yang terletak di balik alam sadar yang disebut Freud dengan “alam bawah sadar” (Waheeduddin, 1983: 117). Dalam “alam bawah sadar” itulah terekam data kehidupan manusia dari ketiga dimensi yang telah disebutkan di atas, sehingga benar-benar menjadi hardis (sofe copy) dan foto copy ( haad copy) nya telah dikirim ke pusat data manusia.
         Secara lebih rinci perlu diketengahkan fakta ilmiah berkaitan dengan ketiga dimensi data manusia yang direkam sebagai berikut:
 Pertama: Niat, adalah berupa keinginan hati yang tercetus dalam diri seseorang, yang menurut S. Freud bahwa dorongan-dorongan tersembunyi (conative impulses) yang tidak pernah keluar dari alam bawah sadar, bahkan renungan-renungan yang bersifat khayali yang terpendam dalam bawah sadar, tetap ada dalam kenyataan dan hakikatnya tersimpan sampai puluhan tahun seolah-olah ia baru terjadi kemaren (Waheeduddin, 1983:118).  Dalam pengalaman hidup kita shari-hari, keadaan itu benar terjadi adanya, sehingga sering terulang dalam pikiran kita, terutama ketika dalam keadaan tertentu sering memutar jarum jam sejarah hidup kita. Jika pengalaman itu menyenangkan tidak jarang ia tersenyum indah bahkan ketawa kecil ketika mengingatnya, sekiranya ingatan masa lalau itu buruk dan meneyeramkan terkadang kening dan wajah berkerut, itulah data kejiwaan sesorang tetap tersimpan rapi dalam hardis manusia.
Kedua, Ucapan adalah sasuatu yang melekat dalam diri manusia yang sehari-harinya berkomunikasi sesama manusia untuk melakukan kegiatan, termasuk juga beribadah menggunakan komunikasi. Sangat jelas bahwa, setiap manusia akan mempertanggung jawabkan semua ucapan-ucapan baik ucapan yang benar maupun yang  buruk, puji-pujian, atau caci maki sekalipun dan seluruh ucapan yang telah keluar dari mulut sesorang akan direkam  dalam catatan lengkap, firman Allah Swt. dalam surat Qaf ayat 18 yang bermakna: “Tidak  ada satu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap mencatat”. (Q.S. 50:18). Catatan ini akan diajukan ke hadapan Mahkamah Agung di akhirat untuk penyelesaian perkara hisab manusia.
 Ketiga, perbuatan merupakan gerak-gerik fisik manusia yang sesungguhnya manjadi bukti autentik ketaatan maupun pengingkaran manusia terhadap perintah Allah, fisiklah yang tampak melakukan ibadah seperti shalat, puasa, zakat dan haji. Perbuatan mencuri, membunuh, judi dan perbuatan kejahatan lainnya juga tampak secara fisik. Semua perbuatan-perbuatan jasmani terekam menggunakan alat digital otomatis buatan Allah yang bernama unuq yang telah disebutkan di atas tadi. Alat ini merekaman ini secara kontinu dan lengkap. Penenelitian ilmiah yang telah membuktikan bahwa segala sesuatu, baik yang terjadi pada tempat yang gelap maupun yang terang, benda mati maupun bergerak, semuanya memancarkan panas secara terus menerus pada setiap keadaan dan disegala tempat. Pasan tersebut merefleksikan semua bentuk dan dimensi peristiwa secara sempurna. Seperti halnya suara yang merupakan refleksi dari gelombang-gelombang yang digerakkan oleh lidah. (Waheeduddin, 1983:123).
        Jadi ketiga data yang disebutkan tadi berupa niat, ucapan dan perbuatan telah direkam oleh alat digital bautan Allah yang sudah diletakakan di leher manusia atau semacam CCTV (central of circuit tv) yang dalam al-Quran disebut dengan unuq. Data-data ini setiap waktu dikirim ke Lauh al-Mahfuzd menggunakan email, faximel, feshbook tentu saja versi malaikat. Amal manusia ini dikirim setiap hari senin dan kamis, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Saw, yang bermakna: “Kemudian dikirimlah amal-amal manusia setiap hari Kamis dan Senin, maka Allah ‘Azza wajalla mengampuni dosa manusia pada setiap hari itu bagi mereka-mereka yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun” (HR.Muslim).
           Manurut suatu temuan seorang ahli, bahwa amal ibadah umat Islam akan dikirim ke Hadirat Allah lewat jalur Ka’bah, jadi semua doa dan amal ibadah seseorang akan menumpuk di Ka’bah, lalu dengan kegiatan tawaf seseorang yang berhaji maupun umrah memutarkan moor raksasa di atas Ka’bah ke angkasa luar yaitu ke langit sebagai tempat Arasy Allah bersemayam.[3] Cara seperti ini tentu diberikan kepada orang-orang umum sehingga semua amal ibadah mesti mengikuti regulasi teolgis, tentu berbeda dengan orang muqarrabun (orang khawas), di mana amal ibadahnya secara langsung dapat dikirim tanpa prosudur dan jalur regulasi.
           Selanjutnya amal ibadah yang telah dikirim dan disimpan di Lauh Mahfudz itu kelak akan  akan dihitung, sehuingga ia mengetahui amalnya itu masing-masing,  Allah berfirman dalam surat al-Qari’ah ayat 6-9 berbunyi :
فَأَمَّا مَنْ ثَقُلَتْ مَوَازِينُهُ (٦) فَهُوَ فِي عِيشَةٍ رَاضِيَةٍ (٧) وَأَمَّا مَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ (٨) فَأُمُّهُ هَاوِيَةٌ (٩(
Maknanya: "Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan) nya. Maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan. Dan adapun orang-orang ringan timbangan (kebaikan) nya. Maka tempat kembalinya adalah neraka Hawiyah" (Q.S.554:6-9).
SISTEM PEMBAHARUAN DAN PERBAIKAN DATA MANUSIA
Selama manusia hidup semua aktivitas kebaikan dan keburukannya telah dikirim ke Lauh al-Mahfuzd, tetapi tidak semua amal ibadah yang terkirim itu masuk dalam pangkalan data. Akan tetapi bisa jadi amal ibadah itu tidak sampai dalam catatan itu, akibat seseorang melakukan kesalahan atau amalan-amaan tersebut telah dimakan oleh verus (dosa) akibatnya seseorang akan menjadi bangkrut di akhirat.[4] Adapun virus yang dapat menghapus atau memakan pahala seseorang adalah hasad wa akhawatuha, seperti kibir (sombong), namimah (membicarakan orang lain), syum’ah (mengupat), ghibah (membuka aib orang lain), riya (pamer amal), syuudzan (buruk sangka) dan hasad (dengki). Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi: “Iyyakum min al-hasadi fainnalhasada yakululhasanata kama yakulul nnarul khutaba”. Maknanya” Berhati-hatilah kamu dengan dengki karena dengki akan mamakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar”.
        Sebagai ilustrasi saja bahwa seseorang tidak dapat mngetahui secara pasti apakah amal ibadahnya sudah memenuhi jumlah kuota pahala untuk masuk Surga, ataukah dosanya lebih besar dibandingkan dengan pahalanya sehingga ia mengira sudah menseving banyak pahala tetapi karena pahalanya disantap oleh virus-virus buatannya sendiri akhirnya kelak ia akan masuk Neraka. Sabda Rasulullah Saw, yang bermakna: “Sungguhnya di antara kamu ada yang beramal dengan amalan ahli surga sehingga antara dia dengan surga tinggal sehasta saja, tetapi didahului dengan datang catatan amalnya ternyata ia menjadi ahli neraka maka masuklah ia ke dalamnya. Dan sesungguhnya ada di antara kamu beramal dengan amalan ahli nereka, sehingga antara dia dengan neraka tinggal satu hasta saja  maka didahului dengan datangya catatan amalnya ternytata ia sebagai ahli surga dan masuklah ia kedalamnya”. (HR. Bukhari Muslim). Dari hadis ini, dapat difahami bahwa meskipun sudah ditakdirkan Allah Swt, bagi seseorang memperoleh surga atau neraka, tetapi masih diberi peluang oleh Allah untuk memperbaikinya, sehingga dapat memilih untuk masuk surga. Dalam kajian ilmu kalam, memang terdapat dua aliran besar terhadap menetukan amal manusia yaitu Jabariyah (Teosentris) dan Qadariyah (Antroposentris).  Aliran Jabariyah, berpendapat bahwa perbuatan manusia telah ditentukan oleh qadha dan qadar dari Allah. Menurut al-Syahrastani (2008:69) aliran Jabariyah menafikan (menolak) adanya perbuaatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan semua perbuatan kepada Allah Swt. Meskipun aliran ini menggunakan ayat al-Quran sebagai landasan argumennya di antaranya (Q.S.37:9) dan (Q.S.76:30). Semantara aliran Qadariyah berependapat sebaliknya, bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta segala perbuatnnya, ia dapat berbuat sesuatu dan meninggalkannya atas kehendaknya sendiri (Q.13:11). Manusia mempunyai qudrah (kekuatan) sendiri untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian behwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar Tuhan. (Harun Nasution, 1972:31). Aliran ini juga menggunakan beberapa ayat al-Quran sebagai landasan ajaran mereka dinataranya (Q.S. 13:11). Walupun ada jalan tengah  antara dua aliran yang kontradektif dengan teori “al-Kasab” berupa bertemunya antara usaha maksimal manusia dengan takdir Allah. Menurut Asyari, manusia tidak memiliki kemampuan, tanpa ada izin dan pengetahuanNya. Perbuatan baik dan buruk hanyalah terjadi dengan kehendakNya, mereka menjadi saleh jika Tuhan memberinya petunjuk, niscaya mereka mendapat petunjuk itu (Al-Asyari, tt:9). Menurut Harun Nasution (1975:109), bahwa teori al-Kasab ini, tidak akan lepas dari asumsi dasarnya tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Manusia dan perbuatannya adalah ciptaan Tuhan, sedangkan manusia hanyalah sebagai alat untuk berlakunya perbuatan Tuhan.
           Apapun yang dibincangkan oleh para mutakallim itu, pada akhirnya terserah kepada Alllah, karena Dialah yang mengatur dan melakukan qudrah dan Iradahnya kepada manusia termasuk menentukan seseorang untuk masuk surga ataukan neraka. Walaupun demikian, manusia tetap berusaha maksimal memperoleh derajah yang mulia di akhirat. Untuk itulah, kita bersuha untuk memperbaiki catatan amal yang sudah dikirim dan tersimpan di Lauh al-Mahfuzd.  Allah Swt dan Rasulnya, memberikan kesempatan untuk beramal ibadah yang luas dan menghapus dosa masa lalu yaitu bulan Ramadhan sebagai masa perbaikan amal shaleh. Sabda Rasulullah Saw. Man shama Ramdhana imanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min zanbihi (Barang siapa yang berpuasa dengan penuh perhitungan maka Allah akan menghapuskan dosa-dosanya yang lalu). Dalam hadis lain, Man qama amadhana imanan wahtisaban ghufira lahu ma taqaddama min zanbihi (Barang siapa yang shalat tarawih malam Ramadhan dengan penuh perhitungan maka Allah akan menghapuskan semua dosa-dosanya yang lalu”. Jadi kehadiran bulan Ramadhan sesungguhnya merupakan bulan perbaikan amal ibadah (menambah pahala) dan menghapuskan dosa, maka seorang insan rabbany akan benar-benar mmeiliki stok amal ibadah yang surplus. Apalag jika mendapatkan malam lailatul qadar dengan jumlah pahala sampai seribu bulan yang setara dengan beribadah 86 tauhun, tentu saja seorang muslim rabbany ini akan ditempatkan Allah di Surga Jannatun Naim.
PENUTUP
 Begitulah secara umum amal perbuatan di bumi dan setiap hari dan setiap tahun amalan-amalan manusia dikirim kapada Allah dan akan disimpan di cacatatan amal di Lauh al-Mahhfuz. Catatan amal manusia ini direkam melaui alat monitor digital supra Ilahiyah yang disebut Unuq (Q.S. 17:13-14) oleh Malaikat Kiraman Katibin (Q. S.83:10-12). Layar monitor inipun berjalan secara otomatis dan non stop, sehingga Allah Swt melarang sesorang untuk menutup layar rekam monitor ini (Q.S. 17:29) agar data yang masuk ke Unug ini tercatat jelas dan benar. Sejatinya semua amalan-amalaan manusia yang telah dikirim tesebut dapat masuk dalam kartu amalan di Lauh Al-Mahfuz itu, tetapi bisa jadi amal ibadah itu tidak sampai dalam catatan itu, akibat seseorang melakukan kesalahan atau dimakan oleh verus (dosa) akibatnya seseorang akan menjadi bangkrut di akhirat. Adapun virus yang dapat menghapus atau memakan pahala seseorang adalah hasad wa akhawatuha, seperti kibir (sombong), namimah (membicarakan orang lain), syum’ah (mengupat), ghibah (membuka aib orang lain), riya (pamer amal), syuudzan (buruk sangka) dan hasad (dengki). Sabda Rasulullah Saw yang berbunyi: “Iyyakum min al-hasadi fainnalhasada yakululhasanata kama yakulul nnarul khutaba”. Maknanya” Berhati-hatilah kamu dengan dengki karena dengki akan mamakan kebaikan seperti api memakan kayu bakar”.
Untuk memperbaiki amal ibadah manusia ini masih diberikan usaha yang maksimal ketika bulan Ramadhan datang. Di sini, seorang mauslim dapat mmeperbanyak amal shaleh yang dapat mengahapus dosa, sehingga catatan pahalanya semakin bertambah dan dosanya dihapuskan, sehingga tercatat sebagai ahli jannah.
Wa Allah ‘alam bi ash-Shawab
DAFTAR BACAAN

Al- Asy’ari. (tt) Al- Ibanah an ushul al-Diniyah. (Kairo: Idarah al-Tahabaah al- Muniriyah).
Abu Al-Fatah Muhammad Abd Karim bin Abi Bakar Ahmad al-Syahrastani (2008) Al-Milal wa an-Nihal. (Beirut: Dar al-Fikri).
Hasan Al-Banna (2012) Majmu’ atu Rasail (Surakarta: Era Adicitra Intermedia).
Harun Nasution (1986) Teologi Islam: Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan (Jakarta:UI Press).
                      Imam Al-Syatiby (tt) Al-Muawafaqah fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut: Daar al-Fikri)

                   Mansyur Amin (1989), Teologi Pembangunan:  Pandangan Baru Pemikiran Islam (Jakarta:   LKPSM NU DKI), hal. 5.

                   Muhammad Syukri Salleh (2003). 7 Prinsip Pembangunan Berteraskan Islam (Kuala Lumpur: Zebra Edition Sdn. Pusat Pengajian Sains Kemasyarakatan USM).


                   Muhammad Quraish Shihab (1992). Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan).  
 Wahiduddin Khan (1983) Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung: Pustaka Perpustakaan Salman Institut Teknologi Bandung).                                                     
 





                       


[1] Malaikat Kiraman dan Katibin (Mulia dan mencatatkan) mereka mengatehui apa-apa yang kamu perbuat, (Q.S.82)
      [2] Dalam hadis Nabi, apabila mati anak Adam hapuslah segala amalnya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang bermanafaat dan anak amal shaleh.
                                     [3] Menurut temuan ini,  kenapa harus shalat menghadap kiblat, juga kenapa harus ada ibadah tawaf, maka berdasarkan implikasi hukum Kaidah Tangan Kanan (hukum alam)  bahwa putaran energi kalau bergerak berlawanan dengan arah jarum jam, maka arah energi akan naik ke atas. Arah ditunjukkan arah empat jari dan arah ke atas ditujukan oleh arah jempol. Enegi yang terkumpul akan diputar dengan ke atas menuju langit, sebagai suatu  cerobong dari Ka’bah. Tuhan telah membuat saluran agar shalat dan doa dalam bentuk energi tadi agar sampai ke Hadirat Nya selama 24 jam sehari terpancar cerobong Energi yang terfokus naik ke atas langit. (http//palingseru.com/4831/ Hubungan Kiamat Dengan Kubah).
[4] Ada sebuah kisah, yang disampaikan oleh Rasulullah bahwa orang yang bangkrut di akhirat ialah orang-orang dia kherat telah membawa banyak amal ibadah baik amalan shalat, puasa, zakat dah haji tetapi banyak orang yang komplin atas kejhatannya di duia maka Allah mempersilaknnya untuk mengklarifikasi atas kebenaran tersebut, dan akhirnya pahala sedikit demi sedikit diberikan kepada yang menuntutnya, akhirnya  semua pahala-pahalanya telah habis, akan tetapi masih ada yang komlin maka dosa orang tersebut dibebankan kepadanya maka bangkrutlah dia.

Wednesday 16 January 2019

Nilai-Nilai Tasawuf Yang Relevan Bagi Pembinaan Karakter Kaum Profesional


Nilai-Nilai Tasawuf Yang Relevan Bagi Pembinaan Karakter Kaum Profesional
Oleh Prof. Dr. H. Muzakkir, MA
A. PENDAHULUAN
Membicarakan tasawuf Islam sepertinya tidak begitu relevan bagi kalangan masyarakat modern yang sedang memasuki suasana globalisasi dan kompetisi berbagai kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Tasawuf seperti terasing ditengah-tengah lalu lalangnya manusia yang sedang dikejar waktu untuk mencari nilai tambah pada hari-harinya yang kesemuanya berorientasi kepada nilai ekonomi. Kajian terhadap tasawuf terasa seperti menampilkan barang antik yang mempertahankan seseorang untuk tidak terlepas dari sikap fatalistik dan asketis.
Faktor yang menyebabkan munculnya kenyataan seperti itu, antara lain berpangkal dari kecenderungan memahami tasawuf dalam ruang lingkup gejala semantik semata tanpa melihat ia sebagai produk kebudayaan yang terkait dengan sejarah perkembangan keagamaan masyarakat. Pemahaman yang sempit menyebabkan tasawuf digambarkan bersimpuhnya seorang murid dihadapan para mursyid dengan pakaian yang sangat sederhana dan selalu pasrah dalam hidupnya, sebagai manifestasi dari sikap mencintai akhirat dan membenci dunia.
Faktor penyebab yang lain adalah disebabkan pula oleh posisi tasawuf yang terasa tidak populer ditengah-tengah ilmu keislaman yang lainnya yang menjadi kebutuhan mendesak seperti fiqh, teknologi dan aqidah. Disini, tasawuf hanya menjadi pelengkap saja dari keragaman dalam Islam meskipun oleh pengikutnya dipandang sebagai unsur esensial yang dapat menjadikan berkualitasnya amalan keberagamaan seseorang.
Kelompok-kelompok sufi (the sufi orders) yang melembaga dalam wadah tarekat (Arab, thoriqoh, jalan atau aliran tasawuf) begitu besar dalam membangun dan mengembangkan kehidupan Islam secara mendalam (esoteric).  Tanpa lembaga seperti ini, nampaknya dunia umat Islam akan kehilangan keseimbangan dalam memenuhi dan menjawab aspek batin keagamaannya. Sekalipun demikian sulitnya orang memahami tradisi yang satu ini sehingga akibat ketidaktahuannya mereka selalu mengecam kehidupan komunitas yang satu ini.Para pengamat sosial (antropolog, sosiolog dan sejarawan) banyak mencoba untuk “menjinakkan” lahan kajian kehidupan mereka yang rumit ini.  Kerumitan itu justru bagi sebagian ilmuwan merupakan lahan kajian yang unik dan menarik, semakin masuk kedalamnya semakin terbuai.  “Ia laksana kebun mawar” kata Schimmel, “aku enggan keluar…, setiap kuamati perilaku mawar itu semerbak baunya semakin membuat aku betah di dalamnya sehingga menimbulkan rangsangan-rangsangan pertanyaan yang tak pernah ada habisnya”.[1]
Seyyed Hossain Nasr mengatakan; “tariqoh is the most subtle ... aspect of Islam ... at the same time that is external effect is to be seen in many manifestation of islamic society and civilization”, bahwa tarekat sufi bukan hanya aspek terpenting dari Islam, tapi juga dalam panggung sejarah, mereka telah terbukti memberikan manifestasi yang sangat besar bagi pengembangan masyarakat dan peradaban Islam secara nyata.[2]
Kelompok puritanis dan awam yang hanya banyak mengenal Islam dari aspek exoteris (syari’at, lahiriyah, legal dan formal) sering kali mendeskriditkan keberadaan kelompok-kelompok sufidengan berbagai lembaga tarekatnya.  Ketegangan itu semakin melebar akibat yang satu lebih banyak menekankan lahiriyah semata, sementara yang lain lebih cenderung ke arah hakikat batiniyah dalam melakukan amalan-amalan Islam.
Sekalipun sebenarnya kelompok terakhir ini selalu berangkat dari tonggak-tonggak syari’ah, kecuali hanya orang-orang kebatinan murni saja.Simbolisme kehidupan dalam pengetahuan dan pengalaman beragama antara keduanya, yang satu lebih pada pengembangan potensi Nabi Hidlir as, yang satu lagi pada pengembangan potensi Nabi Musa as.Perilaku Nabi Musa as sebagai simbol exoterisme, seringkali terjebak oleh perilaku Nabi Hidlir as, yang lebih menonjolkan esoterisme-nya. Kedua potensi syari’at (exoterisme) dan hakikat (esoterisme) ini, pada akhirnya telah dipadukan oleh Nabi Muhammad saw.
Pendalaman untuk menempuh dan mencapai nilai-nilai hakikat beragama (Islam) sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw ini, kemudian dikembangkan dan dilakukan secara intensif oleh para sahabatnya, tabiin dan salaf as shalihin, mereka yang terakhir ini sering disebut sebagai kelompok-kelompok sufi. Namun demikian, untuk mencapai nilai-nilai hakikat ini memang memerlukan kesungguhan orang untuk mendapatkannya, sehingga jumlah mereka yang tertarikpun sangat terbatas. Mayoritas umat memandang sufi sebagai jalan yang pelik dan cukup rumit. Sehingga akibat kerumitan orang untuk memahami perilaku dan sikap hakikat mereka, masih saja  disebut mistik (gelap), bahkan tidak sampai disitu mereka katakan, bahwa sufisme adalah paham kelompok jumud, bid’ah dimana di dalamnya terdapat warna pasif dan anti intelektual. Padahal mereka itu sebaliknya kata Nasr:“Sufism is an active participan in a spiritual path and is intellectual in the veal meanning of this word. Contemplation in Sufism the higest form activity and in fact Sufism has always integrated the active and contemplative lives. That is why many Sufism have been teachers and scholars, artists and scientifists, and eve statesmen and soldiers.[3]
Tasawuf sebenarnya memiliki nilai-nilai yang indah serta mampu mengarahkan evolusi pengalaman keagamaan seseorang dalam Islam dan sangat relevan bagi pembinaan karakter para kaum profesional di era modern ini.Kita menginginkan tasawuf dapat menjadi sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di era digital sekarang. Dengan demikian, maka jalan yang ditempuh adalah dengan mengaktualisasikan ajaran tasawuf tersebut dalam konteks kebudayaan masyarakat yang selalu berkembang.
Tulisan berikut akan memaparkan tentang nilai-nilai tasawuf yang relevan bagi pembinaan karakter kaum profesional.

B. PROBLEMATIKA ASAL-USUL TASAWUF
Pembicaraan mengenai asal-usul tasawuf tidak dimaksudkan untuk mengulangi kembali tradisi yang dikemukakan oleh para penulis buku-buku tentang tasawuf, tetapi untuk menempatkannya sebagai persoalan yang menjadi salah satu di antara sekian banyak penyebab kemerdekaan.[4]
Beberapa penulis tasawuf, baik dari kalangan Islam atau Barat memulai uraiannya dengan penjelasan mengenai asal-usul kata atau istilah dan dari situlah kemudian tasawuf diberi pengertian. Dengan pola uraian seperti itu, maka tasawuf tidak lagi dapat menyentuh esensinya sebagai pengalaman keagamaan yang cenderung bersifat kondisional, menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat.[5]Sarjana Barat seperti Nicholson memulai uraiannya tentang mistik Islam dengan paparan tentang asal usul istilah tasawuf yang macam-macam. Mengikuti kelaziman para pendahulunya ia akhirnya berkesimpulan bahwa pandangan yang mendekati kebenaran tentang istilah tasawuf adalah yang menyatakan bahwa tasawuf berasal dari shuf, yang berarti bulu domba.[6] Pertimbangannya adalah karena kesesuaian makna istilah ini dengan perilaku kebanyakan para sufi yang menampilkan diri sebagai manifestasi dari kebencian mereka kepada dunia materi serta kecintaan mereka kepada akhirat.
Kalangan muslim sendiri seperti Ibrahim Basyuni memberikan penjelasan mengenai asal-usul tasawuf dengan uraian tersendiri ketika menyatakan bahwa untuk memahami tasawuf harus berpangkal pada tiga elemen dasarnya, yaitu al-Bidayah, al-Mujahadah, dan al-Mazaqat.[7]Elemen pertama mengandung arti bahwa secara dasar manusia mengakui bahwa semua hal yang ada ini memiliki peluang yang sama untuk dekat dengan-Nya. Semakin dekat dengan-Nya maka semakin sedikit tabir pemisah yang menghalangi antara ia dengan Yang Maha Agung tersebut. Apa yang dikatakan oleh Makruf al Karkhy, bahwa tasawuf adalah mengambil hakekat dan bersikap acuh tak acuh terhadap apa saja yang ada ditengah makhluk, merupakan contoh dari pengertian elemen dasar yang pertama ini.[8]
Elemen kedua mengandung arti bahwa dalam mendekati Yang Maha Agung, Tuhan, manusia memerlukan kesungguhan dan perjuangan, yakni harus dilalui dengan mujahadah. Atas dasar ini seorang sufi sangat terlihat sebagai seorang yang sedang terikat dan menghindarkan diri dari kesenangan, agar dapat berkonsentrasi sepenuhnya kepada Tuhan. Bahkan banyak hal dapat dijumpai dalam cerita-cerita kehidupan sufi, misalnya dalam buku tazkirat al-Auliya’ karya Faridudin Attar dijelaskan bahwa betapa mereka sengaja menjalani kehidupan ini dengan penuh penderitaan agar dapat memisahkan diri dengan keterpautan dan keterpakuan pada kehidupan dunia yang mereka anggap dapat mengganggu hubungan cintanya dengan Tuhan.[9]
Secara teknis lagi, mereka juga membuat semacam tatanan teknis yang harus dilalui dengan usaha yang sangat keras lagi susah, untuk sampai kepada Tuhan. Misalnya jalan atau fase-fase ibadah yang dibuat oleh al-Ghazali mulai dari tingkatan terendah, aqabah al-‘ilm wa al-Ma’rifat, sampai tingkat tertinggi, yakni aqabah al-hamd wa al-syukur.[10]  Demikian pula, tahapan-tahapan suluk yang dibuat oleh para sufi mulai dari tahapan terendah, yakni tahapan taubat, sampai tahapan tertinggi seperti ma’rifat atau ittihad, merupakan suatu tahapan yang terasa asing bagi suatu masyarakat yang sedang terpacu oleh ideologi materialistis dan pragmatis. Atau masyarakat yang sedang berupaya memenuhi tuntutan-tuntutan ekonomis. Tetapi jika dilihat dari fenomena kehidupan keberagaman manusia dalam berbagai agama yang ada, hal itu memang merupakan suatu usaha yang lumrah bagi pengikut kehidupan mistik baik dalam Islam, Hindu, Kristen atau Budha, serta agama-agama yang lain.
Elemen ketiga mengandung arti manakala seorang penempuh jalan sufi telah melalui usaha keras dan susah tersebut, maka ia akan dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan dan kelezatan rohani yang tiada tara. Seperti ungkapan al-Junaid bahwa tasawuf adalah suatu keadaan bersama dengan Tuhan tanpa adanya pemisah antara keduanya.[11]
Jika memahami tasawuf berangkat dari apa yang dipaparkan oleh Ibrahim Basyuni tersebut, maka paling tidak akan didapatkan cara untuk mengatasi kesulitan dalam memahami pengalaman orang yang cenderung tidak dapat diobjektifkan. Dengan kata lain dapat sedikit mengatasi kesulitan, seperti yang dirasakan oleh Schimmel yang mengambarkan seseorang yang memahami tasawuf ibarat memasuki kawasan perbukitan yang maha luas sebagai gambaran sulitnya memahami secara utuh representatif.[12]
Kata shuf yang dianggap paling tepat oleh kebanyakan penulis Barat dianggap sebagai anak korelatif dengan tradisi mistikus Kristen yang memakai pakaian terbuat dari bulu domba kasar sebagai bukti pertaubatan mereka kepada Tuhan dan keinginan untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Carra de Vaux misalnya, memberikan penjelasan mengenai pakaian para sufi meniru kebiasaan rahib Kristen. Dari sinilah nantinya akan muncul anggapan  bahwa tasawuf Islam muncul sebagai akibat adanya kontak dengan dunia luar Islam bukanlah produk pemikiran orisinil Islam.
Dengan keterjebakan pada pengertian semantik ini maka tasawuf Islam dalam perkembangannya harus selalu dituntut memiliki karakter sebagaimana yang diperlihatkan oleh perilaku lahiriyah para sufi yang meninggalkan kehidupan materi dan selanjutnya menuju kehidupan rohani. Ini berarti harus menolak segala bentuk asimilasi dengan kebudayaan yang selalu berkembang dalam suatu masyarakat. Atau dengan kata lain, mengikuti pola kehidupan dalam ajaran tasawuf selalu tampak tidak kontekstual.[13]Oleh karena itulah tasawuf selalu tampak terlihat ketinggalan zaman dan kurang relevan bila dibicarakan ditengah-tengah kesibukan manusia yang sedang disibukkan mengejar dunia, materi. Selain itu, penampilannya sering dicurigai sebagai bentuk penyimpangan agama yang tak pernah diajarkan oleh nabi dan karena itu hanya beberapa kalangan saja yang mengamalkannya.
Anggapan bahwa tasawuf merupakan fenomena mistik yang memiliki watak universal sebenarnya mengandung implikasi bahwa kemunculannya bisa saja terjadi tanpa adanya pengaruh dari tradisi diluar satu agama. Terlebih bila dilihat dari kecenderungan pemeluk suatu agama untuk mengadakan suatu tanggapan, respon, terhadap adanya panggilan yang datang dari dunia non-empiris. Maka sebenarnya dari masing-masing agama dapat saja tumbuh dan berkembang suatu usaha untuk melaksanakan ajaran agamanya secara ekstrem sebagai wujud penunaian panggilan tersebut. Dan apabila dilihat dari perkembangannya yang bersinggungan dengan protes terhadap suasana yang tidak menguntungkan untuk kehidupan kerohanian yakni tatkala muncul sikap berfoya-foya dari kalangan penguasa Umayyah, maka tasawuf muncul dengan warna yang menonjolkan corak apokaliptik.[14]Disinilah sebenarnya tasawuf muncul untuk menjawab tantangan zamannya, dan dengan begitu sebenarnya dan seharusnya ia juga dapat memberikan jawaban terhadap persoalan yang muncul dalam masyarakat sekarang, sudah barang tentu pola dan bentuk perilaku gerakan ditampilkan jelas berbeda dengan kemunculannya dimasa-masa yang lalu. Pola berpikir seperti itu yang juga dipakai oleh orang seperti Iqbal, kiranya dapat juga dijadikan sebagai landasan untuk mengaktualisasikan tasawuf dalam konteks masa kini atau masa yang akan datang, atau mungkin dalam konteks Indonesia, yang dipelopori oleh Hamka dengan konsep tasawuf modernnya.[15]

C.KARAKTERISTIK MASYARAKAT MODERN
Masyarakat atau manusia modern yang sering dikonotasikan sebagai suatu masyarakat yang telah memiliki kesadaran pragmatis-materialistis, rasional, dan sering diidentifikasikan sebagai masyarakat yang telah mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata dalam perkembangannya menjadi terbelenggu oleh bias kemajuan yang dicapai.[16] Namun, harus diakui pula bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh kemajuan tersebut telah membentuk konstruk pemikiran masyarakat modern dan telah menghasilkan suatu bentuk kebudayaan dan peradaban yang semakin maju. Nilai-nilai tersebut adalah :
1.           Daya kreatif dan inovatif, akibat revolusi teknologi yang kemudian dibarengi dengan pola perekonomian pasar bebas maka terjadilah kondisi persaingan yang amat ketat dalam perekonomian antar bangsa. Dalam suasana demikian ini maka ada semacam tuntutan dari sejumlah lapisan masyarakat, khususnya negara-negara berkembang, untuk menumbuhkan nilai-nilai kreatif dan inovatif yang dapat menghasilkan kualitas produksi yang mampu bersaing dengan negara-negara lain.
2.           Orientasi waktu yang selalu kedepan. Orientasi yang demikian ini berbeda dengan apa terjadi pada masyarakat agraris yang pandangannya tentang waktu tidak membedakan antara kemarin, kini dan yang akan datang. Dengan kata lain, waktu menurut mereka adalah waktu siklus dalam arti waktu sekarang adalah pengulangan belaka dari apa yang terjadi dimasa lampau dan akan terjadi pula dimasa-masa mendatang.[17] Manusia yang berada ditengah-tengah suasana modern atau kontemporer seperti itu akan memiliki kecenderungan untuk selalu tidak penah merasa cukup mengkonsumsi waktu yang tersedia. Dan ia selalu berusaha untuk menggunakan waktu yang tersedia itu seefisien dan seproduktif mungkin.
3.           Peningkatan kecerdasan, karena jumlah manusia semakin bertambah dan pertambahannya tidak berimbang dengan kesempatan kerja yang tersedia, maka akan menimbulkan suatu persaingan yang amat ketat dalam berbagai sektor kehidupan. Terlebih khusus peluang untuk memperoleh kehidupan yang layak. Suasana yang demikian itu akan menimbulkan kehendak masyarakat untuk berusaha mencerdaskan generasi berikutnya. Akibatnya, kecerdasan masyarakat tersebut akan menimbulkan sikap kritis dalam berbagai hal, yang juga akan membangkitkan sikap kritis terhadap agamanya. Hal mana, kenyataan kemajuan yang telah dicapai oleh Barat membuktikan sikap ini.
Eric Fromm mengatakan bahwa, karakter masyarakat modern diwarnai oleh orientasi pasar, di mana keberhasilan seseorang tergantung kepada sejauh mana nilai jualnya di pasar.Masyarakat modern bagaikan penjual dirinya sekaligus sebagai komunitas yang siap dijual di pasar.Oleh karena itu penghargaan atas diri manusia itu ditentukan oleh nilai jualnya di pasar, akibatnya setiap orang termotivasi untuk berjuang keras menjadi pekerja sukses dan kaya, demi penegasan atas keberhasilannya.Kemakmuran melambangkan tingginya nilai jual, sementara kemiskinan dimaknai sebaliknya. 
Kebaikan, kejujuran, kesetiaan pada kebenaran dan keadilan sudah bagai tidak bernilai jika tidak memberikan manfaat untuk kesuksesan dan kemakmuran.Jika kondisi ekonomi seseorang tidak makmur, maka dinilai sebagai orang yang belum sukses, bahkan gagal dalam kehidupan. Keadaan seperti ini menandakan masyarakat modern, masyarakat yang mengalami keterasingan (aliensi), mereka tidak lagi berpijak kepada kualitas kemanusiaan, melainkan berpatokan kepada keberhasilan dalam mencapai kekayaan materi.
Kondisi ini memalingkan kesadaran manusia sebagai makhluk termulia.Keutamaan dan kemuliaan menyatu dengan kekuatan kepribadian, tidak bergantung pada sesuatu yang ada di luar dirinya.Oleh karena itu masyarakat modern mengalami depersonilisasi kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup.Keberadaannya tergantung kepada pemilikan dan pengasaan symbol kekayaan, keinginan mendapatkan harta yang berlimpah melampaui komitmennya terhadap solidaritas sosial.Hal ini didorong oleh pandangan bahwa orang yang banyak harta merupakan manusia unggul.

D. APLIKASI NILAI-NILAI TASAWUF DALAM KAITANNYA DENGAN ETOS KERJA    DAN PROFESIONALISME KERJA
            Etos kerjaadalah merupakan pancaran dari sikap hidup mendasar pemiliknya terhadap kerja, yang dipengaruhi oleh dimensi individual, sosial dan lingkungan alam sehingga mempengaruhi dinamika (gairah/semangat) kerjanya. Etos kerja manusia berkaitan dengan dimensi individual bila dilatarbelakangi oleh motif yang bersifat pribadi. Jika dimensi sosial yang memotivasi aktivitas kerjanya seperti dorongan meraih status dan penghargaan masyarakat, maka ketika itu etos kerja orang tersebut sudah mendapat pengaruh kuat dan tidak terpisahkan dari dimensi sosial. Faktor lingkungan alam berperan bila keadaan alam, iklim dan sebagainya berpengaruh terhadap sikap kerja orang tersebut.          Pada kenyataannya, manusia adalah makhluk yang sangat kompleks, ia memiliki rasa suka, benci, marah, gembira, sedih, berani, takut, jenuh, letih, dan lain sebagainya. Ia juga mempunyai kebutuhan, kemauan, cita-cita dan angan-angan. Selain itu, ia mempunyai lingkungan pergaulan di rumah atau tempat kerjanya. Rasa benci yang terdapat pada seorang pekerja, ketidakcocokan terhadap atasan atau teman satu tim, kehidupan keluarga yang kurang harmonis, keadaan sosio-kultural, sosio-ekonomi dan kesehatan yang kurang baik dapat berpengaruh negative terhadap kegairahan dan aktivitas kerjanya.
            Bagi orang yang beragama, adalah sangat memungkinkan etos kerjanya memperoleh dukungan kuat dari dimensi trancendental (termasuk di dalamnya pengaruh tasawuf), yaitu dimensi yang melampaui batas-batas nilai materi yang mendasari etos kerja manusia, hingga pada dimensi ini kerja dipandang sebagai ibadah. Namun harus ditegaskan bahwa pemahaman parsial terhadap ajaran agama (Islam) juga dapat berpengaruh negative terhadap etos kerja.
            Dari pemaparan di atas, dapatlah dikatakan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam proses terbentuknya etos kerja ternyata tidak tunggal, melainkan lebih dari satu dan bahkan bisa banyak dan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Sistem keimanan atau aqidah islami, sebagai keyakinan dan pengalaman kehidupan sufi yang benar menjadi landasan bagi orang Islam, secara teoritis memang berpotensi besar untuk menjadi sumber motivasi etos kerja Islami yang selalu segar dan tak kunjung kering. Diantara penghambat etos kerja seperti kemalasan, kelemahan hati, pengaruh hawa nafsu yang merusak kepribadian, dapat dihindari dengan mempraktekkan kehidupan sufi (tasawuf) yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah.
            Manusia adalah makhluk bekerja (homo faber). Manusia diciptakan untuk bekerja, dan kerjanya adalah ibadahnya apabila memenuhi syarat husnul fi’liyah (pekerjaan yang baik) dan husnul fa’iliyyah (yang mengerjakan baik). Tidak ada kesuksesan, kebaikan, manfaat atau perubahan dari keadaan buruk menjadi lebih baik kecuali dengan kerja menurut bidangnya masing-masing. Mereka yang enggan bekerja tidak mungkin menjadi Muslim yang baik. Kerja merupakan manifestasi dan bagian dari pengamalan Islam itu sendiri. Kerja produktif dalam rangka memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga dan masyarakat, mengembangkan serta membangun daerah atau negeri, menanggulangi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, memerintahkan berbuat ma’ruf, mencegah kemungkaran dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai penegakan tugas khilafah manusia di muka bumi.
            Profesional adalah mengerti akan tugas (sesuai dengan keahlian/bidangnya) dan bertanggung jawab (amanah), kemudian bersungguh-sungguh mengerjakannya dengan kualitas yang terbaik (ahsan). Dengan bekerja secara profesional maka akan didapatkan hasil yang maksimal. Maka dapat dipahami bahwa profesionalismeadalah hal-hal yang berkaitan dengan bidang kerja yang telah menjadi keahliannya serta dikerjakan secara maksimal dan bertanggung jawab.
Etos kerja yang tinggi dan sikap keprofesionalan setiap individu harus diupayakan dan dibina secara terus menerus mengingat pada kenyataannya dunia kerja itu  sifatnya kompleks dan dinamis. Sebagai seorang muslim, perlu diingat dan ditanamkan dalam kalbu bahwa bekerja bukanlah hanya sekedar memenuhi kebutuhan dan mengejar kenikmatan yang sifatnya duniawi saja, melainkan sebagai jembatan menuju kebahagiaan ukhrawi yang hakiki. Setiap manusia adalah khalifah di muka bumi. Pekerjaan atau tugas kita saat ini merupakan amanah dari Allah dan telah ditakdirkan kepada kita berdasarkan Ilmu-Nya, DIA Maha Tau kadar iman kita, DIA Maha Tau kadar kemampuan dan intelektualitas kita. Pekerjaan juga dipandang sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman.
Kerja profesional yang Islami harus dibingkai dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Quran dan as-Sunnah. Untuk meningkatkan etos kerja dan profesionalisme kerja dalam diri kita, para ahli sufi telah mengajarkan kita melalui sikap yang mereka contohkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan ajaran dan konsep tasawuf. Diantaranya, sikap Optimisme, Istiqamah, Sabar, Ikhlas, Ridha, Qana’ah, Takwa, Takut, Tawakkal, Tobat, Zuhud, Wara’, Syukur, Cinta, Rindu, Shidiq, Syaja’ah, Takdir, Malu, Zikir, Doa, Tafakkur, Uzlah, Kemiskinan, dan Kematian.
1. Sikap Optimisme
            Sikap Optimisme atau harapan jelas mempunyai tujuan yang dapat membuat semangat kerja seseorang menjadi kuat, karena untuk menciptakan sikap optimisme ini membutuhkan usaha yang besar pula. Jika harapannya untuk bertemu dengan Allah, maka ia harus berusaha keras untuk mendekatkan diri kepanya-Nya. Namun jika ia berharap kehidupan didunianya lebih baik, maka ia harus bekerja keras dan bersungguh-sungguh.
            Untuk itu, tasawuf dapat mengajak kita agar bekerja keras untuk mencapai apa yang kita inginkan, namun apabila harapan itu tidak tercapai maka kita tidak boleh berputus asa, karena hal ini sangat bertentangan dengan sikap optimisme. Apapun pekerjaan yang kita lakukan, maka kita harus tetap memiliki sikap optimisme, agar apa yang kita harapkan dapat dikabulkan oleh Allah SWT. Dengan sikap optimis kita akan kreatif, namun tidak takabbur atau sombong.
2. Istiqamah
Istiqamah merupakan salah satu hal penting dalam melakukan suatu pekerjaan. Dengan sikap teguh atau konsisten yang kita miliki, maka dengan mudah kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Konsisten disini bisa kita lihat dari berbagai segi, terutama dalam hal tingkah laku yang akan kita perbuat. Seseorang yang tidak memiliki konsisten maka ia akan selalu gagal dalam melakukan pekerjaannya. Istiqamah yang dimaksud adalah berhubungan dengan perbuatan yang baik, dan tidak merugikan bahkan menyalahi aturan agama.
3. Sabar
Sabar dapat dipahami sebagai sikap tabah, tekun dan tangguh dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai problema hidup. Tidak ada orang yang sukses tanpa kesungguhan dan keuletan serta ketangguhan untuk meraihnya. Didalam suatu pekerjaan kita pasti akan menghadapi suatu tantangan, masalah ataupun kesulitan, serta adakalanya kita merasa lelah dan jenuh. Inilah ujian yang harus dihadapi dan disikapi dengan sabar.            Dengan sikap sabar, seseorang tidak mudah putus asa jika belum berhasil, tidak cepat menyerah ketika mendapatkan kesulitan, berusaha dengan bijak mencari solusi untuk mengatasi masalah yang terjadi, tidak larut dalam kesedihan ketika terkena musibah, dan ia akan cepat bangkit untuk menatap masa depan yang lebih cerah.
Rasa semangat kerja akan  lebih tinggi jika kita ingat untuk bersabar dalam menjalankan perintah Allah, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, yang mana untuk memenuhi kebutuhan itu semua juga memerlukan biaya besar yang hanya kita dapatkan dengan bersabar dan kerja keras.
4. Ikhlas
Ikhlas merupakan dasar etos kerja yang paling ideal, karena dengan sikap ikhlas seseorang tidak akan pernah mengenal lelah dalam menjalankan pekerjaannya. Berbeda dengan seseorang yang tidak memiliki sikap ikhlas, ia akan merugikan banyak pihak terutama dirinya sendiri. Sikap ikhlas juga membuat seseorang melakukan jujur dalam pekerjaannya. Dengan demikian, seseorang akan bertanggung jawab atas pekerjaan yang ia lakukan, ia juga sadar bahwa pekerjaan yang ia lakukan bukan hanya menguntungkan (bermanfaat) bagi dirinya, namun juga untuk orang lain.
5. Ridha
            Ridha berarti senang, juga merupakan sikap yang diperlukan dalam meningkatkan etos kerja.Ridha disini berarti senang terhadap segala perintah Allah, termasuk perintah mencari nafkah. Hal itu berarti kita sebagai umat Islam  harus berusaha keras dalam menghadapi hidup. Mencari nafkah merupakan salah satu tindakan ridha terhadap Allah, dan jika kita telah ridha maka pekerjaan seberat apapun kita akan merasa mudah dan senang dalam melaksanakannya.
6. Qana’ah
Qana’ah yaitu sikap merasa cukup dengan apa yang telah diperoleh. Seberapa pun upah yang kita dapatkan kita harus merasa sabar dan bersyukur.Karena sekecil apapun rezeki itu, janganlah kita mudah putus asa, percayalah semuanya telah ditentukan oleh Allah.Sedangkan apabila kita mendapatkan rezeki yang lebih, janganlah kita menghamburkannya dengan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Tujuan qana’ah mengajarkan kita untuk merasa cukup dengan apa yang kita punya, agar kita tidak terdorong terhadap perbuatan yang sangat dibenci Allah, seperti korupsi ataupun mencuri.
7. Taqwa
Taqwa berarti menjaga atau memelihara, dimaksudkan agar kita selalu menjaga diri terhadap perbuatan yang tercela. Memelihara rasa takut untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan diri sendiri bahkan  menghancurkanperadaban manusia. Dengan taqwa kita dapat membangun dunia tanpa melewati batasan agama.
8. Tawakkal
Tawakkal yaitu sikap berserah diri dan mempercayakan secara bulat segalanya kepada Allah setelah melaksanakan suatu rencana dan usaha.Manusia hanya merencanakan dan mengusahakan, tetapi Allah yang menentukan hasilnya. Apapun hasil yang Allah berikan maka kita harus tabah menerimanya.
Tawakkal merupakan sikap optimis dan percaya diri, bahwa segala hal ada yang mengaturnya, yakni Allah swt. Bila kita mengikuti aturan-Nya, yakni sunnatullah, maka kita akan sukses, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kita meyakini sepenuhnya yang memberi keputusan hasil baik atau tidak adalah yang memiliki sunnatullah itu sendiri yakni Allah swt, serta kita yakin sepenuhnya bahwa itulah ketentuan terbaik menurut-Nya. Sikap tawakkal akan menjauhkan diri kita dari perilaku menyalahkan diri sendiri, marah dan menyalahkan keadaan atau orang lain, menjauhkan diri kita dari keputusasaan atau kekecewaan apabila hasil akhir yang terjadi tidak sesuai dengan rencana kita.
9. Taubat
Taubatmengandung etos kerja yang tinggi, karena pada intinya taubat adalah memperbaiki diri dari perbuatan yang tercela kembali kepada perbuatan yang terpuji sebagaimana yang telah diajarkan agama Islam, yaitu dengan cara mencari dan mengembalikan harta haram yang telah diperoleh. Sehingga taubat dapat meningkatkan semangat kerja kita untuk mencari nafkah halal dan mengembalikannya kembali dengan rezeki yang halal.
Taubat dapat dipahami agar kita berusaha tidak melakukan kesalahan sedikitpun, baik yang berhubungan dengan Allah maupun yang berhubungan dengan sesama manusia. Bila makna dan nilai taubat ini diimplementasikan dalam kehidupan, maka kita akan terhindar dari berbagai kesalahan, selalu waspada dan hati-hati dalam setiap pekerjaan yang dilakukan. Selain itu, dengan pengalaman ketuhanan yang diperoleh seseorang melalui istighfar (mohon ampun pada Allah) adalah pertama, menanamkan kerendahan hati yang tulus, karena kesadaran bahwa tidak seorang pun yang bebas dari dosa. Kedua, sebagai konsekuensi langsung dari kerendahan hati itu dengan banyak istighfar kita dididik dan dituntun untuk tidak mengklaim kesucian diri atau bersikap semuci suci (sok suci), yang mana sikap itu merupakan suatu kesombongan atau keangkuhan.
10. Zuhud
Zuhudmerupakan salah satu sikap yang diajarkan tasawuf, yaitu mengingatkan kepada umat manusia agar tidak terlalu cinta terhadap kekayaan yang ada didunia ini.Sikap zuhud tidak berarti membuat hidup kita melarat, sehingga membuat kita malas bekerja. Zuhud hanya mengajarkan kita untuk mencari nafkah yang halal dan tidak menghambur-hamburkan uang kita dengan perbuatan maksiat.Zuhud dalam pengertian ini sering dialihbahasakan dengan istilah ascetisisme dan diberi pengertian sebagai sikap mematikan terhadap kesenangan dunia. Pengertian ini diambil dari pengalaman sejarah dimana para zahid tersebut memiliki gaya hidup yang menolak segala bentuk kemewahan dalam rangka melenyapkan keterikatan hati terhadap dunia dan seisinya.
Bila dilacak dari sudut etimologi ia berasal dari bahasa Griks, ascatis yang artinya latihan untuk mengambarkan orang  dalam “penjara”. Latihan ini dalam agama Hindu disebut sebagai tapa, sedangkan dalam self mortification yakni suatu upaya pemendaman nafsu yang ada pada diri sendiri seperti yang diperlihatkan oleh Ibrahim al-Adham.[18]
Dalam kehidupan, zuhud dapat dipahami sebagai hidup sederhana, tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan. Kesederhanaan merupakan prinsip hidup Islami. Tahapan-tahapan zuhud itu adalah, pertama, meninggalkan segala yang haram dan syubhat. Kedua, tidak melakukan sesuatu secara berlebihan walaupun halal, seerti makan, minum dan berpakaian. Ketiga, bersikap zuhud terhadap zuhud. Artinya tidak menganggap zuhud itu sebagai suatu hal yang perlu dibanggakan. Sebab membanggakan zuhud itu bukan sikap zuhud.
11. Wara’
Wara’ juga termasuk salah satu sikap yang diajarkan dalam tasawuf, yang artinyaberpantang.Maksudnya, kita harus meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat, atau yang belum jelas haram halalnya (syubhat) apalagi yang haram.Wara’ juga bertujuan untuk mengendalikan hawa nafsu kita terhadap kekayaan didunia ini. Untuk memakmurkan hidup kita, dengan sikap wara’ kita tidak akan melakukan perbuatan yang diharamkan agama, seperti berhati-hati ketika mencari rezeki yang halal dan sekuat tenaga menghindarkan dari berbagai sumber yang haram.
12. Syukur
Dengan rasa Syukur kita juga dapat meningkatkan semangat kerja, maksudnya kita dapat berterima kasih kepada Allah SWT terhadap nikmat yang kita peroleh, berterimakasih tidak hanya dilakukan dengan lisan, juga harus diikuti dengan tindakan.Misalnya, dengan bekerja lebih keras dan lebih baik lagi.Bekerja disini dalam rangka taat kepada Allah, sehingga pekerjaan itu tidak boleh sedikitpun ternodai oleh perbuatan yang dilarang oleh Allah.
13. Cinta
Cinta merupakan hal terpenting dalam meningkatkan semangat kerja.Mencintai pekerjaan kita saat ini berarti mencintai tugas yang diamanahkan Allah kepada kita. Telah kita ketahui, cinta terhadap Allah adalah cinta yang utama, cinta terhadap diri sendiri dan keluarga dapat kita tempatkan dibawah cinta kepada Allah. Dengan rasa cinta itu, sebagai muslim maka semangat kerja kita akan semakin tinggi. Dorongan semangat bekerja itu dapat berasal dari cinta yang kita miliki, yaitu cinta kepada Allah karena kita ingin bertakwa kepada-Nya, dan cinta kepada keluarga karena kita ingin memberikan kebahagiaan kepada mereka dengan memberikan nafkah yang halal.
14. Rindu
Sikap yang selanjutnya adalah Rindu, rindu disini adalah rindu terhadap Allah yang berada di atas rindu keluarga dan rindu apapun. Sikap rindu itu akan memacu seseorang untuk selalu berbuat aktif, baik dalam urusan agama maupun urusan duniawi. Seseorang akan semangat bekerja jika dia merasa rindu dengan keluarganya. Dengan demikian, rindu merupakan sikap yang dapat menumbuhkan semangat kerja yang kuat, dengan rindu keluarga berarti dia rindu terhadap Allah, Karena rindu terhadap Allah harus berada di atas rindu keluarga.
15. Shiddiq
Shiddiq  adalah benar atau jujur. Maksudnya, benar atau jujur dalam perbuatan ataupun ucapan.Sikap shiddiq dimaksudkan agar orang bekerja dengan jujur.Jujurnya seseorang dapat kita lihat pada pekerjaan dan ucapannya. Dengan demikian, shiddiq  dapat meningkatkan semangat kerja seseorang menjadi kuat. Maka tanpa bekerja, seseorang akan sulit membuktikan kejujurannya terhadap orang lain.
16. Syaja’ah
            Syaja’ahartinya berani, maksudnya berani melakukan perbuatan yang benar, meskipun menanggung resiko yang sangat berat.Seperti halnya dalam pekerjaan, seseorang pasti terkadang merasa sulit dalam menghadapi pekerjaannya yang disebabkan oleh rasa takut, namun jika dia mempunya keberanian yang tinggi, maka segala kesulitan itu dapat diatasinya.Dengan demikian syaja’ah juga dapat menumbuhkan semangat kerja yang kuat.
17. Percaya pada Takdir
Takdir  adalah sebuah ketentuan Allah tentang segala sesuatu yang belum terjadi didunia ini. Setiap orang telah ditakdirkan Allah untuk memiliki pikiran, kemampuan, kemauan, dan kebebasan yang bertujuan agar seseorang dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya.Sehingga manusia ditakdirkan untuk bekerja keras mencari nafkah. Orang yang menyadari takdir yang digariskan Allah itu maka dia akan semangat bekerja sehingga dapat mensejahterakan hidupnya. Sebaliknya, jika seseorang mengingkari takdirnya, maka hidupnya akan selalu mendapatkan kesulitan.
18. Malu
Rasa Malu juga sangat penting dalam pembinaan karakter kaum profesional. Malu disini adalah malu terhadap Allah dan diri sendiri saat kita hendak melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Mempunyai rasa malu juga dapat mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.Malu untuk berbuat jahat, maka dapat mendorong seseorang untung berbuat baik. Begitu juga dalam hal pekerjaan, seseorang akan malu melakukan kesalahan dalam pekerjaannya, maka dia akan terdorong untuk tekun dan bekerja keras sehingga tidak melakukan pekerjaan yang salah.
19. Zikir dan doa
Pada dasarnya zikir menurut ajaran Islam adalah mengingat Allah dalam setiap keadaan yang bertujuan untuk menjalin ikatan batin antara seorang hamba dengan Allah sehingga timbul rasa cinta, hormat dan jiwa muraqabah (merasa dekat dan diawasi Allah). Dengan adanya sikap dan perilaku zikir, iman seseorang menjadi hidup, terjalin kedekatannya dengan Allah. Zikir bisa melalui qalbu dengan merasa ridha atas segala keputusan-Nya serta mentasdiqkan Allah dengan keyakinan yang penuh, bisa melalui lisan dengan sering menyebut nama-Nya, dan bisa pula melalui perilaku dengan berorientasi semua perbuatan atau amal yang dilakukan hanya karena-Nya (lillahi ta’ala).
Ketika kita berzikir lisan dengan mengucapkan Allahu Akbar, maka harus dapat kita refleksikan bahwa kita membesarkan Allah swt sebagai sang Khaliq (pencipta) yang Maha Tinggi, dan mengecilkan apa-apa selain Allah. Kita agungkan asma Allah dalam shalat, dalam doa, kita bertakbir, namun pada kenyataannya dalam dunia nyata kita agungkan kekayaan, harta, kekuasaan dan kedudukan/jabatan. Pada saat kita bekerja di kantor, pada saat kita bersaing merebut pasar dan konsumen dalam berbisnis, tak jarang kita abaikan perintah-perintah Allah, kita lalai menunaikan shalat, kita berperilaku semena-mena atas jabatan yang kita miliki, kita menghalalkan segala cara tanpa peduli halal-haram agar terpenuhi keinginan/tujuan kita. Kita lupakan Allah swt, kita gantikan takbir dengan takabbur.
Zikir bukan hanya di mulut, secara lisan berjuta-juta kali menyebut nama Allah, tapi kering di qalbu dan di perilaku. Zikir harus dilakukan sinergis dalam diri kita, baik dalam qalbu, lisan maupun perbuatan, sehingga ia memiliki nilai efektivitas dalam kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan menyebut nama Allah, mengerjakan shalat sunah, membaca al-Quran, zikir, dan doa, selain mendapatkan pahala bagi yang mengerjakannya, juga dapat membuat hati dan pikiran merasa tenang.Senantiasa menghadirkan dan menyertakan Allah dalam setiap aktivitas pekerjaan kita akan memunculkan ketentraman, kekuatan, optimisme, merasa dijaga dan dilindungi dari bisikan-bisikan syaithan yang dapat menjerumuskan kita berperilaku negative, selalu saja ada petunjuk, kelancaran dan kemudahan dari Allah bagi kita agar kita mampu menyelesaikan dengan baik pekerjaan sesulit apapun itu.
Doaadalah suatu tindakan memohon terhadap Allah untuk mendapatkan kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat. Harus kita sadari bahwa doa tidak dapat berdiri sendiri, dengan hanya berdoa sajaAllah tidak akan pernah mengabulkannya. Doa harus diikuti dengan usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh, dengan begitu permohonan itu akan dikabulkan.
20. Tafakkur
Tafakkur berarti perenungan, maksudnya kita perlu merenungkan ciptaan Allah yang ada dimuka bumi ini. Tafakkur adalah perbuatan wirid yang dapat mendekatkan diri kita terhadap Allah SWT.Tafakkur juga dapat memunculkan kerinduan kita terhadap perintah-Nya, salah satunya mencari nafkah untuk keluarga.Sikap tafakkur dapat memunculkan inovasi, kreativitas dan optimisme, menjadikan kita pribadi yang bermanfaat bagi orang-orang di sekitar kita. Didalam pekerjaan, tafakkur juga dapat diterapkan dalam mengelola kebijakan manajerial, merencanakan sesuatu dengan menganalisa dampak baik-buruknya, serta dalam upaya mengatasi kegagalan yang terjadi. Selain itu tafakkur juga dapat membuat hati dan pikiran kita tenang dalam melakukan pekerjaan kita.
21. Uzlah
Uzlah yaitu mengasingkan diri, yakni mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat, sehingga dapat menjauhkan diri dari perbuatan maksiat serta melatih kita untuk membiasakan diri melakukan ibadah.Oleh sebab itu dengan melakukan uzlah kita dapat menenangkan hati dan pikiran, sehingga dapat meningkatkan kembali semangat kerja kita dalam memenuhi kewajiban kita untuk mencari nafkah.
22. Kemiskinan
Kemiskinan atau farq artinya seseorang pada dasarnya adalah miskin secara spiritual dan material. Dengan kemiskinan itu, seseorang akan terdorong untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan banyak beribadah dan akan bekerja keras untuk mencari rezeki yang halal dan banyak. Sehingga dengan konsep kemiskinan itu, sikap semangat kerja seseorang akan lebih terpacu.
23. Kematian
Peningkatan semangat kerja yang terakhir adalah dengan ingat Kematian.Mengingat  kematian tidak harus dengan menjauhi urusan dunia, tetapi melakukan perbuatan yang nyata dikehidupan dunia. Dengan ingat kematian pun kita akan membuat sikap kita untuk lebih berani menghadapi sebuah kematian. Itu berarti, sikap berani mati yang kita miliki dapat mendorong kita untuk lebih semangat bekerja sampai akhir hayat kita.
Orang yang ingat mati adalah orang yang sadar bahwa hidup didunia ini adalah sementara dan hanya sebentar, dengan begitu dia akan mempergunakan waktu yang tersedia dengan sebaik-baiknya untuk melakukan ibadah dan bekerja keras dalam mencari nafkah untuk keluarganya.
Dari pemaparan di atas, jelaslah terlihat bahwa nilai-nilai tasawuf sangat relevan diaplikasikan untuk pembentukan dan pembinaan jiwa, sikap dan perilaku individu yang terkait dengan peningkatan etos kerja dan profesionalisme kerja.
Semoga kita termasuk orang yang dapat melakukan sikap-sikap atau perbuatan yang dapat meningkatkan semangat kerja seperti yang dilakukan para sufi dalam mengamalkan ajaran tasawuf.

E. KESIMPULAN
Berusaha memahami nilai-nilai tasawuf secara elastis dan plastis tersebut dapat dilakukan jika ada kehendak yang baik, good will, dalam melihat khazanah pemikiran Islam secara fair dan lepas dari semangat predesposisi yang bersemangat sektarian. Penerapan cara pandang seperti ini dapat dilakukan misalnya melihat problem semisal al-Hallaj sebagai suatu variasi pemahaman Islam yang memiliki keabsahan dan tidak dipandang sebagai penjahat agama yang harus berakhir di tiang gantungan. Betapa ironisnya bahwa tragedi ini, menjadi semacam ancaman serius bagi siapa saja yang berani menyatakan pandangan agama yang berlawanan dengan penguasa.
Untuk melihat ada tidaknya nilai-nilai tasawuf yang applicable bagi masyarakat modern memang diperlukan adanya upaya aktualisasi ajaran dan perubahan visi terhadap metodologi pemahaman Islam dengan pemikiran replektrif yang terlepas dari keterpakuan terhadap rumusan yang ada. Terutama sekali ajaran-ajaran tasawuf yang pemahamannya sering terkooptasi oleh sakralistis tokoh sufi yang dikagumi, perlu kiranya diadakan kajian yang terarah pada aspek-aspek historisitasnya. Sehingga sangat mungkin akan terjadi reformulasi konsep-konsep tasawuf yang baru yang dinamis.Wallahu a’lam.




DAFTAR PUSTAKA

Syekh Mahmud Ahmad dengan judul The Pilgrimage of eternety, (Lahore : Institut Of Islamic Culturem 1961)

Muhammad Iqbal , Javid Lama, diterjemahkn oleh syekh Mahmud Ahmad dengan judul The Pilgrimage of eternety, (Lahore : Institut Of Islamic Culturem 1961)

Rahman Terhadap persoalan tasawuf, dalam Islam terj. Ahsin Muhammad, cet. 2 (Bandung: Pustaka, 1994)

Abdul Jamil, “Aktualisasi Tasawuf untuk masyarakat ....” dalam, Jurnal Theologis, 17 Februari 1993

Harun Nasution dalam Munawar Budhy Rachman, ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta L Para Madina, 1995)

HAR GIBBn Shorter Encyclopedia of Islamic (Leyden : NEIJ. Preill, 1972)

Abdul Hakim Hasan, al-Tassawuf fi syi’ral-Araby (Mesir: Maktabah Anglo al-Misyiriyah, 1954)

Ibrahim Basyuni, Nasyatu al-Tasawuf fi al-Islam (Mesir: Dar Ma’rif, tt)

Al-Ghazali, Manhaj al-‘abidin, (Beirut : Dar alFikr, tt)

Anna Marie Schimmel, Mystical Dimension of Islam (Chapel Hill, The University  of North Capolina Pressm tt)

Muhammad Iqbal,The Reconstructrion of Religious in Islam,  Terj. Osman Raliby, cet 3 (Jakarta : Bulan Bintang, 1983)

Komaruddin Hidayat dan Nuh Wahyudi Nafis,  Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Parennial, (Jakarta : paramida, 1995)

Jhon Naisbitt dan Patricia Aburdene, Megatrends 2000 terj. FX Budianto, Jakarta : Binarupa Aksara, 1990

W. Montgomery Watt, Islamic Political Though . terj. Hamid Fahmi Zakarsi dan Tufiq ibn Syam (Jakarta : Beunebi Cipta, 1987)

Nicholson The Mystic of Islam (London : Routlege and Kegan Paul, 1968)

Ismail Raji al-Faruci, Tauhid, terj. Rahmani Astuti (Bandung : Pustaka, 1988)

Al-Cusyairi , Risalah al-Qusyairih, (T.P Isa al-Babi al-Halabi, tt)



[1]  Annimerie Schimmel, 1986.
[2]  Hossain Nasr, 1979: 121.
[3]  Hossain Nasr, 1979: 132.
[4]  Penyebab kemandekan tasawuf yang lain adalah masuknya unsur-unsur bid’ah dan praktek khurafat kedalam Islam, sehingga umat Islam mulai terbuai dengan bentuk-bentuk pemujaan terhadap syekh-syekh sufi daripada memikirkan dan memperhatikan ajaran-ajaran sufi yang hakiki. Selain itu budaya taqlid yang telah mendarah daging pada diri umat Islam telah menyebabkan inti ajaran tasawuf  terpinggirkan.
   Lihat Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, cet., 2 (Bandung : Pustaka, 1994), h.286 dan 294.
[5]  Abdul Jamil, “Aktualisasi Tasawuf untuk masyarakat ....” dalam, Jurnal Theologis, no.17 Februari 1993, h.2.
[6]  Lihat Harun Nasution dalam Munawar Budhy Rachman, ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (jakarta L Para Madina, 1995)              hal.61.
[7]  Ibrahim Basyuni, Nasy’atu al-Tasawuf fi al-Islam (Mesir: Dar al- Ma’arif, tt), h.51.
[8]  HAR. Gibb, Shorter Encyclopedia of Islam (Leyden : NEIJ. Preill, 1972), h.671.
[9]  Abdul Hakim Hasan, al-Tashawuf fi syi’ral-Araby (Mesir: Maktabah Anglo al-Misyiriyah, 1954), h.178.
[10]             Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin, (Beirut : Dar al-Fikr, tt) hal.51.
[11]             Anne Marie Schimmel, Mystical Dimension of Islam (Chapel Hill, The University  of North Capolina Press, tt.), h.14.
[12]             H.A.R. Gibb, Op.Cit..., h.670.
[13]             Abdul jamil, Op.Cit..., h.3.
[14]             Ibid hal.2.
[15]             Lihat Muhammad Iqbal, The Reconstructrion of Religious in Islam,  terj. Osman Raliby, cet. 3 (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), h.49-52.
[16]             Komaruddin Hidayat dan Nuh Wahyudi Nafis,  Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta : paramida, 1995), h.3.
[17]             Abdul jamil, Op. Cit, hal. 7.
[18]             Ibid. h. 80