saya adalah seorang anak bangsa, yang terus berusaha mencari jati diri demi terwujudnya cita dan harapan baru
Tuesday 26 April 2016
telah hadir di Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan Lembaga Konsultasi Tasawuf Qurani (LKTQ). Direktur: Prof. Dr. H. Muzakkir, M.Ag. seorang pakar tasawuf Modern. tujuan dibentuknya LKTQ ini adalah jawaban dari masyarakat tentang gelaja hati, penyakit hati, problem spritual yang dialami seseorang. dewasa ini mulai muncul fenomena GEGANA (Gelisah, Galau Merana). problem pada diri manusia terletak pada hati, tentu hati penyelesaiannya adalah melalui sprutial,,, maka dari itu diharapkan kepada amasyarakat jika ingin berkonsultasi. silahkan datang ke Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam Universitas islam Negeri Sumatera Utara Medan
Sunday 24 April 2016
RELEVANSI AJARAN TASAWUF PADA MASA MODERN
RELEVANSI AJARAN TASAWUF
PADA MASA MODERN
oleh :
Prof. Dr.
H. Muzakkir, MA
(Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan
Studi Islam
Universitas Islam Negeri Sumatera
Utara)
A. Reinterpretasi Ajaran Tasawuf
1. Zikir dan Ma’rifah
Pada tulisan ini akan diuraikan bagaimana kita perlu kaji ulang pemahaman terhadap zikir dan ma’rifah dengan melihat kondisi saat ini, apakah memiliki
relevansinya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan bagaimana makna
esensinya ketika diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat modern sekarang
ini.
Pada dasarnya zikir menurut ajaran Islam adalah mengingat Allah dalam
setiap keadaan. Tujuannya adalah untuk menjalin ikatan batin antara hamba
dengan Allah sehingga timbul rasa cinta,
hormat dan jiwa muraqabah.[1]Dengan
adanya sikap dan perilaku zikir, iman
seseorang menjadi hidup, terjalin kedekatannya dengan Allah. Rasa cinta dan
dekat ini akan merupakan benteng atau kendali yang sangat kuat, bahkan efektif
untuk mengendalikan keinginan nafsu yang jelek di dalam jiwa seseorang. Dengan
demikian, tidak mudah tergoda berbuat haram, karena mampu mengendalikan hawa
nafsu amarah bissu’[2]
dan lawwamah-nya.[3]
Zikir, pada prinsipnya adalah mengingat Allah. Mengigat Allah, bisa
melalui qalbu dengan merasa ridha atas segala keputusan-Nya serta
mentasdiqkan Allah dengan keyakinan yang penuh, bisa melalui lisan dengan
sering menyebut nama-Nya, dan bisa pula melalui perilaku dengan berorientasi
semua perbuatan atau amal yang dilakukan hanya karena-Nya (lillahi ta’ala).
Berdasarkan ini, zikir menghidupkan iman dan menjalin rasa cinta dan taat
kepada Allah swt.Ajaran Islam memang agama yang menekankan dan mengutamakan
iman dan amal saleh. Oleh karena itu wajar bila fungsi zikir semata-mata untuk menjalin dan menghidupkan
hubungan batin dengan Allah swt. Dengan demikian, tekanan zikir adalah untuk
mengingat Allah sepanjang masa.
Pemahaman zikir yang demikianlah yang
perlu dikembangkan dalam kehidupan masyarakat modern. Kendatipun hal ini
berbeda dengan pemahaman dan pengamalan zikir di kalangan para sufi yang
terdahulu, yang sangat memfokuskan pada kaifiyat dan zikir secara lisan.
Ketika kita berzikir lisan dengan
mengucapkan Allahu Akbar, maka harus dapat kita refleksikan bahwa kita
membesarkan Allah swt sebagai sang Khaliq (pencipta) yang Maha Tinggi,
dan mengecilkan apa-apa selain Allah. Kita harus sadar dan insyaf bahwa Allah
Maha Tahu, bahwa kita sering takbir dalam ibadah-ibadah kita, namun melupakan
takbir di luar itu. Kita besarkan Allah di masjid, tetapi – diluar masjid- kita
agungkan kekayaan, harta, kekuasaan, dan kedudukan. Kita besarkan hawa nafsu,
kepentingan,dan pikiran kita. Di atas sajadah di masjid, di berbagai tempat
ibadah, kita gemakan takbir. Namun, di kantor, dipasar, di ladang, di sawah, di
tengah-tengah masyarakat, kita lupakan Allah swt- kita gantikan takbir dengan takabbur.
Pada saat kita duduk di kantor, kita campakkan perintah-perintah Allah.
Jabatan yang seharusnya kita gunakan untuk memakmurkan Negara, melayani rakyat,
membela yang lemah, menyantuni yang memerlukan pertolongan, kita manfaatkan
untuk memperkaya diri. Kita bangga kalau kita mampu menyalahgunakan fasilitas
kantor. Kita bangga kalau melihat rakyat yang harus kita layani merengek-rengek
bersimpuh memohon belas kasihan kita.Kita bangga – kalau dengan sedikit
kecerdikan- kita menumpuk keuntungan, walaupun mengorbankan saudara-saudara
kita sebangsa dan setanah air. Di kantor, kita singkirkan takbir dan kita
suburkan takabbur.
Ketika kita bersaing merebut pasar dan konsumen, ketika kita menjalankan
bisnis, seakan-akan Allah swt tidak pernah hadir dalam hati kita. Kita lakukan
cara apa pun, tanpa peduli halal-haram, tanpa memperhatikan apakah tindakan
kita menghancurkan hidup orang lain atau menyengsarakan banyak orang. Kita
lupakan zikir (ingat) Allah sepanjang masa. Konsekuensi dari lupanya kita
berzikir (ingat) pada Allah, maka akan masuklah pembisik atau teman di sekitar
kita yang akan menjerumuskan ke jalan maksiat, pembisik atau teman itu memang
dijadikan Allah untuk mereka yang lupa pada-Nya, dalam Alquran pembisik atau
teman kita itulah syaitan, sebagaimana ditegaskan dalam Alquran surat az-Zukhruf/43:36:
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ
الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ(36)
“Barangsiapa yang berpaling
dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur'an), Kami adakan baginya
syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu
menyertainya.”
Bahkan bagi mereka yang lupa zikir
(ingat) Allah, akan menghadapi kehidupan yang sempit, Allah berfirman dalam
Alquran dalam surat Thaha/20:124:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ
لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى(124)
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya
penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam
keadaan buta".
Di tengah-tengah masyarakat, kita
terkadang tidak lagi mendengar firman Allah yang mengajarkan kejujuran,
keikhlasan, kasih sayang, dan amal saleh. Sebaliknya, dengan setia kita
mengikuti petunjuk syaitan untuk melakukan penipuan dan kemunafikan, kekerasan
hati, dan penindasan. Allah swt yang kita agungkan dalam shalat dan doa kita,
kita lupakan dalam kehidupan kita. Di masjid kita berzikir dengan bertakbir
(mengagungkan Allah), tetapi ditengah-tengah masyarakat kita bertakabbur
(sombong), kita sering melihat inkonsistensi dalam perbuatan kita. Banyak orang
fasih melafalkan Alquran, namun fasih pula dalam menipu orang lain. Inilah
makna zikir yang harus disegarkan
kembali dalam kehidupan masyarakat. Zikir bukan hanya di mulut, secara
lisan berjuta-juta kali menyebut nama Allah, tapi kering di qalbu dan di perilaku.
Zikir harus dilakukan secara sinergis dalam diri kita, baik dalam qalbu, lisan
maupun pebuatan, sehingga ia memiliki nilai efektifitas dalam kehidupan, baik
di dunia maupun di akhirat. Pemahaman zikir seperti inilah yang harus terus
dikembangkan dalam kehidupan modern, yang setiap saat mengalir begitu banyak
problema dan tantangan yang harus dihadapi.
Berkenaan dengan ma’rifah,
bahwa sejak bekembangnya ma’rifah dan
hakikat di kalangan sufi, konsepsi ini menjadi salah satu ajaran pokok
dalam tasawuf. Bahkan kemampuan seseorang untuk mencapai tingkatan ini, menjadi
tolok ukur bagi seseorang apakah ia sudah berhak disebut sufi atau belum.
Dengan kata lain, bahwa seorang zahid atau salik disebut sufi apabila ia telah
mencapai kedekatan dan keakraban dengan Tuhan tanpa tabir, makin tinggi kelas
seorang salik, makin tinggi pula ma’rifah-nya.
Secara harfiah,makna ma’rifah
adalah kenal atau mengenal, yang dalam hal ini adalah mengenal Tuhan secara
jelas. Bila kita menarik dalam kondisi atau konteks kekinian, ma’rifah
bisa pula diinterpretasikan kepada pengenalan secara sungguh-sungguh syariat
Islam serta mengenal esensi diturunkannya syariat itu dalam kehidupan manusia.
Adapun
esensi diturunkan syariat dalam kehidupan manusia adalah demi kebaikan manusia
itu sendiri. Dalam usul fikih dikenal dengan maqasih asy-syari’ah, atau
tujuan diturunkannya syariat, menurut asy-Syatibi, mengemukakan “Sesungguhnya
syariat itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat .“[4]
Dengan mengenal syariat secara baik
dan benar, lalu mengamalkannya dengan baik dan benar, diharapkan manusia yang
seperti ini akan bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Karena syariat itu
bagaikan nur atau cahaya, jadi mata yang sehat bila tidak ada cahaya yang
terang benderang akan sulit bahkan tidak mampu sama sekali membedakan warna
yang berada di hadapannya, semuanya terlihat hitam. Demikian pula bagi mereka
yang tidak mengenal syariat, tidak mampu mengenal dan membedakan mana yang dibolehkan dan mana
yang dilarang, mana yang haram dan mana yang halal, semuanya dianggap halal.
Selanjutnya dalam mengamalkan ajaran
Islam, bagi mereka yang telah paham ma’rifah atau mengenal dengan baik
kandungan syariat, akan melakukannya secara ikhlas dan ridha, karena memang hal
ini diperintahkan dalam Alquran surat al-Bayyinah ayat 5:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا
اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا
الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ(5)
“Padahal mereka tidak disuruh
kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam
(menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan
menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”
2. Maqam/al-Hal
Pada prinsipnya maqam itu adalah
suatu tingkatan seorang hamba di hadapan Allah swt, sebagai Tuhannya dalam hal
ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya. Maqam dapat diraih melalui
berbagai usaha atau latihan dari seorang hamba. Hal inilah yang akan membedakan
dengan hal. Kalau hal
diperoleh sebagai anugerah Allah swt kepada hamba yang telah dipilihnya, tanpa
usaha yang berat dari hamba tersebut.
Dalam kehidupan modern kita dapat
pahami bahwa maqam merupakan suatu usaha atau latihan yang dilakukan
oleh seorang hamba yang ingin memiliki kedekatan dengan Tuhannya, sehingga
mempunyai tingkatan tertentu di hadapan-Nya. Usaha-usaha itu, boleh jadi
mengikuti apa yang telah dirumuskan oleh para sufi terdahulu seperti Taubat,
Wara’,
Sabar, Faqir, Zuhud, Tawakkal, Mahabbah, Ma’rifah,
dan Ridha namun dengan reinterpretasi kembali agar dapat relevan dengan
kekinian.
Taubat,
dapat dipahami agar kita berusaha tidak melakukan kesalahan sedikitpun, baik
yang berhubungan dengan Allah swt, maupun berhubungan sesama manusia. Bila
makna dan nilai taubat ini diimplementasikan dalam kehidupan, maka kita
akan terhindar dari berbagai kesalahan, selalu waspada dan hati-hati dalam setiap
pekerjaan yang dilakukan. Selain itu, dengan pengalaman ketuhanan yang diperoleh
seseorang melalui istighfar (mohon ampun pada Allah) adalah pertama, menanamkan kerendahan hati
yang tulus, karena kesadaran bahwa tidak seorang pun yang bebas dari dosa.
Kedua, sebagai konsekuensi langsung dari kerendahan hati itu dengan banyak istighfar
kita dididik dan dituntun untuk tidak mengklaim kesucian diri atau bersikap semuci
suci (sok suci), yang mana sikap itu sendiri merupakan suatu kesombongan
atau keangkuhan.
Wara’, di kalangan sufi
memiliki pengertian menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas
haram halalnya (syubhat). Bila ditarik pada konteks kekinian, maka sikap
wara’ akan menjadikan seseorang sangat berhati-hati dalam kehidupannya,
seperti ketika mencari rezeki yang halal dan sekuat tenaga menghindarkan dari
berbagai sumber yang haram. Sehingga melatih untuk senantiasa bersih dalam
kehidupannya, lahir batin; yakni terjaga makanan dan minumannya pada yang halal
saja, dalam berusaha selalu mencari rezeki yang halal, serta berbisnis tidak
menggunakan logika spekulasi, tetapi semuanya harus jelas, terukur dan sesuai
dengan norma-norma kemanusiaan dan ketuhanan.
Meninggalkan hal-hal yang tidak
bermanfaat, apalagi yang haram adalah dalam rangka mengendalikan hawa
nafsu,mencapai kesalehan dan keseimbangan batiniah untuk mendekatkan diri
kepada Allah. Wara’dapat dilakukan
dengan beberapa tahap. Pertama,memelihara iman agar tidak ternoda oleh
maksiat, karena iman itu dapat bertambah dan berkurang. Kalau orang itu berbuat
baik, maka imannya sedang bertambah. Tetapi kalau bebuat buruk, maka itu berarti imannya sedang bekurang atau
melemah. Kedua, menghindari perbuatan yang sebenarnya halal, tetapi
dikhawatirkan jatuh kepada perbuatan haram. Misalnya, tidak masuk bar atau
diskotik, karena khawatir tergoda untuk meminum-minumam keras dan perbuatan
maksiat lainnya. Kemudian berteman dengan siapa saja pada dasarnya boleh,
tetapi kalau orang itu mengajak kepada perbuatan dosa, maka orang yang telah
mencapai tingkat wara’ akan menghindari orang yang mengajak tadi, karena
khawatir akan melanggar ketentuan Allah.Ketiga, adalah tahap wara’
paling tinggi, yakni hati orang yang wara’ itu selalu ingat kepada Allah,
kegiatan sehari-hari hanya ditujukan kepada Allah. Tahap wara’ seperti ini
kelihatannya sama sekali sudah meninggalkan urusan duniawi. Jikapun mengurusi
urusan duniawi itu semata-mata untuk beribadah kepada Allah swt.
Zuhud, menurut
pandangan sufi, pada dasarnya adalah tidak tamak atau tidak ingin dan tidak
mengutamakan kesenangan duniawi. Dalam kehidupan dapat dipahami sebagai hidup
sederhana, tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan. Kesederhanaan merupakan
prinsip hidup Islami. Sebab, segala sesuatu kalau berlebihan menjadi tidak
normal dan tidak baik. Sebagai contoh, minum air putih atau susu adalah minuman
yang halal, namun bila kita minum melebih kebutuhan tubuh kita, maka akan
membawa dampak negative tehadap tubuh kita, setidaknya kita akan muntah atau
menimbul penyakit tubuh lainnya. Ini mengindikasikan bahwa segala yang
berlebihan adalah kurang baik.
Tahapan-tahapan zuhud itu adalah, pertama,
meninggalkan segala hal yang haram dan syubhat. Kedua, tidak melakukan
sesuatu secara berlebihan walaupun halal, seperti makan, minum dan
berpakaian.Maksudnya agar peluang untuk bersenang-senang dengan kehidupan
duniawi tidak memalingkan pehatiannya dari Allah.Ketiga, bersikap zuhud
terhadap zuhud.Artinya tidak menganggap zuhud itu sebagai suatu hal yang perlu
dibanggakan.Sebab membanggakan zuhud itu bukan sikap zuhud.Dengan adanya
tingkatan zuhud itu, maka untuk bersikap zuhud perlu melalui latihan secara
bertahap.Mula-mula orang harus menghindari perbuatan haram, kemudian hal-hal
yang syubhat, bersikap sederhana dalam perbuatan halal dan akhirnya tidak
membanggakan sikap zuhudnya.
Sabar,
dapat dipahami sebagai sikap tabah, tekun dan tangguh dalam menghadapi dan
menyelesaikan berbagai problema hidup. Tidak ada orang yang sukses tanpa
kesungguhan dan keuletan serta ketangguhan untuk meraihnya. Dengan sikap sabar, seseorang tidak mudah putus asa,
tidak cepat menyerah ketika belum berhasil. Bahkan seorang yang memiliki sikap
sabar tidak larut dalam kesedihan ketika terkena musibah, ia akan cepat bangkit
untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Sebab, setiap kita ketika mau naik
tingkat di sekolah atau dikuliah, sudah pasti melalui proses ujian. Jika lulus
ujian barulah kita akan naik kelas atau naik tingkat, begitu seterusnya.
Demikian pula dalam kehidupan ini, Allah akan memberikan ujian kepada
hamba-Nya, bila hamba-Nya itu ingin dinaikkan tingkat keimanannya. Sebagaimana
ditegaskan dalam Q.S.al-Ankabut/29:2:
أَحَسِبَ
النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ(2)
’’ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka
dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka
tidak diuji lagi?’’
Faqir,
dapat dipahami bahwa hidup
faqir adalah sikap hidup yang tidak “ngoyo” atau memaksa diri untuk mendapatkan
sesuatu. Tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari
kebutuhan primer. Dalam kehidupan modern, dapat diwujudkan dalam pengertian
kita tidak meminta sesuatu yang diluar apa yang kita lakukan. Kita harus
menyadari bahwa setiap sesuatu ada batasnya, dengan demikian, kita tidak
memaksa diri untuk melakukan di luar kesanggupan kita. Allah swt sendiri tidak
memaksa hamba-Nya untuk melakukan sesuatu di luar kesanggupannya, sebagaimana
firman Allah dalam Q.S.al-Baqarah/2:286 :
لَا يُكَلِّفُ
اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ…
’’Allah tidak membebani
seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.Ia mendapat pahala (dari
kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya.’’
Tawakkal,
kata ini jika kita
telaah pemahaman dari para sufi didapati pengertiannya adalah pasrah dan
mempercayakan secara bulat kepada Allah setelah melaksanakan suatu rencana dan
usaha. Manusia hanya merencanakan dan mengusahakan, tetapi Tuhan yang
menentukan hasilnya.Dalam kehidupan modern sekarang ini, tawakkal, merupakan
sikap optimis dan percaya diri, bahwa segala hal ada yang mengaturnya, yakni
Allah swt. Bila kita mengikuti aturan-Nya, yakni sunnatullah,
maka kita akan sukses, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan sikap optimis
kita akan kreatif, namun tidak takabbur atau sombong, sebab kita
meyakini sepenuhnya yang memberi keputusan hasil baik atau tidak adalah yang
memiliki aturan sunatullah itu sendiri yakni Allah swt.
Sikap ridha, atau rela hati. Dalam kehidupan modern secara Islami, kita harus mencari
keridhaan Allah, juga keridhaan manusia agar kita sukses dunia dan akhirat. Mencari
keridhaan Allah adalah dengan mengikuti aturan yang telah
ditetapkan-Nya.Sedangkan mencari keridhaan manusia adalah dengan tidak
menyakitinya, baik jasmaninya maupun jiwanya. Ridha kepada Allah berlangsung
setidaknya dalam tiga tahap, yaitu; pertama, ridha kepada Allah sebagai
Tuhan, maksudnya adalah Tuhan yang dipercayai hanya Allah dan tidak percaya kepada
tuhan yang lain. Jadi, ridha kepada Allah adalah mengesakan-Nya dan
tidak mempersekutukan-Nya.
Kedua, ridha kepada Ajaran
Allah yang diturunkan melalui Nabi Muhammad, baik perintah maupun larangan.
Pada tahap ini ridha kepada Allah berarti senang kepada ajarannya, yaitu senang
menjalankan perintah-Nya dan senang menjauhi larangan-Nya. Akhirnya, yang ketiga,
adalah ridha kepada takdir Allah, baik itu keadaan bahagia atau
sengsara. Di dunia ini ada orang-orang yang kehidupannya beruntung dan bahagia,
dan ada pula orang-orang yang kehidupannya kurang beruntung dan sengsara.
Keduanya adalah takdir Allah.
Takdir dialami setelah orang
berikhtiar. Karena itu, orang tidak boleh menunggu takdir datang, tetapi takdir
itu harus disongsong dengan cara berikhtiar.Setelah berikhtiar atau bekerja
apapun hasilnya, bahagia atau sengsara, itulah takdir. Orang yang sudah ridha
kepada Allah akan senang kepada hasil pekerjaannya.
B.
Pengamalan Tasawuf Syar’i
1.
Pengamalan Tasawuf
Rasulullah Saw.
Tidak bermaksud bahwa pada zaman Rasul sudah ada istilah tasawuf, atau ilmu
tasawuf, tidaklah demikian. Namun, para ulama tasawuf memberikan formulasi
bahwa kehidupan Rasul bila dilihat dari pandangan tasawuf, hal itu merupakan
pengejawantahan dari pengamalan tasawuf sebagaimana yang telah diformulasikan
oleh para sufi. Dan harus ditekankan bahwa Rasul tidak penah menyatakan bahwa
apa yang diamalkan itu merupakan pengamalan tasawuf, sebab istilah tasawuf saja
lahir jauh setelah Rasul wafat. Namun, orang
belakanganlah yang memformulasikan keilmuan dan istilah tasawuf.
Bila ditelaah kehidupan Rasulullah saw, maka dapat dilihat bahwa beliau
hidup sederhana, jauh dari kesan kemewahan, tidak suka berlebihan dalam segala
hal. Sebagaimana dikemukakan oleh Husein Haikal, bahwa semboyan hidup Rasulullah saw adalah, “Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali apabila lapar, dan apabila makan
tidak kenyang,’’ ini merupakan indikasi kesederhanaan dan sikap yang
tidak suka akan berlebih-lebihan.[5]
Nabi Muhammad saw adalah sosok manusia yang patut dicontoh,[6] karena beliau dinyatakan sebagai manusia yang berakhlak mulia.[7] Dengan demikian, tidak boleh tidak seluruh perilakunya selalu menjadi
pelajaran bagi umatnya dulu, kini dan yang akan datang, baik dalam bidang
agama, politik, ekonomi dan sosial budaya.
Adapun sebagai pengejawantahan
kehidupan zuhud Rasul saw, para ahli sejarah mencatat perilaku sehari-harinya.
Beliau sangat sederhana dalam segala hal. ‘Umar bin Khattab menceritakan, bahwa
ketika ia menjadi missi perdamaian antara beliau dengan istri-istrinya, ketika
tersebar isu, Rasul saw akan menceraikan istrinya. Pada waktu itu ‘Umar masuk
ke dalam rumahnya. Rasul saw sedang berbaring di atas tikar, ketika beliau bangun, terllihat
garis-garis merah pada tubuhnya, bekas tikar tersebut. Ketika aku melihat
lemarinya, tidak kudapatkan sesuatu kecuali dua genggam dari gandum dan buah
qarz, dua atau satu kulit yang telah disamak. Emosiku tersentuh dan seketika itu
aku menangis. Nabi bertanya, “Apakah gerangan yang menyebabkan engkau menangis
hai ‘Umar ?” Aku menjawabnya, bagaimana aku tidak menangis karena melihat
keadaanmu yang sederhana ini, sedangkan engkau adalah sebaik-baik manusia dan
bahkan sebagai kekasih Allah swt. Sedangkan Kaisar dan Kisra dalam kemewahan.
Hai ‘Umar, kata nabi saw : ’Tidak relakah engkau bagi kita negeri akhirat dan bagi mereka negeri
dunia ? Betul, ya Rasulullah. Lalu Nabi
menambahkan, bertahmidlah kepada Allah ‘Azza wa jalla.’[8]
Rasulullah saw tinggal bersama
istri-istrinya di dalam sebuah pondok kecil yang sederhana, beratap jerami,
tiap-tiap kamar dipisah dengan batang-batang pohon palma, yang direkat dengan
lumpur.[9] Beliau mengurus
rumah tangganya sendiri,[10] seperti menjahit
pakaian, memeras susu kambing dan menambalkan untanya sendiri, serta
memperbaiki sandal.[11]Peralatan rumahnya sangat sederhana, tikarnya terbuat dari kulit, dan
rumput kering.[12] Melihat keadaan seperti itu, seorang wanita Anshar tidak sampai hati
kemudian dia pulang untuk mengambil alas yang terbuat dari bulu kambing untuk
dihadiahkan kepada Nabi saw. Namun ketika beliau datang menanyakan kepada
Fatimah, dan dijawabnya, kemudian beliau menyuruhnya untuk dikembalikan.Dan
dengan suruhan atau perintahnya tiga kali, akhirnya Fatimah mengembalikannya.[13]
Prinsip yang dipegang oleh
Rasulullah saw adalah kehidupan dunia ini bagaikan seorang penunggang kuda atau
kenderaan yang sesaat berteduh di bawah pohon, kemudian pergi lagi.[14] ‘Usman bin ‘Affan
menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, ’’Sesungguhnya yang menjadi hak seseorang adalah hanya tiga, yakni
rumah tempat tinggal, pakaian untuk menutup aurat, dan roti tawar beserta air
putih.’’[15] Hartanya yang
paling berharga adalah apa yang ada di tangannya, yang paling mewah adalah
sepatu hadiah dari raja Najasyi. Dan sesekali pernah memakai pakaian yang agak
mewah yakni pakaian tenun dari Yaman.[16]
Demikian juga Rasulullah saw sangat sederhana dalam makanan. Beliau
sangat sedikit makan, memakan roti tawar dan air putih.Kadang-kadang selama
berbulan-bulan beliau tidak pernah menyalakan perapiannya. Beliau minum susu
apabila diberi oleh tetangganya.[17] Bahkan diceritakan oleh Aisyah, bahwa keluarga Rasulullah saw tidak
pernah merasakan kenyang dari roti
gandum selama tiga malam berturut-turut sampai beliau wafat.[18]Pada saat memiliki harta yang lebih untuk makan sehari semalam
dihadiahkan kepada faqir dan miskin, khususnya ashab as-Shuffah.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Anas ibn Malik bahwa Rasulullah saw tidak
pernah menyimpan sesuatu untuk besok.[19] Muhammad Ridha mengemukakan bahwa apabila Rasulullah saw mendapat
shadaqah, maka disedekahkan lagi kepada orang lain, sebab Rasul dilarang menerima sedekah.[20]Tetapi boleh menerima hadiah. Sikap ini tidak hanya berlaku pada
dirinya, akan tetapi keluarganya pun dididik demikian.
Kepada sahabat dekatnya, Rasulullah
saw pernah menegur Bilal ketika beliau masuk ke dalam rumahnya dan melihat
seonggok kurma, Rasul saw bertanya kepada Bilal : ‘Apakah ini, hai
Bilal ?’ Simpanan kurma,’ sahut Bilal. Rasul bersabda kepadanya, ‘celaka
engkau hai Bilal, tidakkah engkau takut akan menjadi umpan api neraka,
infakkanlah dan jangan takut kekurangannya.’.[21] Suatu ketika
Rasul saw diberi hadiah baju oleh seorang wanita, yang mana baju itu sangat
dibutuhkannya, tiba-tiba ada seseorang yang memintanya untuk dijadikan kafan
mayat, maka baju itu diberikannya.[22]
Demikian kesederhanaan sikap hidup
Rasulullah saw, yang dalam khazanah para sufi dikenal dengan sikap hidup zuhud.
Namun, yang harus diperhatikan adalah Rasul saw
melakukan hal itu sebagai contoh kepada umatnya. Sebab, Alquran sendiri
menganjurkan untuk memakan barang-barang yang halal dan lezat,[23] agar mencari keseimbangan antara kebutuhan rohani dan jasmani ;
dunia-akhirat.[24] Dengan demikian, jelaslah bahwa perilaku Rasulullah saw adalah untuk
memberi contoh kepada umat manusia untuk menunjukkan kekuatan hidup yang tidak
tergantung kepada masalah-masalah materi (kebendaan) dan kekuasaan. Dari sini,
juga dapat dilihat sikap kedermawanan Rasul saw serta menumbuhkan solidaritas
sesama manusia tanpa melihat zahiriahnya, atau latar belakangnya, artinya jika
memang harus dibantu kita memiliki kewajiban untuk membantu sesama manusia.
Prinsip-prinsip dasar yang
ditanamkan oleh Rasulullah saw adalah apa yang dikemukakan oleh Ali r.a. atas
jawaban yang diberikan oleh Rasul ketika ia menanyakan tentang sunnahnya :
’’Ma’rifah adalah modalku, akal
adalah asal agamaku, cinta adalah fondasiku, rindu adalah kenderaanku, zikir
kepada Allah adalah kesukaanku, kepercayaan adalah perbendaharaanku, kesabaran
adalah selendangku, ridha adalah harta rampasanku, kefakiran adalah
kebanggaanku, zuhud adalah pekerjaanku, keyakinan adalah kekuatanku, kejujuran
adalah penolongku, ketaatan adalah kecukupanku, jihad adalah kepribadianku dan
ketenanganku pada waktu menjalankan shalat.’’[25]
Demikianlah kesederhanaan kehidupan Rasul saw, baik perabot rumah
tangga, pakaian dan makanan. Rasul saw tidak memikirkan kemegahan dan
kemewahan, sementara beliau sangat mampu berbuat demikian mengingat kekayaan
finansial seluruh umat Islam berada
dalam kekuasaannya, dan sangat memungkinkan beliau mempergunakan sekehendaknya.
Namun beliau hidup sederhana, bagai kehidupan orang yang fakir dan miskin,
kendatipun beliau bukanlah seorang fakir dan miskin.
Dalam Alquran, dengan tegas dinyatakan bahwa Rasul saw mendapat bagian
dari sebagian harta rampasan perang,[26] tersebut dalam Q.S.al-Anfal/8:41 :
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ
شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى
وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ ءَامَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا
أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ
وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(41)
’’Ketahuilah,
sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di
hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’’
Rasulullah saw juga berhak untuk
mendapat harta fa’i atau upeti sebagaimana ditegaskan dalam Q.S.al-Hasyr/59:7
:
مَا أَفَاءَ
اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي
الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ
دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ
وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ
الْعِقَابِ(7)
’’Apa saja harta rampasan
(fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk
kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu
maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat
keras hukuman-Nya.’’
Berdasarkan hak yang dimiliki oleh
Rasul saw, sebagaimana yang telah ditentukan Alquran, maka seandainya rasul
menginginkan dan mau hidup bagaikan seorang raja, hidup dalam kemegahan
materi,tentu bisa,namun beliau memilih hidup zuhud, sederhana bagaikan hidup
seorang fakir, dan mau bergaul dengan mereka, seperti sahabatnya Abu Hurairah
dan Abu Zar al-Ghifari.[27]
Demikianlah gambaran kehidupan Rasul
saw, memandang biasa terhadap kemewahan, hidup dalam prinsip hemat, meskipun
beliau bukan seorang pertapa. Beliau juga mengerjakan pekerjaan rumah, sangat bersahaja dan sedikit
dalam makan, dan seringkali berpuasa. Kesederhanaannya dalam segala hal itu bukan karen pura-pura akan tetapi
beliau memandang sama antara yang sederhana dan yang mewah. Perubahan status
dan keadaan dirinya, dari seorang miskin, penggembala kambing dan sebagai penguasa suatu perniagaan.
Kemudian mendadak menjadi seorang kaya raya akibat pernikahannya dengan
Khadijah, dan meningkat menjadi seorang
Rasul tidak mengubah sikap dan
perilakunya. Kemenangan militernya tidak menyebabkan kesombongan maupun
kemegahan yang dibuat-buat, karena kemenangan itu dipergunakan untuk tujuan
Islam, tidak mementingkan diri sendiri. Di saat mencapai puncak kejayaannya
sama sederhananya dengan ketika dalam keadaan keprihatinan. Sejauh menyangkut adat-istiadat
‘kerajaan’, beliau tidak senang jika suatu saat memasuki ruangan diberi suatu
penghormatan protokoler yang dibuat-buat.
Rasulullah saw bukanlah tipe
laki-laki yang selalu membebaskan hawa nafsu. Sewajarnya jika beliau
mengajurkan hidup sederhana kepada umatnya. Dan memang beliau sebagai uswatun
hasanah, (contoh teladan yang baik) dalam segala hal dan segi kehidupan,
baik sosial, politik dan ekonomi bagi masyarakat modern, seperti melakukan
musyawarah, memberi jaminan keadilan sosial. Menanamkan rasa persamaan dan
solidaritas sosial.[28]
Selanjutnya, Rasul juga berupaya
dalam pemecahan problem sosial dan moral, dimulai sejak sebelum diutus sebagai
rasul, merenung dan bahkan ber-tahannus serta berkontemplasi mencari solusi problema yang
sedang dihadapinya. Tidak sia-sialah usahanya itu, dengan datangnya
hidayah berupaya wahyu Ilahi. Berbagai
upaya telah dilakukan untuk memecahkan problema sosial, seperti menghilangkan
kebodohan dengan mengalakkan membaca dan berpikir, menghilangkan kemiskinan
dengan ajaran semangat kerja, untuk menghilangkan perbudakan dengan berbagai
motivasi religius untuk mengentas mereka yang diperbudak, dan untuk
menghilangkan dekadensi moral dengan semangat tauhid dan beribadah kepada Allah
swt. Setelah diangkat menjadi Rasul Allah, banyak kebijakan yang dilakukan,
seperti menegakkan keadilan, mengadakan perjanjian, seperti Perjanjian Madinah
dan Hudaibiyah, mengadakan hubungan bilateral dengan negara tetangga seperti
Habasyah (Ethiopia), melakukan negosiasi tertentu dalam mengatur negara dengan
dukungan wahyu dan feeling politiknya yang cukup mengagumkan.
Dalam suatu riwayat, Rasul saw
membuat gambaran perbandingan antara dunia dan akhirat, antara lain dinyatakan
bahwa perbandingan antara keduanya bagaikan seseorang yang mencelupkan
jari-jarinya ke dalam lautan, maka (dunia bagaikan air) yang melekat pada
jari-jarinya itu.[29]Namun demikian, beliau tidak menganjurkan untuk
meninggalkan dunia sama sekali. Karena yang disebut zuhud bukan berarti menghalalkan yang haram
dan meremehkan harta, akan tetapi zuhud mempunyai arti tebalnya keyakinan
kepada Allah swt dari apa yang telah ada di tangannya.[30]
Adapun penggambaran Rasul saw berkenaan
dengan dunia bagaikan penjara bagi orang yang beriman, mempunyai arti bahwa
kehidupan mereka selalu dibatasi dan tidak bisa hidup semena-mena, bagaikan
orang yang hidup dalam sebuah penjara ; dan sebaliknya bagaikan surga bagi
orang kafir (yang mengingkari adanya Tuhan atau perintah Tuhan), karena dunia
adalah tempat yang menyenangkan, mereka bisa hidup seenaknya tanpa ada batasan
yang mengikatnya. Harta kekayaan dan pangkat jabatan serta lain-lainya hanya
sekedar sarana mencari tujuan akhir hidup seorang Muslim, yakni mencapai
keridhaan Allah swt, dan materi (kebendaan) bukan tujuan mereka. Hidup qana’ah
dan tawakkal secara aktif merupakan kunci kebahagiaan seseorang. Umat Islam
diperintah bergegas melaksanakan shalat bila waktunya telah tiba, namun juga
harus bertebaran kembali mencari rezeki bila shalat telah selesai, sebagaimana
dinyatakan dalam Q.S.al-Jumu’ah/62:9-10 :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ
كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(9)فَإِذَا
قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ
وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(10)
’’Hai orang-orang yang beriman,
apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum`at, maka bersegeralah
kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.Apabila telah ditunaikan sembahyang,
maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.’’
2.
Praktek Tasawuf
Para Sahabat
Bila menelaah kehidupan dan ucapan para sahabat, maka kita akan dapati
mereka bisa sebagai sumber yang dapat dipetik sebagai landasan kehidupan sufi,
sebagainana yang diformulasikan oleh para sufi. Sebagai contoh kehidupan zuhud
para sahabat, yakni kehidupan sederhana dan qana’ahnya. Para sahabat dalam
perilaku mereka mengikuti jejak Rasul saw, bahkan mereka dipuji oleh Allah swt,
sebagaimana dinyatakan dalam Q.S.at-taubah/9:100 ;
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ(100)
’’Orang-orang yang
terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin
dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha
kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di
dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.’’
Rasulullah saw juga memuji para sahabatnya dan menempatkan mereka dalam
posisi yang istimewa, sebagaimana dikemukakan dalam suatu riwayat al-Baihaqi
berikut ini :
’’ Sahabatku bagaikan
bintang. Siapapun di antara mereka yang kamu ikuti, niscaya akan mendapat
petunjuk.’’ (H.R.Baihaqi).[31]
Dalam menafsirkan hadits tersebut di
atas, at-Tusi mengemukakan bahwa, ‘mereka diumpamakan dengan nujum
(bintang), bukan dengan kaukab (planet), karena istilah pertama lebih
tepat, arti nujum dapat memberi petunjuk, baik di laut maupun di darat, karena besar dan banyak
sinarnya. Sedangkan kaukab adalah bintang kecil yang sinarnya tak bisa
dipakai sebagai petunjuk.[32] Karena
kedudukannya itulah, menurut pandangan at-Tusi, para sahabat dapat dijadikan
suri teladan atau panutan yang baik bagi umat Islam yang datang kemudian dalam
seluruh makna lahir dan batin.[33] Para sahabat
Rasul saw itu cukup banyak, namun di sini akan dikemukakan beberapa saja yang
dapat mewakili keperibadiannya yang bisa dicontoh oleh umat Islam.
Pertama, Abu Bakar as-Shiddiq adalah sahabat Rasul saw
yang menggantikan Rasul setelah wafatnya. Jadi, dia
adalah khalifah pertama setelah Muhammad saw wafat. Pada dasarnya, Abu Bakar
tidak berambisi dan tidak memburu kursi atau jabatan khalifah tersebut. Hal ini
terbukti ketika di Balairung Saqifah Bani
Sa’idah, justru ia menunjuk ‘Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah. Dalam
pemikirannya, jabatan itu diterimanya karena semata-mata ingin beribadah dan
khidmah kepada kepentingan umat. Pada suatu saat ia pernah berkata kepada Ali dan Zubair, ‘Aku tidak mengharapkan pangkat. Aku tak
memburunya, baik siang maupun malam. Aku tak penah meminta-minta kepada Tuhan
lahir maupun batin untuk menjadi khalifah, penerimaanku ini semata untuk
menghindarkan kekacauan. Urusan berat dan besar yang aku junjung hingga aku tak
pernah bersenang diri. Rasanya tak sanggup aku memikulnya kalau bukan dengan
kodrat dan bantuan Allah.[34]
Gambaran di atas, memberikan
indikator bahwa Abu Bakar mempunyai komitmen terhadap masalah sosial dan
politik serta kepentingan bersama, sehingga ia rela mengorbankan kepentingan
dirinya. Pada awal pemerintahannya saja banyak tantangan yang dihadapinya.
Namun ia tegar dan sabar menghadapinya.
Sikap tegar dan wajar dalam segala hal, nampak setelah ia dilantik
sebagai khalifah. Kendatipun dia sebagai kepala negara atau khalifah, namun
tetap sebagaimana sediakala, pergi ke pasar untuk berjualan demi menghidupi
keluarganya.Suatu ketika dia bertemu dengan ‘Umar bin Khattab di tengah
perjalanan menuju ke pasar. ‘Umar bertanya kepadanya, ‘hendak ke mana engkau
hai Abu bakar ?’ Jawabnya, ‘Akan ke pasar untuk menjual pakaian
ini !’ Engkau ke pasar untuk berjualan, sedang engkau adalah khalifah
al-muslimin ?’ sahut ‘Umar. Abu Bakar menjawab, ‘Dari mana aku menghidupi
keluargaku ?’ Maka ‘Umar bersama ‘Ubaidah ibn al-Jarrah mengatakan,
«’Pulanglah, akan kami ambilkan sedikit dari Baitul Mal!’ Kemudian dia pulang.[35]
Kedua,‘Umar bin Khattab, beliau adalah sahabat
Rasul khalilfah kedua, menggantikan Abu Bakar setelah ia wafat. Dalam
membandingkan antara khalifah-khalifah, Mu’awiyah berkata; ‘Adapun Abu Bakar,
maka dia tidak menghendaki dunia dan dunia tidak menghendakinya,
adapun ‘Umar maka dunia menghendakinya dan dia tidak menghendakinya,
mereka hidup dalam keadaan zuhud. Adapun kita telah tenggelam dalam keduniaan.[36]
‘Umar bin Khattab paling banyak berlindung pada kemampuan dirinya dalam
perkara-perkara yang sangat menyentuh hatinya dan dasar-dasar tabiatnya. Dalam
kekhawatiran terpedaya kemewahan dan kesengasaraan, dia tidak menyerah kepada
keinginan nafsunya, terhadap makanan, pakaian dan harta benda. Dan dia khawatir
akan terpengaruh oleh keinginan anak dan keluarganya, sebab itu ia menghindari
untuk memberikan mereka rezeki yang tidak diketahui sumbernya dan membiarkan
mereka melepaskan unta-untanya yang kurus di antara unta-unta yang gemuk,
karena khawatir akan digembalakan oleh manusia di tanah gembalaan mereka.
Karena mereka putra Amirul Mu’minin dan unta itu adalah unta putra Amirul
Mu’minin. Umar bin Khattab terkenal kebeningan jiwa dan kebersihan qalbunya,
sehingga Rasul saw bersabda, ‘Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan
qalbu ‘Umar.’[37]
Diriwayatkan bahwa pada suatu
ketika, setelah Umar bin Khattab menjabat khalifah, dia berpidato dengan
memakai baju yang bertambal 12 sobekan.[38]Sementara Abu al-Faid mengatakan terdapat 14 tambalan, di antaranya dari
kulit bewarna merah.[39] Selanjutnya at-Tusi mengemukakan :
’’Dalam berbagai hal ia berupaya
memakai pakaian bertambal, bersikap garang, meninggalkan hawa nafsu,
meninggalkan barang yang syubhat, tegar
dalam menegakkan kebenaran, menyamaratakan hak-hak orang yang dekat
ataupun yang jauh, dan tegar berpegang pada ketaatan.’’[40]
Perilaku sederhananya Umar bin
Khattab itu tidak hanya untuk dirinya sendiri, akan tetapi dia berupaya agar
orang lain hidup sederhana pula. Suatu ketika ada orang yang berlebihan dalam
membeli daging, maka ia berkata kepadanya, ‘Alangkah baiknya jika engkau melipat perutmu untuk
tetangga dan familimu ?’[41]
Selanjutnya, bila melihat
kesederhanaan hidup ‘Umar bin Khattab serta cara berpakaian dan kualitas
makanan,pernah suatu ketika anaknya, Hafsah menyarankan agar berpakaian yang
lebih baik dan makan yang lebih bekualitas, sebab menurut Hafsah, Allah telah
memberi kelonggaran rezeki dan kebaikan yang
banyak. ‘Umar menjawab, ‘Aku berbeda dengan pandanganmu, ingatlah engkau
penderitaan hidup yang dialami oleh Rasul saw dan Abu Bakar ?’ Ucapan itu
selalu diulang-ulangnya, sehingga Hafsah menangis. Kemudian ‘Umar berkata
kepadanya, ‘Sungguh aku mengatakan demikian, ‘Demi Allah, seandainya aku mampu,
niscaya akan meniru kehidupan mereka (Rasul saw dan Abu Bakar) yang sangat
sengsara, dengan suatu harapan aku bersama mereka bisa menemukan suatu
kehidupan yang enak dan membahagiakan.’[42]
‘Umar bin Khattab mengajak sahabat yang lain agar
memurnikan niat hanya untuk Allah swt dalam segala amal, jangan dicampuri dengan urusan duniawi. Suatu ketika
seorang sahabat meminta izin kepadanya untuk ikut memerangi kerajaan Romawi
dann Persia, dengan suatu alasan pengalaman Rasul saw. ‘Umar mencegahnya untuk
ikut berperang dengan alasan bahwa pengalaman perangnya bersama Rasul saw itu
sudah memadai dan mengangkat derajatnya. Perang pada masa itu lebih baik daripada perang pada masa kini.
Sesungguhnya alasan Umar itu sekedar
basa-basi, yang menjadi inti persoalan adalah sahabat tadi ingin mendapatkan
harta kekayaan yang berasal dari rampasan perang. ‘Umar selanjutnya mengatakan
padanya, ‘Sesungguhnya lebih baik engkau tidak terpengaruh dengan dunia dan
dunia pula jangan sampai mengotorimu.‘’[43]
Ketiga, ‘Usman bin ‘Affan, adalah khalifah ketiga
menggantikan setelah wafatnya ‘Umar bin Khattab. Pada saat’Usman menanjak
dewasa, dia menjadi saudagar kain. Perdagangan ini membuat dia
menjadi kaya raya. Dengan kekayaan ini dia sanggup dan siap sedia membantu
rakyat. Dia baik hati dan pemurah. Dia bisa menyediakan sejumlah uangnya untuk menolong orang-orang yang
terlibat dalam kesukaran. Masyarakat Makkah sangat menghargainya.[44]
Berkenaan dengan sikapnya terhadap duniawi, banyak sekali riwayat yang
menunjukkannya. ‘Usman mempunyai anggapan bahwa harta mempunyai nilai sosial
yang harus di-tasarruf-kan kepada kepentingan umum. Dia pernah
mengatakan, ‘’Seandainya aku tidak khawatir bahwa dalam Islam terdapat lobang
yang dapat kututup dengan harta ini, pasti aku tidak akan mengumpulkannya.[45]
Prinsip dasar hidup ‘Usman
tersebut, benar-benar dibuktikan dalam perilakunya. Ketika pengungsi-pengungsi
makkah sampai di Madinah, mereka mendapatkan kesukaran untuk memperoleh air
minum. Di sana hanya ada satu sumur, yaitu sumur rumah kepunyaan orang Yahudi.
Orang ini tidak mengizinkan mereka yang dahaga itu untuk mengambil air dari
sumur tersebut. Rasul saw menawarkan kepada para sahabat, siapa yang mau
berkorban membelil sumur ini guna kepentingan kaum muslimin ? Allah akan
membalas pahala dengan satu pancuran di surga. Segera ‘Usman bin ‘Affan
menjawab, ‘Saya siap membelinya.’’ Dan selanjutnya diberikan kepada umat Islam.[46]
Keempat,Ali bin Abi Thalib, adalah khlaifah keempat
menggantikan ‘Usman bin Affan. Dalam perjalanan hidupnya, dia selalu bersama
Rasul saw, baik situasi suka maupun duka. Ketika Rasul saw berhijrah ke Madinah
dia mendapat tugas menempati tempat tidur Rasul saw, dia selalu mengikuti
perang kecuali peang Tabuk, yaitu ketika dia diperintah bersama wanita-wanita
dan anak-anak dan dengan itu dia tidak diperbolehkan mengikuti perang Tabuk,
banyak isu yang muncul bahwa Nabi saw tidak senang kepada ‘Ali r.a., maka Ali
menanyakan kepada beliau, kemudian dijawab oleh Rasul saw, ’’Tidak relakah
engkau menempatkan posisi harun dan Nabi Musa as, hanya saja tidak ada nabi
sesudahku.’’[47]
Ali bin Abi Thalib memiliki perilaku
dan sikap hidup yang sederhana, sama seperti sahabat rasul lainnya. Berkenaan
dengan hidup zuhud, dia mengemukakan, ‘Tidak banyak melamun, bersyukur ketika
mendapatkan nikmat dan wara’ (menjaga diri dari hal-hal yang syubhat dan
haram).[48] Oleh karena
itulah dia sangat mengkhawatirkan kepada umatnya atas dua hal, yakni mengikuti
hawa nafsu dan panjangnya angan-angan. Keduanya mengandung bahaya. Yang pertama
akan menghambat jalan menuju al-Haq (Tuhan), dan yang kedua akan
melupakan akhirat. Selanjutnya ‘Ali bepesan, sesungguhnya dunia akan sirna
dengan cepat, tidak tersisakan kecuali bagaikan bekas air dalam belanga yang
ditumpahkan airnya..[49]
Lebih lanjut Ali menyatakan, ‘Dunia
bagaikan bangkai, barangsiapa yang menghendakinya, diharapkan bersabar hidup
bersama anjing-anjing.’’ Menurut dia, kebaikan bukan berarti banyak anak dan
harta, akan tetapi banyak ilmu, kemurahan hati dan selalu beribadah kepada
Allah. Jika berlaku baik, memuji Allah, dan apabila berbuat kejelekan, dia
memohon ampunan-Nya. Tidak ada kebaikan sedikitpun bagi dunia kecuali bagi dua
orang, yakni seorang yang berbuat salah kemudian bertaubat, dan seorang yang
semangat menjalankan kebaikan dan tidak menganggap sedikit amal perbuatan yang
terdapat taqwa di dalamnya.[50]
Cara berpakaiannya sangat sederhana,
terdiri dari bahan yang kasar, misalnya dia pernah memakai sarung kasar seharga
5 dirham. Abu Nuwwar, seorang penjual pakaian jadi, menceritakan bahwa Ali bin
Abib Thalib pernah datang berasama pembantunya untuk membeli dua baju. Ali
mengatakan kepada pembantunya, ‘Pilih salah satunya yang kau sukai,’ kemudian
dipilihnya, ‘Ali memakai yang lain dan memakainya.’[51]
Demikianlah praktek sufi para
sahabat, yang dalam hal ini dapat dilihat sahabat Rasul yang empat, yang
dikenal dengan khulafa ar-Rasyidin. Sikap dan perilaku mereka patut
dijadikan teladan, sederhana tidak berlebih-lebihan dan tetap taat kepada Allah
dalam situasi, kapan dan di manapun mereka berada.
3.
Praktek Tasawuf
Tabi’in
Benih-benih kehidupan rohaniah
tidaklah sekedar terpancang kuat pada qalbu Nabi maupun al-Khulaf
ar-Rasyidun saja, tetapi juga dimiliki oleh sahabat lain yang bukan
khalifah. Ajaran-ajaran esoteris Islam yang telah dipraktekkan dan diajarkan
oleh Rasulullah saw yang kemudian
diikuti oleh para sahabat ini, juga tampak jelas dalam kehidupan dan ucapan
para tabi’in; oleh karena itu, pola kehidupan dan ucapan para tabi’in juga
dipandang oleh ahli sufi sebagai rujukan ajaran moral dan ibadah mereka. Di
antara para tabi’in yang terkenal dalam kehidupan kerohaniaannya antara lain;
Hasan al-Basri (22-110 H/642-728 M), Malik bin Dinar (w.130 H/747 M), Ibrahim
bin Adham (w. 161 H/777 M), Rabi’ah al-Adawiyah (w.185 H/801 M), Abu Hasyim
as-Sufi (w. 161 H/777 M), Sufyan bin Sa’id as-Sauri (97-161 H), Daud at-Thai
(w. 165 H), Syaqiq al-Baklkhi (w. 194 H/810 M), dan lain-lain. Di sini tidak
dikemukakan satu persatu riwayat hidupnya, hanya saja akan dijelaskan esensi
dari moral para tabi’in yang patut ditiru, yang oleh para sufi sebagai rujukan
dalam pengamalan sehari-hari. Pembahasan praktek tasawuf tabi’in yang
dikemukakan pada tulisan ini diwakili oleh Ibrahim
bin Adham.
Ibrahim
bin Adham (w. 161 H/777 M) merupakan tokoh dan sosok yang memiliki ciri
khusus. Ia dikisahkan secara legendaries (asatir) yang menyerupai Budha,
dalam hal keduanya sebagai seorang raja yang diliputi oleh gemerlapnya
kehidupan duniawi kemudian meninggalkannya. Hampir semua penulis, seperti Abu
Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya, at-Thusi dalam al-Luma’,
al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyiariyyah, Ihsan Ilahi Zahir dalam at-Tasawwuf
al-Mansya’ wa al-Masadir, menjelaskan bahwa Ibrahim bin Adham adalah
seorang pemimpin (amir) anak raja Balkh yang lari dari istana. Suatu
ketika sedang mengejar kijang, sehingga jauh dari teman-temannya, ketika kijang
itu dekat dengan dia, hati nurani Ibrahim bertanya kepada dirinya sendiri; “Adakah untuk ini kau diciptakan di
alam ini?” Dari sini maka Ibrahim taubat
dan ber’uzlah serta hidup menyendiri dan mencari makan dari karya
tangannya sendiri. Refleksi kehidupan Ibrahim yang demikian, banyak dijumpai
para penulis yang mengatakan bahwa dia dipengaruhi oleh kehidupan Budhisme,
sebab kehidupan seperti ini tidak dijumpai dalam periode pertama Islam. Hal ini
adalah logis, karena Balkh merupakan daerah di mana Budhisme berkembang di kala
itu. Atau setidaknya, cerita tentang Budha telah mempengaruhi lingkungan Islam
pada masa ‘Abbasiyyah. Meski hal ini dibantah oleh ‘Abd al-Hakim Hasan.[52]
Bila ditelaah dari sisi para penulis
modern, seperti at-Taftazani dan an-Nasysyar menilai bahwa cerita berkenaan
dengan Ibrahim bin Adham memiliki banyak versi dan variasi.[53]An-Nasysyar mencatat ada empat versi sebab taubat Ibrahim bin Adham. Pertama,
sebab bisikan hati nurani ketika mengejar kijang tersebut; kedua, karena
memikirkan kehidupannya yang tidak diliputi oleh kesulitan, tiba-tiba dia
melihat dari jendela istananya seorang laki-laki yang fakir, maka pakaian
kebesarannya dilepas dan dibuang jauh-jauh, diganti dengan pakain peminta-minta
yang lusuh, dia meninggalkan istana, menjauhkan diri dari keluarga (anak dan
istri), dan hidup di pandang pasir; ketiga, an-Nasysyar dengan mengutip
pandangan Goldziher, bahwa Ibrahim mempunyai cerita yang sama dengan Jalal
ad-Din ar-Rumi; “Suatu ketika para penjaga istana Ibrahim bin Adham mendengar
suara gaduh dan gemuruh di atas atap istana, maka dilihat orang-orang sedang
mencari untanya yang hilang. Para penjaga itu membawa mereka di hadapan
Ibrahim. Ketika mereka ditanya oleh Ibrahim, “apa mungkin terjadi seorang mencari
untanya di atas atap rumah?” Mereka menjawab, “Kami hanya sekedar mengikuti apa
yang engkau lakukan, yakni berusaha mencari atau bertemu Allah dengan cara
duduk di atas singga sana, adakah seseorang yang demikian itu bisa mendekatkan
diri kepada-Nya,” dari peristiwa ini, maka Ibrahim lari dari istananya dan tidak seorang pun yang
melihatnya sejak itu. Kemudian yang keempat, Ibrahim bin Adham bertemu
dengan pendeta, Sam’an atau yang lain, lalu dia bertaubat.[54]
Nicholson berpandangan bahwa dia
tidak menjumpai pengaruh Masehi atau lain terhadap tasawuf kecuali sedikit.[55] Namun dalam
bukunya, as-Sufiyah fi al-Islam, menyatakan bahwa cerita Ibrahim bin
Adham adalah pengulangan terhadap kisah Budha.[56] Namun,
an-Nasysyar sendiri menyatakan bahwa, Ibrahim bin Adham bukan seorang anak raja
atau raja, akan tetapi seorang kaya raya bernama Ibrahim bin mansur. Dia hidup dalam kemewahan dan gemerlapnya dunia, kemudian beguru bersama
pembantunya.[57]
Selanjutnya, dalam bagian lain
an-Nasyar mengemukakan bahwa dia menjumpai kisah yang menyerupai Budha bukan di
Balkh akan tetapi di Syam. Anehnya Ibrahim bin Adham sendiri yang
mengisahkannya ketika dia melewati sebuah kuburan (teletak di padang pasir di wilayah
Syam), maka dia behenti sejenak, menangis dan penuh rasa kasih. Pembantunya yang bernama Ibrahim bin Basysyar memohon penjelasan tentang
kejadian tersebut. Maka diceritakan oleh Ibrahim bin Adham bahwa ini adalah
kuburan Hamid bin Jabir, Amir kota ini. Dia tenggelam dalam lautan dunia
kemudian dientaskan dan diselamatkan oleh Allah swt! Dalam suasana
keterpesonaannya terhadap fitnah dunia, dia tertidur, dan bermimpi ada
seorang laki-laki yang berdiri di atas ranjang, sambil membawa buku itu
bertuliskan emas yang berisi :
“Jangan memilih yang rusak
daripada yang kekal, dan jangan tergiur dengan kerajaan, kekuasaan, pembantu,
hamba sahaya dan kelezatan syahwatmu. Suatu ketika dalam kebesaran, namun pada
saat yang lain terjadi dalam kemelaratan. Apa yang dapat dimiliki, suatu saat
akan hancur. Kegembiraan dan kesenangan bisa berubah menjadi suatu penipuan.
Suatu hari yang dapat dipercayai sampai esok adalah bergegas menuju Allah swt,
inilah makna dalam Q.S.Ali imran/3:133. Setelah itu terbangunlah dia dan
berkata: “Ini adalah peringatan dan nasihat dari Allah swt. Maka keluarlah dia
dari kerajaannya tak seorang pun mengetahuinya. Dia menuju sebuah gunung dan
beibadah di sana.[58]
Dapat dikatakan di sini, bahwa
cerita atau kisah Ibrahim bin Adham fiktif dan legendaris. Hal ini dilihat dari
versi lain bahwa ayahnya seorang kaya dari Balkh, seorang ahli hadis. Pada
waktu itu hadis sangat diperhatikan oleh umat Islam. Tidak mustahil bila
ayahnya selalu dikunjungi oleh orang banyak, baik kaya maupun miskin. Ditambah
lagi dia seorang yang terkenal kesalehannya.
Dengan demikian, Ibrahim bin Adham
hidup dalam kecukupan, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang sangat
memperhatikan terhadap hadis, dan dia sendiri memperhatikan ibn al-Mubarak menyatakan
: ‘Saya dan Ibrahim keluar dari Khurasan bersama 60 pemuda mencari ilmu.[59]Menurut penafsiran an-Nasysyar yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu hadis.[60]Dia belajar hadis kepada ayahnya,
kemudian kepada beberapa ulama tabi’in, antara Malik bin Dinar, dan
Sufyan as-Sauri. Nampaknya pengembaraannya mencari hadis tidak memuaskan
hatinya, namun justru bertemu dengan dua guru tersebut yang juga sebagai ahli
spiritual memberi kesan kepada Ibrahim bin Adham, meskipun pengaruh Basrah
lebih dominan daripada pengaruh Kufah.[61]
Bila ditelaah dalam kehidupannya,
Ibrahim bin Adham dikenal seorang yang mementingkan orang lain, tanpa pandang
agamanya. Dan hatinya tidak terpikat oleh harta. Suatu ketika untanya dijual
untuk biaya pengobatan masyarakat dan ketika kenderaannya terjual, dia
memanggul barang beberapa kilometer sampai ke Iraq.
Selanjutnya, dalam hidupnya Ibrahim
bin Adham tidak menghiraukan celaan dan cacian orang lain, bahkan hal tersebut
menjadikan dia bahagia. Dia menceritakan bahwa dalam hidupnya hanya menemui
tiga kebahagiaan, pertama, ketika dia berada di atas perahu, kebetulan
bersama orang yang menertawakannya, dia mengatakan bahwa Ibrahim adalah pencari
Balkh negeri Turki, kemudian orang itu memegang rambut Ibrahim dan
menggeleng-gelengkannya. Ibrahim gembira dengan itu, sebab orang tersebut
menganggapnya sebagai seorang yang
paling hina.Kedua, ketika dia sakit dan tidur di dalam masjid, ketika
mu’azzin masuk ke dalamnya langsung memerintahkannya keluar.Ketika dia tidak
mampu berdiri, kaki Ibrahim dipegangnya dan diseret keluar.Ketiga,
ketika dia di Syam rambut kepalanya banyak kutunya, sehingga rambutnya tak bisa
dibedakan dengan kutu itu.[62]
Terlepas dari berbagai versi cerita
dan kisah Ibrahim bin Adham, yang jelas, jika dikaitkan dengan kezuhudannya,
maka tidak bisa terlepas dari proses “laku”-nya dalam mencapai tataran
spiritual tertinggi, yakni ma’rifah melalui maqam zuhud. Dia
berkata dalam sebuah syair, “Jadikanlah Allah sebagai teman dan jauhkan
manusia di sisi-Mu.”[63]
Ibrahim bin Adham berusaha mendidik
dirinya sendiri, yakni mengarahkan nafsunya. Dia berkata, jihad yang paling
berat (jihad al-akbar) adalah jihad terhadap hawa nafsu.Barangsiapa
mampu mengendalikannya, berarti telah terbebas dari bahaya dunia, dan terjaga
dari kejelakannya.[64]Dunia baginya adalah sesuatu yang dapat menutup (hijab) hati
nurani (qalb) dari kebenaran dan kemakrifatan.Katanya, “Hati nurani
akan tertutup dengan tiga hal, senang harta, susah tehadap tiadanya dunia, dan
senang tehadap pujian.”[65]
Selanjutnya, ketika ia ditanya; “Mengapa hati nurani tertutup dengan dunia
dari ma’rifatullah?” jawabnya, “Karena senang terhadap apa yang dibenci
Allah yaitu dunia yang menipu, permainan dan kesia-siaan dan meninggalkan amal
untuk persiapan akhirat, tempat yang kekal abadi.”[66]
Hal ini perhatikan Q.S.al-Hadid/:21:
سَابِقُوا
إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ
وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ
اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ(21)
“Berlomba-lombalah
kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas
langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.”
Demikianlah perilaku dan kehidupan Ibrahim bin Adham dapat dijadikan
rujukan moral kemanusiaan, bagi kalangan sufi pada generasi berikutnya. Sikap
dan perilaku zuhudnya itu banyak dijadikan model bagi para sufi belakangan.
C.
Korelasi Ibadah,
Etos Kerja, dan Profesionalisme dengan
Tasawuf
1.
Korelasi Ibadah
dengan Tasawuf
Ibadah dalam ajaran Islam adalah merupakan hal yang sangat fundamental.
Setiap Muslim harus melaksanakannya. Bahkan, Alquran sendiri menyatakan dengan
tegas, bahwa tidaklah diciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah
kepada-Nya, sebagaimana tersebut dalam Q.S.az-Zariyat/51:56 ;
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(56)
’’Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku.’’
Pada dasarnya iman seseorang
dikatakan tidak sempurna kalau tidak disertai dengan pelaksanaan ibadah, amal
saleh dan akhlak mulia. Pemahaman seperti in merupakan pendekatan sufistik.
Sebab ilmu kalam atau teologi Islam hanya membicarakan iman, dan fikih Islam
hanya membicarakan aspek hukum dalam hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia.
Sedangkan tasawuf pada intinya mengajarkan
kepada kita untuk melakukan hubungan yang baik dengan Tuhan dan hubungan dengan
sesama manusia khususunya, dan alam pada umumnya. Hubungan vertikal dengan
Tuhan dijalankan dengan melaksanakan ibadah dan hubungan dengan manusia dan
alam pada umumnya dengan melakukan amal saleh dan akhlak yang mulia.
Dapat dikatakan bahwa ibadah
merupakan salah satu kelanjutan dari suatu sistem iman yang logis. Kalau tidak
ada ibadah, maka iman hanya akan menjadi
rumusan-rumusan abstrak tanpa ada kemampuan memberi dorongan batin kepada
individu untuk berbuat sesuatu dengan tingkat ketulusan yangsejati. Karena itu,
iman harus dilembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi perhambaan seseorang
kepada pusat makna dan tujuan hidupnya, yakni Tuhan. Sebagai sikap batin iman bisa
berada pada tingkat keabstrakan yang sangat tinggi, yang sulit ditangkap
hubungannya dengan perilaku nyata sehari-hari.
Bagi agama samawi, seperti Islam,
Tuhan tidak dipahami sebagai pada benda-benda (totemisme) atau upacara-upacara
(sakramentalisme) seperti pada beberapa agama lain. Dengan kata lain, selain
bersifat serba transendental dan maha tinggi, menurut persepsi agama-agama
samawi Tuhan juga bersifat etis, dalam arti bahwa Dia menghendaki manusia
bertingkah laku yang akhlaki, etis, bermoral.
Untuk menengahi antara iman yang
abstrak dan tingkah laku atau amal perbuatan yang kongkrit itu, maka diperlukan
ibadah. Sebagai kongkritisasi iman, ibadah mengandung makna intrinsik yang
merupakan pendekatan kepada Tuhan. Dalam ibadah
seseorang hamba Tuhan merasakan kehampiran spiritual kepada khalik-Nya.
Pengalaman keruhaniaan itu merupakan sesuatu yang dapat disebut sebagai inti
rasa keagamaan atau religiusitas, yang dalam pandangan mistis seperti pada
kalangan kaum sufi memiliki tingkat keabsahan yang tertinggi. Bahkan kaum sufi
itu cenderung melihat bahwa rasa keagamaan harus selalu berdimensi esoteris
(batiniah), dengan penegasan bahwa setiap tingkah laku eksoteris (lahiriah)
absah hanya jika mengantar seseorang kepada pengalaman esoteris (batiniah) ini.
Selain itu ibadah juga mengandung
makna instrumental, karena ia bisa dilihat sebagai usaha pendidikan pribadi dan
kelompok ke arah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku
bermoral.asumsinya adalah melalui ibadah seseorang yang beriman memupuk dan
menumbuhkan kesadaran individul dan sekaligus kolektifnya akan tugas-tugas
pribadi dan sosialnya mewujudkan kehidupan bersama yang sebaik-baiknya di dunia
ini.
Adapun akar kesadaran tersebut di
atas, adalah keinsyafan yang mendalam akan pertanggungjawaban semua pekerjaan
kelak di hadapan Tuhan dalam pengadilan Ilahi yang tak terelakkan, yang di situ
seseorang tampil mutlak hanya sebagai pribadi. Karena sifatnya pribadi (yakni
sebagai hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya) ibadah dapat menjadi instrumen
pendidikan moral dan etik yang amat mendalam dan efektif. Dalam Alquran dengan
jelas diungkapkan harapan bahwa salah satu efek terpenting ibadah adalah
tumbuhnya semacam solidatitas sosial. Bahkan ditegaskan bahwa tanpa tumbuhnya
solidaritas sosial, maka ibadah bukan saja bernilai sia-sia dan tidak membawa
kepada keselamatan, namun malah mendapat celaka, sebagaimana ditegaskan dalam
Q.S.al-Ma’un/107 :1-7 ;
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ(1)فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ(2)وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ
الْمِسْكِينِ(3)فَوَيْلٌ
لِلْمُصَلِّينَ(4)
الَّذِينَ هُمْ
عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ(5)الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ(6)وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ(7)
’’Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang
menghardik anakyatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang
berguna.’’
Dalam suatu Hadis Rasul saw, menegaskan bahwa keimanan memiliki hubungan
dengan ibadah secara umum. Ibadah, bisa dimaksudkan kepada suatu pekerjaan yang
baik yang dianjurkan oleh Allah dan rasul-Nya serta dengan mengharap ridha
Allah. Perhatikan hadis berikut ini :
حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ
كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ
لِيَصْمُتْ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ
جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ
ضَيْفَهُ .
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah
saw. Bersabda: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka
hendaklah ia berbicara yang baik atau diam. Barang siapa yang beriman kepada
Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang
siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia memuliakan
tamunya.(H.R.Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan paparan di atas, maka
dapatlah dikatakan bahwa ibadah dapat disebut sebagai bingkai dan pelembagaan
iman, yang membuatnya mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk tingkah laku dan
tindak tanduk nyata. Selain itu ibadah juga
berfungsi sebagai usaha pemelihara dan
penumbuh iman itu sendiri. Sebab iman bukanlah perkara statis, yang tumbuh
sekali untuk selamanya. Sebaliknya, iman bersifat dinamis, yang mengenal irama pertumbuhan negatif (menurun,
berkurang, melemah) maupun pertumbuhan positif (menaik, bertambah, menguat)
yang memerlukan usaha pemeliharaan dan penumbuhan terus-menerus.
2.
Korelasi Etos Kerja dengan Tasawuf
Adapun salah satu karakteristik dari
etos kerja manusia, adalah ia merupakan pancaran dari sikap hidup mendasar
pemiliknya terhadap kerja. Menurut Ziauddin Sardar, suatu nilai (Value) adalah serupa
dengan konsep dan cita-cita yang menggerakkan perilaku individu dan masyarakat.[67] Senada dengan itu
Abdus Satar Nuwair juga menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang diarahkan
dan terpengaruh oleh keyakinan yang mengikatnya. Salah atau benar, keyakinan
tersebut niscaya mewarnai perilaku orang bersangkutan.[68] Dalam konteks ini
selain dorongan kebutuhan dan aktualisasi diri, nilai-nilai yang dianut,
keyakinan atau ajaran agama (termasuk di dalamnya nilai-nilai tasawuf) tentu
dapat pula menjadi sesuatu yang berperan dalam proses terbentuknya sikap hidup
mendasar ini.[69] Berarti
kemunculan etos kerja manusia didorong oleh sikap hidup sebagai tersebut di
atas baik disertai kesadaran yang mantap maupun kurang mantap. Sikap hidup yang
mendasar itu menjadi sumber motivasi yang membentuk karakter, kebiasaan atau
budaya kerja tertentu.
Oleh karena latar belakang keyakinan
dan motivasi berlainan, maka cara terbentuknya etos kerja yang tidak bersangkut
paut dengan agama atau non-agama dengan sendirinya mengandung perbedaan dengan
cara terbentuknya etos kerja yang berbasis ajaran agama, dalam hal ini etos
kerja Islami. Tentang bagaimana etos kerja dapat diaktualisasikan dalam
kehidupan sehari-hari, kenyataannya bukan sesuatu yang mudah. Sebab, realitas
kehidupan manusia bersifat dinamis,
majemuk, berubah-ubah, dan antara satu dengan lainnya punya latar belakang,
kondisi social dan lingkungan yang berbeda. Perubahan sosial-ekonomi seseorang
dalam hal ini juga dapat mempengaruhi etos kerjanya.[70]
Manusia adalah makhluk yang keadaannya paling kompleks.Ia merupakan
makhluk bilogis seperti binatang, tetapi ia juga makhluk intelektual, social
dan spiritual. Lebih dari itu manusia adalah makhluk pencari Tuhan,[71]
dan berjiwa dinamis.
Manusia memang makhluk yanag sangat kompleks.Ia memiliki rasa suka, benci, marah, gembira, sedih, berani, takut, dan
lain-lain. Ia juga mempunyai kebutuhan, kemauan, cita-cita, dan angan-angan.
Manusia mempunyai dorongan hidup tertentu, pikiran dan
pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan sikap dan pendirian. Selain itu,ia
mempunyai lingkungan pergaulan di rumah atau tempat kerjanya. Realitas
sebagaimana tersebut di atas tentu mempengaruhi dinamika kerjanya secara
langsung atau tidak. Sebagai missal rasa benci yang terdapat pada seorang
pekerja, ketidakcocokan terhadap atasan atau teman satu tim, keadaan seperti
itu sangat potensial untuk menimbulkan dampak negative pada semangat,
konsentrasi, dan stabilitas kerja orang yang bersangkutan. Sebalinya, rasa suka
pada pekerjaan, kehidupan keluarga yang harmonis, keadaan sosio kultural,
sosial ekonomi dan kesehatan yang baik, akan sangat mendukung kegairahan dan
aktivitas kerja. Orang yang bekerja sesuai dengan bidang dan cita-cita dibandingkan
dengan orang yang bekerja di luar bidang dan kehendak mereka, niscaya tidak
sama dalam antusias dan ketekunan kerja masing-masing.[72] Sejumlah pakar psikologi menyatakan, perilaku adalah interaksi antara
faktor kepribadian manusia dengan faktor-faktor yang ada di luar dirinya atau
faktor lingkungan.[73]
Demikianlah etos kerja manusia dapat
dipengaruhi oleh dimensi individual, sosial dan lingkungan alam. Bagi orang
yang beragama adalah sangat memungkinkan etos kerjanya memperoleh dukungan kuat
dari dimensi transcendental. Musa Asy’arie mengemukakan bahwasannya etos kerja
manusia berkaitan dengan dimensi individual bila dilatarbelakangi oleh motif
yang bersifat pribadi di mana kerja menjadi cara untuk merealisasikannya. Kalau
nilai sosial yang memotivasi aktivitas kerjanya seperti dorongan meraih status
dan penghargaan masyarakat, maka ketika itu etos kerja orang tersebut sudah
mendapat pengaruh kuat dan tidak terpisahkan dari dimensi sosial. Faktor
lingkungan alam berperan bila keadaan alam, iklim dan sebagainya berpengaruh
terhadap sikap kerja orang itu. Sedangkan dimensi transcendental (termasuk di
dalamnya pengaruh tasawuf) adalah dimensi yang melampaui batas-batas nilai
materi yang mendasari etos kerja manusia hingga pada dimensi ini kerja
dipandang sebagai ibadah.[74] Jalaluddin secara
lebih tegas mengemukakan agama dapat menjadi sumber motivasi kerja karena didorong oleh rasa ketaatan dan
kesadaran ibadah.[75] Namun, harus
ditegaskan bahwa pemahaman parsial terhadap ajaran agama (baca:Islam) juga
dapat berpengaruh negative terhadap etos kerja.
Di sini, harus ditekankan bahwa,
etos kerja terpancar dari sikap hidup mendasar manusia terhadap kerja.
Konsekuensinya pandangan hidup yang bernilai transenden (seperti nilai-nilai
tasawuf yang bersumber Alquran dan as-Sunnah) juga dapat menjadi sumber motivasi
yang berpengaruh serta ikut berperan dalam proses terbentuknya sikap itu.
Nilai-nilai transenden akan menjadi landasan bagi berkembangnya spiritualitas
sebagai salah satu faktor yang efektif membentuk kepribadian. Etos kerja tidak terbentuk oleh kualitas pendidikan dan kemampuan
semata.Faktor-faktor yang behubungan dengan inner life, suasana batin
dan semangat hidup yang terpancar dari keyakinan dan keimanan iktu menentukan
pula.[76]
Oleh karena itu, kehidupan sufi (yakni pengamalan tasawuf) jelas dapat menjadi
sumber nilai dan sumber motivasi yang mendasari aktivitas hidup, termasuk etos
kerjanya. Dalam Alquran dengan jelas memotivasi kita agar mau berusaha merubah kondisi kita ke arah yang lebih baik, tanpa ada usaha
untuk merubah sikap dan perilaku kita sendiri Allah tidak akan merubahnya.
Perhatikan Q.S.ar-Ra’d/13:11;
…إِنَّ
اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ…
“Sesungguhnya Allah tidak
mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada
diri mereka sendiri. “
Berkenaan dengan etos kerja ini, dalam suatu hadis
Rasul saw bersabda :
إِنَّ اللّهَ تَعَالَى يُحِبُّ أَ نْ يَرَى عَبْدَهُ تَعِبًا مِنْ طَلَبِ.
راه الديلمي
“Sesungguhnya Allah Ta’ala senang
melihat hamba-Nya letih dan payah karena bekerja mencari (rezeki) yang halal.”(H.R.ad-Dailami).
Menurut pandangan Muhammad Iqbal, keberagamaan seseorang dibagi kepada
tiga fase, yaitu, fase keyakinan, fase pemikiran,dan fase penemuan.[77]Sedangkan
Musa Asy’arie menegaskan bahwa jika pembicaraan etos kerja dikaitkan dengan
ajaran agama, maka persoalannya adalah pada penghayatan yang mana dari tiga
fase tersebut orang itu berada.[78]
Pada tingkat penemuanlah kiranya orang mukmin menampilkan sikap hidup seperti,
digambarkan oleh puisi Iqbal berikut ini :
The sign of kafir is that he is lost in the horizons
The sign of mu’min is that horizons are lost in him.[79]
(Tanda orang kafir adalah kehilangan horizon
Tanda orang mukmin adalah horizon kehilangan dirinya)
Dapatlah dikatakan bahwa motivasi
yang berperan dalam proses terbentuknya etos kerja ternyata tidak tunggal,
melainkan lebih dari satu bahkan bisa banyak dan saling berinteraksi antara
satu dengan lainnya. Dengan demikian ia bersifat kompleks dan dinamis. Dalam
Alquran ditegaskan bahwa suatu kaum tidak akan berubah kecuali kaum itu sendiri
merubah dirinya, sebagaimana terdapat dalam Q.S.ar-Ra’d/13:11:
إِنَّ
اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya
Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang
ada pada diri mereka sendiri.”
Adapun faktor-faktor yang dapat
berpengaruh dalam proses itu jelas tidak sedikit meliputi faktor dalam dan
faktor luar. Sistem keimanan atau aqidah islami, sebagai keyakinan dan
pengamalan kehidupan sufi yang benar yang menjadi landasan bagi orang Islam, secara
teoritis memang berpotensi besar untuk menjadi sumber motivasi etos kerja
Islami yang selalu segar dan tak kunjung kering. Ia berpotensi besar menjadi
dinamisator yang mengarahkan seluruh karakteristik etos kerja yang bernuansa
nilai-nilai transcendental menuju pada terbentuknya etos kerja itu. Ada yang
perlu diperhatikan, bahwa di antara penghambat etos kerja, seperti kemalasan,
kelemahan hati, pengaruh hawa nafsu yang merusak kepribadian, dapat dihindari
dengan mempraktekkan kehidupan sufi. Dengan demikian, jelaslah bahwa etos kerja
memiliki korelasi yang jelas dengan tasawuf. Dengan mempraktekkan tasawuf yang berdasarkan Alquran dan as-Sunnah,
maka akan memungkinkan etos kerja akan semakin baik. Sebab, semua kerja
diorientasikan kepada Tuhan, jadi motivasinya
sangat jelas, pengawasannya juga melekat setiap saat, dengan keyakinan Allah
Maha Melihat, sehingga untuk melakukan penyimpangan akan terhindarkan.
3.
Korelasi Profesionalisme dengan Tasawuf
Profesional adalah mengerti akan
tugas (sesuai dengan keahlian/bidangnya) dan bertanggung jawab (amanah),
kemudian bersunggguh-sungguh mengerjakannya dengan kualitas yang terbaik (ahsan).
Dengan kerja profesional, maka akan didapatkan hasil yang maksimal. Maka dapat
dipahami bahwa profesionalisme adalah hal-hal yang berkaitan dengan
bidang kerja yang telah menjadi keahliannya serta dikerjakan secara maksimal
dan bertanggung jawab.
Bila ditelaah lebih lanjut manusia
adalah homo faber, yakni makhluk
bekerja.[80] Kerja merupakan
cara langsung dalam rangka memenuhi tuntutan yang bersifat pembawaan.[81] Menurut
al-Faruqiy, manusia memang diciptakan untuk bekerja. Kerjanya adalah ibadahnya.
Tidak ada kesuksesan, kebaikan, manfaat atau perubahan dari keadaan buruk menjadi lebih baik kecuali dengan kerja
menurut bidang masing-masing. Terhadap mereka yang enggan bekerja Al-Faruqiy
menyatakan, mereka tidak mungkin menjadi Muslim yang baik.[82]
Bila kerja atau perbuatan yang dalam
Islam dikenal dengan amal, dikaitkan dengan iman, maka justru merupakan
manifestasi dan bagian dari pengamalan Islam itu sendiri. Karena karakteristik iman ada dua, yaitu (1)
keyakinan hati, dan (2) pengamalan atau kerja sebagai bukti bahwa keyakinan itu
berfungsi. Iman dalam hati baru menjadi eksis bila telah
dilahirkan dalam bentuk amal atau kerja. Tentu saja kerja atau amal yang
dilahirkannya tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam yang diimaninya.
Keistimewaan iman demikian terletak pada perpaduan antara nilai-nilai moral dan
motif-motif ta’abudiy dengan kerja atau pengamalan dalam satu bingkai.
Dengan ungkapan lain, iman adalah landasan, sedangkan pebuatan atau kerja
merupakan konsekuensi dan cara menyatakannya.[83]
Sistem keimanan yang membangun
aqidah dan melahirkan amal-amal yang Islami, baik yang berkenaan dengan hablum
minallah maupun hablum minannas
termasuk pelaksanaan tugas khalifah Allah di muka bumi oleh manusia, semestinya
bersumber dari ajaran-ajaran wahyu (Alquran dan as-Sunnah yang sahih).
Kerja, dalam hal ini termasuklah di
dalamnya kerja otak dan hati, seperti berpikir, memahami, berzikir, meneguhkan
iman dan berusaha mencintai ilmu yang bermanfaat. Selain itu, tentu saja kerja
produktif dalam rangka memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga dan masyarakat,
mengembangkan serta membangun daerah atau negeri, menanggulangi kemiskinan,
kebodohan, keterbelakangan, memerintahkan berbuat ma’ruf, mencegah kemungkaran
dan sebagainya. Tantangan-tantangan serupa bila memenuhi syarat husnulfi’liyah
(pekerjaan yang baik) dan husnul fa’iliyyah (yang mengerjakan baik) itu
jelas termasuk lahan ibadah, dapat dijadikan objek amal-amal atau kerja Islami
yang sebagian besar daripadanya dapat dikategorikan penegakan tugas khilafah
manusia di muka bumi.
Mengerjakan sesuatu dengan niat
mencari ridha Allah mengundang konsekuensi kerja itu tidak dilakukan dengan
sikap seenaknya atau secara acuh tak acuh. Karena hal itu akan menunjukkan
ketidakseriusan niat, bahkan dapat berarti tidak menghargai Tuhan. Bekerja demi
ridha Allah, sebagaimana ajaran yang dikembangkan oleh kaum sufi, amat erat
kaitannya dengan ihsan, sedangkan makna ihsan amat luas, antara
lain sehubungan dengan kerja, artinya bekerja secara optimal atau sebalik
mungkin (sesuai dengan profesinya, atau secara profesionalisme), hal itu
dinyatakan dalam sebuah hadis Rasul yang menegaskan, ’’Sesungguhnya Allah
mewajibkan ihsan atas segala sesuatu…’’[84]
Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan,
pribadi muslim yang memiliki tingkat penghayatan dan pengamalan agama paling
tinggi adalah orang yang berhasil mencapai tingkat ihsan. Keberagamaan
orang itu sudah melampaui tingkat Muslim dan Mukmin. Arti ihsan dalam
beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, dan kalau tidak melihat-Nya,
dia betul-betul menyadari bahwa Allah melihat dia.[85] Adapun ihsan
dalam arti perbuatan kepada sesama, yakni memberikan manfaat keagamaan atau
keduniaan kepada orang lain.[86] Maka orang yang
berhasil mencapai tingkat ihsan mestinya merasakan kehadiran Allah di
manapun dia berada dan apapun yang dikejakannya, tidak terbatas ketika orang
itu melakukan salat, puasa dan ibadah-ibadah formal lainnya, namun jauh lebih
luas dari itu. Apabila ia bekerja mencari nafkah, menunaikan tugas yang menjadi
tanggung jawabnya, melakukan oleh raga demi kesehatan, berdagang, bertani,
berpolitik dan sebagainya, ketika itu iapun sadar, Allah pasti menyaksikannya. Ihsan
di sini amat mendukung pengembangan sikap percaya diri, kemnadirian sekaligus
mendorong suka bekerjasama dengan orang lain dan pengawasan melekat.
Dalam sebuah hadis yang diawali oleh
pernyataan Rasul saw bahwa orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai
oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Beliau lalu bersabda antara lain,
’’…Antusiaslah kamu melakukan apa saja yang bermanfaat bagimu, mintalah
pertolongan kepada Allah, dan janganlah sekali-kali bersikap lemah.[87] Artinya, Rasul
saw menyuruh umatnya agar bersemangat, penuh gairah melakukan, semua pekerjaan
yang bermanfaat, kerja lahir maupun kerja batin, baik yang kecil-kecil, apalagi
yang besar. Senantiasa optimis dan bertawakkal kepada Allah dengan
berusaha membuang jauh sikap lemah atau lembek. Jadi, hadis tersebut jelas
mengajarkan sifat giat bekerja dengan penuh semangat tanpa memberi peluang pada
sifat malas. Tentu saja anjuran hadis ini mencakup pula dorongan kepada manusia
untuk secara sadar berusaha memperoleh dan mencintai segala sesuatu yang
bermanfaat dan layak dicintai, misalnya ilmu pengetahuan dan teknologi,
kesehatan dan sebagainya.
Sehubungan dengan ciri-ciri etos kerja tinggi yang behubungan
dengan sikap moral seperti menjaga mutu kerja, menepati janji, jujur, dan
sebagainya, ciri-ciri demikian tercakup dalam pengertian Amanah yang
menjadi salah satu prinsip akhlak yang utama dalam Islam. Menurut bahasa, amanah berarti kesetiaan atau titipan,[88] lawan dari
khianat.[89]Jadi, amanah
adalah loyalitas, kebalikan dari khianat, bisa dipercaya.[90]Sedangkan menurut istilah, al-amanah sebagaimana dinyatakan dalam
Q.S.al-Ahzab/33 :72 ;
إِنَّا عَرَضْنَا
الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ
يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ
ظَلُومًا جَهُولًا(72)
’’Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.’’
Menurut ash-Shabuniy menjelaskan
arti al-amanah dalam ayat tersebut adalah kewajiban dan tugas-tugas yang
besifat syar’iy.[91]
Asy-Syaukani mengutip beberapa pendapat mufassir, antara lain pendapat
al-Wahidiy, bahwa amanah adalah ketaatan dan kewajiabn-kewajiban yang
membuahkan pahala bagi para pelakunya dan menimbulkan dosa bagi orang yang
mengabaikannya. Al-Qurthubiy mengemukakan, amanah meliputi semua sifat-sifat
keagamaan. Kemudian arti lebih rinci disampaikan oleh Ibn mas’ud, bahwasannya
amanah meliputi semua kewajiban, utamanya yang berupa harta. Ubay Ibn Ka’ab
berpendapat, amanah yang dimaksud adalah
kemaluan wanita. Sedangkan Ibn ‘Umar antara lain menegaskan,kemaluan,
telinga, mata perut, tangan, dan kaki, kesemuanya adalah amanah. Tidak ada iman bagi orang yang tidak punya sifat
amanah.[92]
Dengan
demikian, bekerja selain harus profesional, juga harus sesuai dengan
prinsip-prinsip syariat, seperti amanah, jujur dan sebagainya. Seperti dalam musyarakah[93] kerja sama dalam
satu usaha, keberadaan prinsip syariat (misalnya amanah) sangat penting untuk
direalisasikan dalam aktivitas bisnis. Dalam beberapa hadis Rasul dinyatakan,
Allah akan bersama-sama orang yang berserikat, selama tidak ada salah satu
pihak yang berkhianat (melanggar prinsip syariat). Jika salah seorang
berkhianat, maka Allah “keluar” dari perserikatan tersebut dan hilanglah
keberkatan usahanya.
Dalam sebuah hadis dinyatakan;
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ
إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا
صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا*[94]
Dari Abi Hurairah,
Rasulullah bersabda, Sesungguhnya Allah berfirman, Aku pihak ketiga dari dua
orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya, maka
jika salah seorang mengkhianati lainnya, saya keluar dari keduanya. (H.R.Abu
Daud)
Sehubungan dengan sikap bertanggung
jawab terhadap amanah sebagai salah satu bentuk akhlak bemasyarakat, Allah swt
memerintahkan orang-orang yang beriman untuk memenuhi ikatan janji,
sebagaimana tersebut dalam Q.S.al-Maidah/5:1 ;
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ
الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ
حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ(1)
’’Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad
itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu.
(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang
dikehendaki-Nya.’’
Kata ‘uqud (ikatan atau janji-janji)dalam ayat
tersebut di atas, menurut mufassir mencakup seluruh hubungan;manusia dengan
Tuhan, dengan diri sendiri, orang lain dan alam serta merupakan tafsir tentang
keharusan peningkatan moral. Arti ‘uqud di sini mencakup seluruh wilayah
tanggung jawab moral dan sosial manusia.[95] Dengan demikian, ‘uqud dalam konteks ayat
tersebut di atas tentunya dapat ditafsir sebagai amanah berupa konsensus dan
peraturan yang sudah disepakati bersama, selain ikatan menunaikan
kewajiban-kewajiban. Untuk menepatinya dituntut kedisiplinan yang
sungguh-sungguh, terutama berkenaan dengan waktu serta kualitas sesuatu atau
pekerjaan yang semestinya dipenuhi. Berdasar ini, maka dapat dikatakan bahwa
orang yang tidak menunaikan kewajibannya kepada Allah, diri sendiri, keluarga,
pihak lain dan atau masyarakat, dapat dikategorikan menyalahi perintah Allah
yang terkandung dalam ayat tersebut. Begitu pula orang yang membiarkan dirinya
dikuasai oleh sifat malas, etos kerja yang sangat rendah, tidak punya rasa
tanggung jawab, tidak disiplin, juga tidak profesional sehingga merugikan
aturan, kesepakatan atau pelaksanaan kewajiban, maka orang-orang yang memiliki
ciri seperti itu adalah tidak amanah.
Nilai-nilai yang disebut di atas
itulah yang telah menjadi kehidupan para sufi, dengan demikian korelasi
profesionalisme dengan tasawuf memiliki hubungan yang signifikan.
D. Pengaruh Pengamalan Tasawuf dalam Kehidupan
1.
Pengaruh Tasawuf
dalam Kehidupan Pribadi
Perkembangan kehidupan manusia begitu cepat dan
canggih. Hal itu seiring dengan perkembangan sains dan teknologi yang begitu
cepat. Kehidupan modern saat ini, telah berkembang menjadi sedemikian
materialistik dan individualistik. Materi menjadi tolok ukur dalam segala hal,
kesuksesan, kebahagiaan semuanya ditentukan oleh materi.. orang berlomba-lomba
mendapatkan materi sebanyak-banyaknya, karena dengannya manusia merasa dirinya
sukses. Akibatnya manusia sering bertindak tanpa kendali demi materi. Semakin telihat
kecenderungan manusia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya.
Nilai-nilai kemanusiaan semakin surut, toleransi sosial dan solidaritas sesama
serta ukhuwah (di kalangan umat Islam) tampak hilang dan memudar, manusia
cenderung semakin individualis. Di tengah suasana itu, manusia merasakan
kerinduan akan nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai Ilahiah. Nilai-nilai
berisikan keluhuran inilah yang dapat menuntun manusia kembali kepada
nilai-nilai kebaikan yang pada dasarnya telah menjadi fitrah atau sifat dasar
manusia itu sendiri.
Dengan adanya kecenderungan manusia
untuk kembali mencari nilai-nilai ilahiyah merupakan bukti bahwa manusia itu
pada dasarnya makhluk rohani selain sebagai makhluk jasmani. Sebagai makhluk
jasmani, manusia membutuhkan hal-hal yang bersifat materi, namun sebagai
makhluk rohani ia membutuhkan hal-hal yang bersifat immateri atau rohani.
Sesuai dengan orientasi ajaran tasawuf yang lebih menekankan aspek rohani, maka
manusia itu pada dasarnya cenderung bertasawuf. Dengan perkataan lain, bertasawuf
merupakan fitrah manusia.
Berdasarkan nilai-nilai yang
terkandung dalam ajaran tasawuf, selama manusia belum bisa keluar dari
kungkungan jasmani dan materi selama itu pula dia tidak akan menemukan
nilai-nilai rohani yang dia dambakan. Untuk itu dia
harus berusaha melepaskan rohnya dari kungkungan jasmaninya. Maka dia harus
menempuh jalan latihan (riyadhah) yang memerlukan waktu cukup lama. Riyadhah
juga bertujuan untuk mengasah roh supaya tetap suci. Naluri manusia selalu
ingin mencapai yang baik dan sempurna dalam mengarungi kehidupannya. Untuk
mencapai kebaikan dan kesempurnaan ini tidak dapat dilalui dengan mempergunakan
ilmu pengetahuan saja, karena ilmu adalah produk manusia dan hanya merupakan
alat yang terbatas. Manusia akan merasa kehilangan dan kekosongan kalau hanya
mengandalkan ilmu materi saja. Jalan menuju kebahagiaan yang hakiki hanya
dengan iman yang kokoh, perasan hidup yang aman bersama Tuhan.
Oleh karena kecenderungan manusia
itu selalu ingin berbuat baik sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah, maka segala
perbuatan yang menyimpang dari padanya merupakan penyimpangan dan melawan
fitrahnya. Pada prinsipnya kehidupan yang berlandaskan fitrah yang telah
diciptakan Allah pada diri manusia adalah kehidupan yang hakiki. Kita tahu
bahwa setiap calon manusia yang lahir ke dunia, seaktu berada di alam arwah,
telah mengikat suatu perjanjian dengan Allah sebagaimana dinyatakan dalam Alquran pada surat al-A’raf/7:172 ;
وَإِذْ أَخَذَ
رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى
أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ
الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ(172)
’’Dan (ingatlah), ketika
Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku
ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
Berdasarkan ayat di atas, dapat
dipahami bahwa pada dasarnya manusia adalah bertauhid, setidaknya rohaninya
telah berikrar kepada Tuhannya. Namun, perkembangan berikutnya, setiap manusia
itu lahir di dunia, maka lingkungan mempengaruhinya untuk melakukan hal-hal
yang baik atau yang buruk. Pengaruh lingkungan sangat berperan dalam membentuk
kepribadian seseorang.
Dengan demikian, berdasarkan ayat
itu pula, dapat kita katakan bahwa tauhid merupakan fitrah manusia, ini berarti
bahwa naluri manusia itu bertuhan. Sebab itu manusia adalah makhluk yang
senantiasa mendambakan nilai-nilai Ilahi, cinta kepada kesucian dan selalu
cenderung kepada kebenaran, ingin selalu mengikuti ajaran-ajaran Tuhan, karena
kebenaran itu tidak akan dicapai kecuali dengan Tuhan sebagai sumber kebenaran
mutlak. Fitrah merupakan hidayah yang diberikan Tuhan kepada manusia selaku
khlaifah di muka bumi, yaitu kejadian asalnya yang suci dan baik.[96] Maka, jelaslah
bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang suci dan baik, sebab manusia
dilengkapi oleh Penciptanya dengan kemampuan dan bakat untuk mengenali sendiri
mana hal-hal yang buruk yang bakal menjauhkannya dari kebenaran dan
hal-hal yang baik yang akan mendekatkannya kepada kebenaran. Dengan fitrahnya
itulah manusia menjadi makhluk yang hanif,yaitu yang secara alami
cenderung dan memihak kepada yang benar, yang baik dan suci.
Selanjutnya, yang menjadi
pertanyaannya adalah apa pengaruh pengamalan tasawuf dalam kehidupan pribadi
seseorang ? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya akan dilihat terlebih
dahulu pengamalan tasawuf yang bagaimana yang dijalankan oleh seseorang. Bila
pengamalan tasawuf yang diamalkan berdasarkan Alquran dan as-Sunnah, maka
seseorang itu akan memiliki kepribadian yang salih dan dijamin oleh Rasul saw
tidak akan sesat baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana sabda Rasul saw
berikut ini :
تَرَكْتُ
فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَمْ تَضِلُّوا أَبَدًا مَا إِنْ تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا
كِتَابَ الله وَسُنَّة رَسُولِه. (رواه الحاكم)[97]
’’Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika
kalian berpegang kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab
Allah (Alquran) dan Sunnah Rasul-Nya.’’ (H.R. Hakim dari Abu Hurairah).
Hadis di atas memberikan petunjuk
bahwa jika mengikuti apa yang telah ditinggalkannya, yakni berupa Alquran dan
as-Sunnah, maka manusia tidak akan tersesat jalannya, baik di dunia maupun di
akhirat.
Dalam suatu hadis Rasul saw juga ditegaskan agar kita tidak boleh
bersifat dan bersikap sombong, hadisnya adalah sebagai berikut :
عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ
قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ
حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ
الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.رواه مسلم. كتاب الإيمان. رقم131
“Dari Abdillah bin Mas’ud dari nabi saw bersabda : “Tidak masuk surga
orang yang di dalam hatinya terdapat seberat zarrah sifat sombong, berkata
seorang sahabat, sesungguhnya seseorang mencintai baju dan selop/sepatu yang
cantik (bagaimana kalau seperti itu); lalu Rasul bersabda ; sesungguhnya Allah
indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah tidak menerima kebenaran/
hak dan tidak menghargai manusia.” (H.R.Muslim)
Tasawuf akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang, terutama dalam
hal nilai-nilai moral dan kepribadiannya. Ia akan hidup sederhana, tidak suka
berlebih-lebihan, tidak suka menyombongkan diri atau takabbur,
rendah hati atau wara’, sabar ketika menerima musibah dan bersyukur ketika
menerima nikmat dan anugerah. Kemudian tentu orang yang bertasawuf akan selalu
mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, serta berusaha semaksimal mungkin
menjauhi larangan-Nya.
Bila pribadi seseorang telah
tepengaruh dengan ajaran tasawuf, maka seseorang itu akan tercerahkan pula,
baik intelektual, emosional maupun spiritualnya, yang dalam istilah modern
dikenal dengan IQ (Intelectual Quotient) dan ESQ (Emotional Spiritual
Quotient). Apa indikasi seseorang itu spiritualnya cerah, menurut Ary
Ginanjar Agustian, menyatakan :
’’Ketika
manusia mengalami proses ZMP (Zero Mind Process), maka semua belenggu
kesombongan, kepentingan, prasangka, dan paradigma mengalami proses pelunturan,
dna yang kemudian muncul adalah sebuah kepasrahan spiritual. Dan ketika kepasrahan itu muncul ke permukaan, maka alam
bawah sadar akan melahirkan kembali potensi spiritual yang selama ini tependam
dan tertutupi oleh belenggu. Pada saat itulah kita memasuki frekwensi Ilahiah –
pikiran bawah sadar – di mana Allah menolong hamba-Nya yang mensucikan
hatinya.’’[98]
2.
Pengaruh Tasawuf
dalam Kehidupan Masyarakat
Bila ditelaah dalam Alquran ada
beberapa ayat yang seringkali menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang
berlaku untuk seluruh alam raya, termasuk seluruh umat manusia, antara lain :
Q.S.as-Saba’/34:28:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً
لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ(28)
’’Dan Kami tidak mengutus kamu,
melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.’’
Juga disebut dalam ayat lain dalam
Q.S.al-Anbiya/21:107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ(107)
’’Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.’’
Berdasarkan ayat-ayat tersebut, segi
keuniversalan agama Islam telah menjadi kesadaran yang sangat berakar dalam
kesadaran seorang Muslim, bahwa agamanya berlaku untuk seluruh umat manusia
keseluruhan. Sungguhpun kesadaran serupa juga dimiliki oleh penganut-penganut
agama lainnya.
Adalah tidak berlebihan jika
dikatakan bahwa pada orang-orang Muslim kesadaran semacam itu telah melahirkan
sikap-sikap sosial keagamaan yang unik, yang jauh berbeda dengan
pemeluk-pemeluk agama lainnya. Masyarakat Islam dapat mewujudkan kesadaran
tersebut dalam sinaran sejarah yang cemerlang. Fenomena keagamaan yang tunduk
pada prinsip-prinsip toleransi, kebebasan beragama, keterbukaan, keadilan dan
kejujuran. Kenyataan ini diakui oleh Hudgson, misalnya dengan mengatakan bahwa
umat Islam adalah satu-satunya golongan manusia yang paling mendekati
keberhasilan, lebih daripada golongan lain manapun dalam sejarah, untuk
menyatukan seluruh umat manusia di bawah cita-citanya.[99]
Hal yang senada dengan Hudgson, Max I. Dimont dengan
panjang lebar menjelaskan kenyataan tersebut :
’’Ketika
kaum Yahudi menghadapi masyarakat terbuka dunia Islam, mereka adalah bangsa
telah beumur 2.500 tahun…Tidak ada yang lebih terasa asing bagi kaum Yahudi
daripada peradaban Islam yang fantastis
ini, yang tumbuh dari debu padang pasir pada abad ke tujuh, tetapi juga tidak
ada yang lebih mirip. Meskipun mewakili suatu peradaban baru, suatu agama baru,
dan suatu lingkungan sosial baru yang dibangun di atas dasar-dasar ekonomi
baru, namun Islam mirip dengan “prinsip kebahagiaan intelektual” yang dikemas
dan disajikan kepada kaum Yahudi seribu tahun sebelumnya ketika Iskandar Agung
membuka pintu-pintu masyarakat Hellenis kepada mereka. Sekarang masyarakat Islam membuka masjid-masjidnya,
sekolah-sekolahnya, dan kamar-kamar tidurnya, (berturut-turut) untuk konversi,
pendidikan, dan asimilasi.’’[100]
Kenyataan historis yang memancar
dari pengalaman keinsafan beragama yang lapang dan terpuji, mengasuh umat-umat lain, menjadi cermin bahwa agama
Islam dalam sejarah telah mampu memanifestasikan sebaik-baiknya umat dan
pemimpin umat manusia, sebagaimana yang disinyalir dalam Q.S.Ibrahim/14:143:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا…
’’Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.’’
Kesadaran beragama, yang
diimplementasikan lewat pengamalan kehidupan tasawuf, telah banyak memberikan
pengaruh terhadap masyarakat modern. Sikap hidup masyarakat yang
mengamalkan sikap takwa, tawakkal,
ikhlas, taubat, syukur, harapan (raja’), sabar, dan khauf merupakan
pengajaran tasawuf yang telah diamalkan oleh kaum sufi. Hanya saja, pengamalan
pengajaran tasawuf yang telah
dimodifikasi sedemikian rupa sehingga relevan dengan kehidupan masyarakat modern.
Dengan pemahaman yang lebih moderat dan elegan
sekaligus mengamalkannya, maka tasawuf tidak lagi menjadi amal orang-orang
tradisional. Pemahaman dan pengamalannya, antara lain sebagai berikut.
Melalui takwa kita menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup. Inti takwa adalah
kesadaran yang sangat mendalam bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita. Takwa
adalah kalau kita mengerjakan segala sesuatu kita kerjakan dengan kesadaran
penuh bahwa Allah beserta kita, Allah menyertai kita, Allah mengawasi kita dan
Allah memperhitungkan perbuatan kita. Hal ini sebagaimana firman Allah
dalamQ.S.al-Hadid/57:4 :
…وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ(4)
’’Dan Dia bersama
kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.’’
Hal itulah yang disebut dengan
pengawasan melekat (waskat) yang sebenarnya, yakni pengawasan yang built in
dalam diri kita melalui iman, sehingga menghasilkan tindakan yang ikhlas, tulus
dan tanpa pamrih. Dengan takwa kita berbuat baik bukan karena takut kepada
orang. Kita meninggalkan perbuatan jahat juga bukan karena pengawasan orang,
tetapi karena dinamika yang tumbuh dalam diri kita sebagai akibat dari takwa.
Apabilakita sudah memperhitungkan
kehadiran Allah dalam hidup kita dan segala sesuatu yang kita kerjakan menurut
kesadaran bahwa Allah mengawasi dan memperhitungkan perbuatan kita, maka dengan
sendirinya kita akan terbimbing ke arah
budi pekerti luhur. Logikanya kalau kita hanya melakukan sesuatu yang diridhai
Allah, maka dengan sendirinya kita hanya melakukan sesuatu yang baik.
Perhatikan Q.S.Yasin/36:12 ;
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَءَاثَارَهُمْ
وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ(12)
’’Sesungguhnya
Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka
kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami
kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).’’
Selanjutnya, apakah ada pengaruh
tasawuf dengan kehidupan masyarakat ? Jawabannya jelas ada, kita bisa
melihat bagaimana suatu masyarakat (baca :yang Muslim) ketika ditimpa
musibah, maka mereka dapat dan sanggup untuk memikul musibah yang sedang
menimpa. Inilah pengamalan sikap dan perilaku sabar. Kita contohkan masyarakat
Indonesia yang sejak tahun 2004 hingga tulisan ini ditulis, musibah demi
musibah telah menimpa sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mereka masih bisa
tegar dan sabar dalam penderitaan yang dialaminya.
Semua orang dari segi penderitaan
sama, tetapi kelebihan orang yang beriman adalah bahwa dalam penderitaan dia
tetap memiliki harapan kepada Allah. Kita berani hidup, dan berjuang karena
kita memiliki harapan. Sesuatu yang kita inginkan ternyata tidak terjadi hari
ini kita masih harapkan terjadi besok, dan kita pun tahan hidup sampai besok,
minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan seterusnya. Sikap sabar ini
merupakan pengamalan kaum sufi sejak dahulu kala.
Dalam suatu Hadis Rasul saw
ditegaskan bahwa sesama orang mukmin adalah bagaikan suatu bangunan yang utuh,
oleh karenanya harus saling membantu dan menyokong antara mukmin yang satu
dengan yang lainnya, hadisnya adalah sebagai berikut :
حَدِيثُ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ
لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا .
Hadis riwayat Abu Musa ra.dia berkata: Rasulullah saw.
Bersabda: Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain adalah seperti sebuah
bangunan di mana bagiannya saling menguatkan bagian yang lain.(H.R.Bukhari dan Muslim)
Sikap hidup sederhana, zuhud, wara’, ini sudah terimplementasi dalam
kehidupan masyarakat Muslim. Terjadinya kehidupan yang saling tolong-menolong, saling bersilaturrahim merupakan salah satu unsur pengajaran
tasawuf. Tidak berlebihan, atau tidak boros sehingga berkembang perilaku hemat
dan menghindarkan diri perilaku mubazir di kalangan masyarakat, juga merupakan
implementasi dari pengajaran tasawuf. Mujahadah (kesungguhan),
muraqabah (pengawasan)dan muhasabah (evaluasi) hal yang sudah
menjadi lazim pengamalannya di tengah-tengah masyarakat. Betapa banyak kita
lihat para pedagang sayur di pusat-pusat perbelanjaan tradisional, mereka
begitu sungguh-sungguh (mujahadah) dalam rangka mengharap rezeki dari
Allah.
Jadi, kita dapat katakan dengan
tegas bahwa pengaruh tasawuf dalam kehidupan masyarakat, memang sudah menjadi
bagian kehidupan masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia.Namun, pengaruh ini
hanya sebatas kesalehan individual, bukan kesalehan sosial, kesalehan sosial
masih perlu dipertanyakan.. Kendatipun terus mengalami
berbagai perkembangan dalam pengamalannya, yang jelas tasawuf untuk sebagian
masyarakat Muslim Indonesia masih menjadi bagian dari kehidupannya.
Hanya saja yang perlu ditekankan di
sini pemahaman dan pengamalan pengajaran tasawuf harus secara berkesinambungan
diadakan perbaikan sehingga nilai-nilai tasawuf yang diamalkan sesuai dengan
syariat Islam, yakni sesuai Alquran dan
as-Sunnah.
3.
Pengaruh Tasawuf
dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Dapat dikatakan bahwa dalam
perkembangan sejarah Islam, telah terbukti bahwa peranan ajaran Islam demikian
signifikan dalam membentuk etika kehidupan masyarakat. Maka, demikian pula
kontribusi Islam dalam etika berbangsa
dan bernegara, sebagaimana yang terdapat dalam Negara yang dibangun oleh
Muhammad Rasulullah yang dikenal dengan Negara Madinah. Perlu dikemukakan bahwa
masyarakat madani yang hidup di Negara Madinah itu memiliki beberapa ciri
mendasar, yaitu:
v
Memiliki peradaban kemanusiaan
v
Egalitarianisme (persamaan derajat).
v
Penegakan hukum dan Keadilan
v
Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya).
v
Keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat
aktif.
v
Toleransi atas kemajemukan atau pluralitas
v
Musyawarah.
Etika berbangsa dan bernegara,
hendaknya mengacu pada prinsip-prinsip yang telah dibangun oleh Rasulullah saw
pada kehidupan masyarakat di Madinah. Adanya perilaku egalitarian sesama anak
bangsa akan mewujudkan kerjasama yang baik, menghilangkan keanggkuhan dan
arogansi, sebab manusia pada dasarnya makhluk yang sederajat, dalam Islam semua
manusia di hadapan Tuhan sama, kecuali yang memiliki kualitas ketakwaan yang
mantap.
Selanjutnya adanya keadilan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, yang diwujudkan dalam bentuk antara
lain; segala yang berkaitan dengan
dengan hak-hak manusia, baik mengenai hartanya, ataupun berkaitan dengan
pekerjaan-pekerjaannya. Hal ini akan mewujudkan ketenangan jiwa dan
menggerakkan dinamika kerja yang pada gilirannya membawa kepada kemaslahatan,
kemakmuran dan kesejahteraan. Adil dalam tinjauan bernegara, adalah terciptanya
tatanan masyarakat yang harmonis, sejahtera, bahagia lahir dan batin.
Sumber-sumber pendapatan negara dikelola sesuai dengan kemaslahatan negara dan
masyarakatnya. Ini merupakan perwujudan dari nilai keadilan itu sendiri. Semua undang-undang ditegakkan tanpa kecuali.
Tidak ada diskriminasi dalam peraturan negara atau pemerintahan dan
pelaksanaannya. Proses penegakan hukum harus benar-benar memenuhi nilai keadilan,
baik pada tingkat normatif peraturan maupun dalam pelaksanaan sampai ke
pengadilan. Prinsip keadilan merupakan salah satu etika yang sangat signifikan
untuk diterapkan dalam berbangsa dan bernegara.
Bila dirujuk ke dalam teks Alquran,
maka kata al-‘adl dalam Alquran menurut al-Baidhawi bermakna
“pertengahan dan persamaan”.[101]
Sayyid Quthb menekankan atas dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang
dimiliki oleh setiap orang. Keadilan baginya bersifat inklusif, tidak ekslusif
untuk golongan tertentu,[102]
sekalipun umpamanya yang menetapkan keadilan itu seorang Muslim untuk orang
non-Muslim. Sedangkan kata qisth dalam Alquran berarti seimbang. Yusuf
Ali menjelaskan bahwa al-‘adl dalam Alquran suatu istilah yang bersifat
komprehensif yang mencakup semua kebaikan dan kemanusiaan.[103]
Kata al-qisth ia artikan dengan persamaan dan jujur.
Perintah menegakkan keadilan
dinyatakan secara jelas dalam beberapa ayat yang berasal dari kata al-‘adl
maupuan dari kata al-qisth dalam bentuk kata kerja perintah, antara
lain; Q.S.an-Nisa’/4:58,135; al-Maidah/5:8,42;al-An’am/6:152; al-A’raf/7:29;Hud/11:85;
asy-Syura/42:15;al-Hujurat/ 49:9 dan lainnya.
Ayat-ayat tersebut mengandung makna
bahwa menegakkan keadilan adalah kewajiban syariat bagi orang-orang yang mukmin
berdasarkan iman kepada Allah Yang Maha Adil, sebagai tindakan persaksian
bagi-Nya (Q.S.an-Nisa’/4:135 dan al-Maidah/5:8). Perintah wajib itu ditujukan
kepada dua hal, yaitu perintah menetapkan hukum dan menyelesaikan suatu
masalah. Perintah berlaku adil itu ditujukan kepada perorangan (al-Maidah/5:42),
perintah kepada Nabi (al-A’raf/7:29, dan asy-Syura/42:15), perintah kepada
orang-orang mukmin (an-Nisa’/4:135 dan al-Maidah/5:8), atau perintah kepada
kelompok atau jamaah.
Dalam konteks Indonesia, keadilan
masih perlu terus diperjuangkan, sebab selama ini perilaku adil belum menjadi
etika yang harus diterapkan pada tataran berbangsa dan bernegara. Rakyat masih
terus berjuang dalam mempertahankan hak yang terkadang dirampas oleh para
penguasa.Bahkan juga terkadang para pengusaha bertindak kepada para pegawai
atau karyawannya dengan sewenang-wenang, padahal dalam suatu Hadis Rasul saw
menegaskan bahwa kita harus memberikan upah karyawan sebelum kering
keringatnya, yang berarti memberikan gaji harus tepat waktu. Serta juga memiliki makna memberikan hak-hak karyawan
dengan benar sesuai dengan perjanjian (kontrak) kerjanya. Hadisnya adalah
sebagai berikut :
أُعْطُوْا اْلأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَ نْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. رواه أبو
يعلى
“Berikanlah upa kepada pekerja
sebelum kering keringatnya.”(H.R.Abu Ya’la)
Untuk itulah pengaruh tasawuf dengan
nilai-nilai luhurnya perlu dibangun dalam membangun hubungan yang mantap
berbangsa dan bernegara. Adapun yang perlu dibangun adalah nilai-nilai
universalnya, bukan pengamalan lokalnya. Nilai-nilai universal itu, sebagaimana
yang telah disebutkan di atas, seperti nilai keadilan, nilai persamaan, nilai
musyawarah dan sebagainya.
Bahkan hingga saat ini rakyat belum
merasakan keadilan diterapkan dalam praktek kenegaraan Indonesia.Indikasinya
dapat dilihat, betapa kayanya sumber daya alam, tetapi tidak dikelola dengan
baik dan hasilnyapun tidak didistribusikan kepada kepentingan kemakmuran rakyat,
sehingga mayoritas rakyat jauh dari sejahtera dan makmur.Yang terjadi adalah
korupsi, kolusi dan nepotisme ada di mana-mana, bahkan sudah merupakan etika
yang perlu diamalkan sejak era Orde Baru.Juga
perilaku kesewenangan itu hingga saat ini belum dapat dihentikan. Etika yang berprinsip pada nilai keadilan sepertinya
jauh panggang dari api, serta masih perlu waktu untuk menerapkannya dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Selanjutnya dalam dunia politik,
khususnya tataran partai politik di Indonesia juga masih diperlukan kedewasaan
untuk menerapkan etika sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Partai politik
seharusnya menjalankan fungsinya sebagai salah satu lembaga yang ikut
bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa dan Negara secara baik dan benar.
Jangan sampai partai politik malah meracuni pemikiran masyarakat, membodoh-bodohi
masyarakat, atau mengobok-obok Aparatur Negara demi mengharapkan kedudukan dan
uang. Etika bertanggung jawab dan amanah, serta tepat janji harusnya menjadi
bagian perjuangan dan perilaku partai politik. Jangan hanya ketika kampanye
menebarkan berbagai janji demi mengharap suara yang banyak, namun setelah
berhasil, janji-janji yang diucapkan tidak pernah direalisasikan, inilah
perilaku yang tidak etis, pengkhianat atau tidak amanah. Demikian pula para abdi Negara seharusnya selaras antara
kata dan perbuatan. Bila semua komponen bangsa; rakyat dan Aparatur Negara sama-sama berperilaku etis,
dalam pengertian menjalankan norma-norma yang telah disepakati serta
nilai-nilai yang berasal dari ajaran agama, maka dapat diharapkan bangsa kita
menjadi bangsa yang besar dan disegani
dalam pergaulan internasional. Tidak seperti sekarang ini, negara
Indonesia dikenal sebagai salah satu Negara yang paling korup di dunia; bangsa
yang tidak disiplin, suka melanggar hukum, serta predikat kualitas pendidikan
yang rendah. Suatu gambaran yang paradok dengan mayoritas rakyatnya yang
beragama Islam.Semoga kita dapat merubah kondisi yang buruk ini.Tidak ada kata
terlambat dalam merubah kebaikan dan kemaslahatan, semuanya terpulang kepada
kita sebagai sesama anak bangsa; mau maju atau mau tertinggal.
Padahal, dalam suatu Hadis Rasul
ditegaskan bahwa kita semua adalah pemimpin, dan semua pemimpin, baik dari unit
paling kecil, yakni keluarga sampai suatu Negara, akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Perhatikan Hadis berikut ini :
حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
: عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي
عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى
أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ
بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ
سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ
عَنْ رَعِيَّتِهِ .
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.:
Dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing
kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja
yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban
terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya,
dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga
pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas
harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang
dipimpinnya. Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing
kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.(H.R.Bukhari dan Muslim)
Bila kita merujuk pada pola
pengajaran dan bimbingan di Majamen Qalbu, pimpinan K.H.Gymnastiar, dan
Pesantren Qalbu, versi K.H.Wahfiuddin, maka titik fokus mereka adalah bagaimana
manusia yang mukmin itu memiliki jiwa, hati dan pikiran yang salim
(selamat, sejahtera, dan damai). Sehingga, bila seseorang itu telah memiliki
hati yang bening dan damai, maka seseorang itu tidak mungkin lagi terperosok ke
dalam perilaku maksiat dan dosa; dan akan senantiasa fastabiqul khairat,
berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan; baik yang berhubungan kepada Allah swt
(vertikal), maupun kepada sesama manusia (horizontal). Manusia-manusia
seperti inilah yang diharapkan oleh bangsa dan Negara, karena ia akan
memberikan kontribusi kemaslahatan terhadap sesama manusia.
Paparan di atas menggambarkan,
sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pengaruh tasawuf dalam masyarakat
Indonesia masih pada tatanan kesalehan individual, belum pengamalan kesalehan
sosial. Padahal, tasawuf diarahkan bukan saja agar orang mengamalkan kesalehan
individual, tetapi juga pengamalan kesalehan sosial, sehingga benar-benar
membawa rahmat bagi semua orang, bahkan alam lingkungannya.
Wallahu
a’lam.
[1] Muraqabah adalah merasa dekat dan
diawasi oleh Allah.lihat, Simuh, Tasawuf dan perkembangan dalam Islam,
Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada,
2002, hlm.109. dapatlah dikatakan bahwa muraqabah merupakan implementasi
dari sikap dan perilaku ihsan. Pengertian ihsan sebagaimana dipaparkan dalam Hadis Nabi saw
bahwa kita menyembah Allah seorang-olah kita melihat-Nya, jika kita tidak
melihatNya, maka yang
pasti Ia melihat kita dalam situasi di mana dan kapanpun. Dengan demikian, kita
akan selalu merasa dekat dan selalu diawasi-Nya. Berdasarkan ini pula kita akan terhindar dari berbagai
perbuatan maksiat.
[2] Nafsu ammarah bi as-su’ adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan
mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure principle). Nafsu ini menarik qalbu manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya,
sehingga ia merupakan tempat dan sumber kejelekan dan
akhlak yang tercela. Lihat, Abd. Ar-Razzaq al-Kalsyaniy, Mu’jamal-Isthilahat
ash-Shufiyat, Kairo : Dar al-‘Inad, 1992, hlm. 115. Tentang nafsu
ammarah bi as-su’a ada disebutkan dalam Alquran pada surat Yusuf/12:53:
وَمَاأُبَرِّئُنَفْسِيإِنَّالنَّفْسََلأَمَّارَةٌبِالسُّوءِإِلامَارَحِمَرَبِّيإِنَّرَبِّيغَفُورٌرَحِيمٌ(53)
“Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan,
kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya
Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
[3] Nafsu al-lawwamah
adalah keperibadian yang telah memperoleh cahaya qalbu, lalu ia bangkit
untuk memperbaiki kebimbangannya antara dua
hal, yang baik dan buruk. Dikatakan lawwamah karena sifatnya al-lawm yang berarti
celaan karena meninggalkan iman, atau celaan karena berbuat maksiat dan meninggalkan ketaatan. Perilaku kepribadian lawwamah,
kemungkinan ada tiga, yaitu: Pertama, ia akan tertarik dengan watak gelapnya, sehingga ia tetap dalam kualitas rendahnya. Kedua,
ia akan tertarik oleh nur qalbu,
sehingga ia bertaubat dan berusaha memperbaiki kualitasnya; dan ketiga,
ia berada dalam posisi netral, artinya perbuatan yang diciptakan tidak bernilai
buruk atau bernilai baik, tetapi berguna bagi
kelestariannya sendiri (bersifat mubah). Tentang istilah nafsu al-lawwamah disebutkan dalam al-Quran; 75:2/Qiyamah
وََلاأُقْسِمُبِالنَّفْسِاللَّوَّامَةِ(2)
“Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali
(dirinya sendiri)”.
[4] Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul
Al-Ahkam, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), juz II, h. 21. Dalam mewujudkan
kemaslahatan ini, para ulama ushul fikih
telah membuat penelitian bahwa ada lima unsur pokok yang disebut dengan “al-maqashid
al-khamsah” (panca tujuan), yaitu, hifz ad-din (memelihara agama), hifz an-nafs
(memelihara jiwa), hifz al-‘aql
(memelihata akal), hifz an-nasb
(memelihara keturunan), dan hifz al-mal (memelihara
harta. Lihat, Ismail Muhammad M.Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta :
Bumi Aksara, 1992), h. 125. Abd al-Wahhab Khalaf, juga mengungkapkan lima yang harus dipelihara hanya
sedikit perbedaan istilah; selengkapnya; hifzh ad-din; hifzh an-nafs; hifzh
al-‘aql; hifzh al- ‘irdh; dan hifzh
al-mal. Jadi perbedaannya pada istilah an-nasb dengan al-‘irdh
yang artinya kehormatan. Lihat Abd Wahhab Khalaf, dalam bukunya, ‘Ilm ushul al-Fqh, (T.Tp : Dar
al-‘Ilm, 1978 M/1398 H), h. 200.
[5] Husein Haikal, Hayatu Muhammad, Mesir
: Maktabah nahdhah, 1965, hlm. 119-120.
[6] Q.S.al-Ahzab/33:21:
لَقَدْكَانَلَكُمْفِيرَسُولِاللَّهِأُسْوَةٌحَسَنَةٌلِمَنْكَانَيَرْجُواللَّهَوَالْيَوْمَالْآخِرَوَذَكَرَاللَّهَكَثِيرًا(21)
“Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Q.S.al-Mumtahana/60:6:
لَقَدْكَانَلَكُمْفِيهِمْأُسْوَةٌحَسَنَةٌلِمَنْكَانَيَرْجُواللَّهَوَالْيَوْمَالْآخِرَوَمَنْيَتَوَلَّفَإِنَّاللَّهَهُوَالْغَنِيُّالْحَمِيدُ(6)
“Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan
umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap
(pahala) Allah dan (keselamatan pada)
Hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah
Yang Maha Kaya lagi terpuji.”
[7] Q.S. al-Qalam/ 68:4
وَإِنَّكَلَعَلىخُلُقٍعَظِيمٍ(4)
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi
pekerti yang agung”.
[8] Al-Baihaqi, Dalail an-Nubuwah, Madinah
: Edisi ‘Abd ar-Rahman Muhammad ‘Usman , Muhammad ‘Abd al-Muhsin al-Kutubi,
1969, hlm. 247- 248.
[9] Fazlur Rahman Anshari, Konsepsi Masyarakat
Islam Modern, terj. Juniarso, dkk, Bandung : Risalah, 1983, hlm. 11.
[10] Atiyah al-Abrasyi, Azamat
ar-Rasul saw,Beirut : Dar al-Qalam, 1966, hlm.171.
[11] Ibid. hlm. 179.
[12] Al-Baihaqi, op.cit,
hlm. 155.
[13] Ibid. hlm. 247-248.
[14] Atiyah al-Abrasyi,
op.cit, hlm. 255.
[15] Ibid. hlm. 256.
[16] Husein Haikal, op.cit,
hlm.233.
[17] Al-Haihaqi,op.cit,
hlm. 253.
[18] Ibid, hlm. 252.
[19] Ibid. hlm. 257.
[20] Muhammad Ridha, Muhammad
Rasulullah saw, Qahirah : Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah ‘Isa Babi
al-Halabi, 1966, hlm. 35.
[21] Al-Haihaqi,op.cit, hlm.
258.
[22] Husein Haikal, op.cit,
hlm.232.
[23] Lihat Q.S.al-Baqarah/2:57;
[24] Lihat Q.S.al-Qashash/:77;
[25] Husein Haikal, op.cit,
hlm.233.
[26] Harta rampasan disebut juga
dengan ghanimah, yakni harta yang diperoleh dari orang kafir dengan melalui
pertempuran, sedangkan yang diperoleh
tidak dengan perang disebut harta fa’i. pembagian ghanimah ialah seperlimanya
diperuntukkan bagi Allah, rasul-Nya, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin dan ibn
sabil.. Sedangkan yang empat perlimanya
dibagikan kepada mereka yang ikut berperang.
[27] Atiyah al-Abrasyi,
op.cit, hlm. 251-252
[28] Lihat Q.S.al-Hujurat/49:13.
teks ayatnya ;
يَاأَيُّهَاالنَّاسُإِنَّاخَلَقْنَاكُمْمِنْذَكَرٍوَأُنْثَىوَجَعَلْنَاكُمْشُعُوبًاوَقَبَائِلَلِتَعَارَفُواإِنَّأَكْرَمَكُمْعِنْدَاللَّهِأَتْقَاكُمْإِنَّاللَّهَعَلِيمٌخَبِيرٌ(13)
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan
kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa- bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Mengenal.”
[29] Ibn Majah, Sunan Ibn
Majah, jilid II, edisi M.Fu’ad’Abd. al-Baqi, Beirut : Dar al-Fikr, tt, hlm.
1376.
[30] Ibid. hlm. 1373.
[31] Al-Baihaqi,op.cit,
hlm. 166.
[32] At-Tusi, al-Luma’,
Baghdad : Maktabah al-Musanna, 1960, hlm. 166.
[33] Ibid.
[34] Ibn Hajar al-‘Asqalani,
al-Isabah fi Tamyiz as-Sahabah, juz II, Mesir : Matba’ah as-Sa’adah, 1329
H, hlm. 76.
[35] Al-Amrusyi, Qisas A’lam
al-Islami, jilid III,Beirut : Daral-Masyriq, tt, hlm. 42-43.
[36] Abbas Mahmud al-‘Aqqad,
KecemerlanganKhalifah ‘Umar bin Khattab, terj. Bustami A.Gani dan Zainal
AbidinAhmad, Jakarta: Bulan Bintang, 1978,
hlm. 246.
[37] Abu al-Faid, Jamharat
al-Auliya’ wa A’lam Ahl at-Tasawwuf, jilid II, Qahirah : Mu’assasah
al-Halabi, 1967, hlm. 22.
[38] At-Tusi,op.cit,
hlm.173.
[39] Abu al-Faid, op.cit,
hlm. 20.
[40] At-Tusi, op.cit, hlm.
174.
[41] Abu al-Faid, op.cit,
hlm. 21.
[42] Ibid. hlm, 73.
[43] Abbas Mahmud al-‘Aqqad, op.cit,
hlm. 249.
[44] Fazl Ahmad,
‘UsmanKhalifah Ketiga, Jakarta : Hudaya, 1971, hlm. 10.
[45] At-Tusi, op.cit, hlm.
176.
[46] Fazl Ahmadf, op.cit, hlm. 15.
[47] Ibn Hajar al-‘Asqalani,
al-Isabah fi Tamyiz as-Sahabah, juz II, op.cit, hlm. 509.
[48] Ali ibn Abi Thalib, Nahj
al-Balaghah, Syarh al-Imam asy-Syaikh Muhammad Abduh, Mesir: daral-Ma’arif,
tt, hlm.130.
[49] Ibid. hlm. 93.
[50] Ibn al-Asir, Usud al-Ghabah, Beirut : Dar al-Fikr, tt,
hlm. 595.
[51] Al-Amrusyi, op.cit,
hlm. 8-9.
[52] Abd al-Hakim Hasan,
at-Tasawwuf fi Syi’ri al-‘Arabi, Mesir : Anjalu al-Mishriyyah, 1954, hlm.
45.
[53] At-Taftazani, op.cit, hlm. 82, dan Ali Sami’ an-Nasysyar, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi
al-Islami, jilid III, Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1977, hlm. 409.
[54] Ibid. hlm.416-417.
[55] Nicholson, fi at-Tasawwuf
al-Islami wa Tarikhi, disunting oleh
abu al-A’la ‘Afifi, Beirut : Lajnah at-Ta’lif wa at-tarjamah wa an-nasyr, 1969,
hlm.3.
[56] Nicholson, As-Sufiyah fi
al-Islam, terj. Bur ad-Din Syaibah, Mesir : Maktabah al-Khanji, 1951, hlm.
22.
[57] Ali Sami’ an-Nasysyar, Nasy’ah al-Fikr
al-Falsafi al-Islami, op.cit, hlm.110-111.
[59] Ibid.hlm 413.
[60] Ibid. hlm. 413.
[61] Ibrahim bin Adham memang
selalu mondar-mandir antara Kufah dan Basrah, namun Kufah lebih cenderung
kepada hadis dan fikih, sedangkan Basrah
kepada zuhud dan hadis. Dari hasil introspeksinya hadis bukan untuk mencapai
dunia, akan tetapi untuk akhirat. Oleh karena itu dalam mencari hadis, Ibrahim menekankan segi adab atau sopan santun.
Lihat Ibid. hlm. 314-415.
[62] Abu Nu’aim, Hilyah
al-Aulia’, Jairo ; Musthafa al-Babi akl-Halabi, tt,jilid VII. Hlm. 394.
[63] Ibid. hlm. 394.
[64] Ibid. jilid
VIII, hlm. 18.
[65] Ibid. hlm. 13.
[66] Ibid. jilid VII, hlm.
22 dan 86.
[67] Ziauddin Sardar, Rekayasa
Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti, Bandung : Mizan, 1993, hlm. 45.
[68] Abdus Satar Nuwair,
al-WaqtHuwal Hayat Dirasah Manhajiyyah lil Ifadah min Awqat al-‘Umr, Qatar:
Dar as-Saqafah, 1488 H, hlm.86-87.
[69] Ajaran agama dapat ikut
berperan dalam proses terbentuknya perilaku ekonomi dan aktivitas keduniaian
sesuai dengan hasil penelitian Weber,
Geertz, dan Mitsuo Nakamura, lihat; Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari
Balik Pohon Beringin, Studi tentang Pergerakan Muhammadiyah
di Kota Gede, terj. Yusron Asyrafi, Yogyakarta : Gajah Mada University
Press, 1983, hlm.12-14. Sesuai pula dengan hasil penelitian Robert N.Bellah, Tokugawa religion,
New York: Harper and Row, 1970.
[70] Musa Asy’ari, Islam, Etos
Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: Lesfi, 1997.,hlm. 40-43.
[71] Pranbudi Atmosudirdjo,
Pengambilan Keputusan, Jakarta: Ghalia Indah, tt, hlm.32.
[72] Suma’mur, Higiene
Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta : PT. Gunung Agung, 1985, hlm.
207-209.
[73] Djamaluddin Ancok, Nuansa
Psikologi Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 106.
[74] Musa Asy’arie, op.cit,
hlm. 45.
[75] Jalaluddin, Psikologi
Agama, Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 1997, hlm. 229.
[76] Musa Asy’arie, op.cit,
hlm. 34-35.
[77] Muhammad Iqbal,
Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Syaikh Muhammad
Asyraf, 1951, hlm.175.
[78] Musa Asy’arie, op.cit,
hlm. 36.
[79] Fazlur rahman, Major
Themes of the Quran, Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980, hlm. 22.
[80] Musa Asy’arie, op.cit,
hlm. 40.
[81] Mahmud Abu-Sa'ud,
Al-Fikru-Islamiy al-Mu'asirmadmunuhu wa Mustaqbaluh, Beirut, al-Kuwait,
tpn, 1978, hlm. 49.
[82] Ismail Raji al-Faruqiy,
Ab’adul Ibadat fi al-Islam, dalam Jurnal Al-Muslim al-Mu’asir
al-Qahirah, No. 10, 1977, hlm. 26.
[83] Mahmud Abu-Sa'ud, op.cit,
hlm. 46.
[84] Lihat Nurchlish Madjid,
Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta : Yayasan Wakaf Paradiman, 1992, hlm. 415.
[85] M.Hasbi Ash-Shiddieqy,
Al-Islam, jilid II,Jakarta : Bulan Bintang, 1977, hlm. 28-29.
[86] ‘Abdul Aziz Muhammad as-Saliman, Al-Asilah wa
al-Ajwibah l-Usuliyah ‘alal-‘Aqidah al-Wasitiyyah, jilid II, Riyadh :
Mathba’ah al-Madinah, 1979,
hlm. 113.
[87] Imam Muslim, Sahih
Muslim, bisyarh an-Nawawiy, jilid 9, Beirut ; Dar al-Ma’rifah, t.t., hlm.
215.
[88] Ibrahim Anis, dkk, al-Mu’jam
al-Wasit, jilid I, Beirut : dar al-Fikr, tt, hlm. 28.
[89] Louis Ma’luf, Al-Munjidfi
al-Lughah wa al-A’lam, Beirut : Dar al-Masyriq, 1985, hlm. 16.
[90] Elias A Elias & Ed. E.
Elias, Al-Qamus al-‘Asyriy, kairo : Elias Modern Press, 1972, Ed. 9,
.hlm. 39-40.
[91] Muhammad Aliy as-Sabuniy,
Safwatut Tafasir, jilid I, Beirut : Dar al-Qur’an al-Karim, 1981, hlm. 501.
[92] Muhammad Ibn Aliy Ibn
Muhammad asy-Syaukaniy, Fath al-Qadir al-Jami’ Baina Fanny ar-Riwayah wa ad-Dirayah
min ‘Ilm at-Tafsir, Beirut : Daral-Ma’arif,
tt, hlm., 308.
[93] Musyarakah
adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu,
di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi
dana (amal /expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko
akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepa katan.Lihat,
Syafi`i Antonio, Syafi`i Antonio, Perbankan Syari`ah: Wacana Ulama Dan
Cendikiawan (Jakarta:Tazkia Institut dan BI, 1999), h.187.
Lihat juga, Mu`amalat Ins titut, Bank Syari`ah :Perspektif Peraktisi,(Jakarta:Mu`amalat
Institut, 1999), h. 77-78.
[94] Abu Daud, Sunan Abi Daud,
(Mesir :Mustafa al-Babi al-Halabi, 1951), kitab al-Buyu`, hadis
no.2936.
[95] Seyyed Hossein Nasr,
“Pandangan Islam tehadap Etika Kerja”, terj. Ahmad Mu’azin dalam iUlumul
Qur’an,I No. 6. vol II.Jakarta : LASF, 1990,hlm.
5.
[96] Muhammad al-Ghazali,
Khuluq al-Muslim, Kuwait : Dar al-Bayan, 1970, hlm. 31.
[97] Jalal ad-Din as-Suyuti, al-Jami’
as-Sagir, Dar al-Fikr, Beirut,t.t., hlm. 130
[98] Ary Ginanjar Agustian,
Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui al-Ihsan,
Jakarata : Arga, 2006, hlm. 128-129.
[99] Marshal G.S.Hodgson, The
Venture of Islam, Chicago: The
University of Chicago Press, jilid I, 1974, hlm. 71.
[100]Max
I. Dimont, The Indestructible Jews, New York: New American Library,
1973, hlm. `89.
[101] Al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar
at-Ta’wil, jilid 1, Mustafa al-Halabi, Mesir, 1958, h. 191. lihat juga
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al- Manar,
jilid V, (Mesir ; Maktabah
al-Qahirah, 1960), h. 174
[102] Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an,
jilid V. ( Beirut ; Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, 1967), h. 118
[103] Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an,
(Maryland :Amana Corporation, Brentwood,
1989), h. 661, catatan no. 2127.
Subscribe to:
Posts (Atom)