Tuesday 26 April 2016


telah hadir di Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan Lembaga Konsultasi Tasawuf Qurani (LKTQ). Direktur: Prof. Dr. H. Muzakkir, M.Ag. seorang pakar tasawuf Modern. tujuan dibentuknya LKTQ ini adalah jawaban dari masyarakat tentang gelaja hati, penyakit hati, problem spritual yang dialami seseorang. dewasa ini mulai muncul fenomena GEGANA (Gelisah, Galau Merana). problem pada diri manusia terletak pada hati, tentu hati penyelesaiannya adalah melalui sprutial,,, maka dari itu diharapkan kepada amasyarakat jika ingin berkonsultasi. silahkan datang ke Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam Universitas islam Negeri Sumatera Utara Medan

Sunday 24 April 2016

RELEVANSI AJARAN TASAWUF PADA MASA MODERN



RELEVANSI AJARAN TASAWUF
PADA MASA MODERN

oleh :
Prof. Dr. H. Muzakkir, MA
(Guru Besar Fakultas Ushuluddin dan Studi Islam
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara)
 

A. Reinterpretasi Ajaran Tasawuf
1.     Zikir dan Ma’rifah
            Pada tulisan ini akan diuraikan bagaimana kita perlu kaji ulang pemahaman terhadap zikir dan ma’rifah dengan melihat kondisi saat ini, apakah memiliki relevansinya nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dan bagaimana makna esensinya ketika diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini.
            Pada dasarnya zikir menurut ajaran Islam adalah mengingat Allah dalam setiap keadaan. Tujuannya adalah untuk menjalin ikatan batin antara hamba dengan Allah  sehingga timbul rasa cinta, hormat dan jiwa muraqabah.[1]Dengan adanya sikap dan perilaku zikir,  iman seseorang menjadi hidup, terjalin kedekatannya dengan Allah. Rasa cinta dan dekat ini akan merupakan benteng atau kendali yang sangat kuat, bahkan efektif untuk mengendalikan keinginan nafsu yang jelek di dalam jiwa seseorang. Dengan demikian, tidak mudah tergoda berbuat haram, karena mampu mengendalikan hawa nafsu amarah bissu’[2] dan lawwamah-nya.[3]
            Zikir, pada prinsipnya adalah mengingat Allah. Mengigat Allah, bisa melalui qalbu dengan merasa ridha atas segala keputusan-Nya serta mentasdiqkan Allah dengan keyakinan yang penuh, bisa melalui lisan dengan sering menyebut nama-Nya, dan bisa pula melalui perilaku dengan berorientasi semua perbuatan atau amal yang dilakukan hanya karena-Nya (lillahi ta’ala). Berdasarkan ini, zikir menghidupkan iman dan menjalin rasa cinta dan taat kepada Allah swt.Ajaran Islam memang agama yang menekankan dan mengutamakan iman dan amal saleh. Oleh karena itu wajar bila fungsi zikir  semata-mata untuk menjalin dan menghidupkan hubungan batin dengan Allah swt. Dengan demikian, tekanan zikir adalah untuk mengingat Allah sepanjang masa.
            Pemahaman zikir yang demikianlah yang perlu dikembangkan dalam kehidupan masyarakat modern. Kendatipun hal ini berbeda dengan pemahaman dan pengamalan zikir di kalangan para sufi yang terdahulu, yang sangat memfokuskan pada kaifiyat dan zikir secara lisan.
            Ketika kita berzikir lisan dengan mengucapkan Allahu Akbar, maka harus dapat kita refleksikan bahwa kita membesarkan Allah swt sebagai sang Khaliq (pencipta) yang Maha Tinggi, dan mengecilkan apa-apa selain Allah. Kita harus sadar dan insyaf bahwa Allah Maha Tahu, bahwa kita sering takbir dalam ibadah-ibadah kita, namun melupakan takbir di luar itu. Kita besarkan Allah di masjid, tetapi – diluar masjid- kita agungkan kekayaan, harta, kekuasaan, dan kedudukan. Kita besarkan hawa nafsu, kepentingan,dan pikiran kita. Di atas sajadah di masjid, di berbagai tempat ibadah, kita gemakan takbir. Namun, di kantor, dipasar, di ladang, di sawah, di tengah-tengah masyarakat, kita lupakan Allah swt- kita gantikan takbir dengan takabbur.
            Pada saat kita duduk di kantor, kita campakkan perintah-perintah Allah. Jabatan yang seharusnya kita gunakan untuk memakmurkan Negara, melayani rakyat, membela yang lemah, menyantuni yang memerlukan pertolongan, kita manfaatkan untuk memperkaya diri. Kita bangga kalau kita mampu menyalahgunakan fasilitas kantor. Kita bangga kalau melihat rakyat yang harus kita layani merengek-rengek bersimpuh memohon belas kasihan kita.Kita bangga – kalau dengan sedikit kecerdikan- kita menumpuk keuntungan, walaupun mengorbankan saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air. Di kantor, kita singkirkan takbir dan kita suburkan takabbur.
            Ketika kita bersaing merebut pasar dan konsumen, ketika kita menjalankan bisnis, seakan-akan Allah swt tidak pernah hadir dalam hati kita. Kita lakukan cara apa pun, tanpa peduli halal-haram, tanpa memperhatikan apakah tindakan kita menghancurkan hidup orang lain atau menyengsarakan banyak orang. Kita lupakan zikir (ingat) Allah sepanjang masa. Konsekuensi dari lupanya kita berzikir (ingat) pada Allah, maka akan masuklah pembisik atau teman di sekitar kita yang akan menjerumuskan ke jalan maksiat, pembisik atau teman itu memang dijadikan Allah untuk mereka yang lupa pada-Nya, dalam Alquran pembisik atau teman kita itulah syaitan, sebagaimana ditegaskan dalam Alquran surat az-Zukhruf/43:36:
وَمَنْ يَعْشُ عَنْ ذِكْرِ الرَّحْمَنِ نُقَيِّضْ لَهُ شَيْطَانًا فَهُوَ لَهُ قَرِينٌ(36)
“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al Qur'an), Kami adakan baginya syaitan (yang menyesatkan) maka syaitan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya.”
            Bahkan bagi mereka yang lupa zikir (ingat) Allah, akan menghadapi kehidupan yang sempit, Allah berfirman dalam Alquran dalam surat Thaha/20:124:
وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى(124)
“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta".
            Di tengah-tengah masyarakat, kita terkadang tidak lagi mendengar firman Allah yang mengajarkan kejujuran, keikhlasan, kasih sayang, dan amal saleh. Sebaliknya, dengan setia kita mengikuti petunjuk syaitan untuk melakukan penipuan dan kemunafikan, kekerasan hati, dan penindasan. Allah swt yang kita agungkan dalam shalat dan doa kita, kita lupakan dalam kehidupan kita. Di masjid kita berzikir dengan bertakbir (mengagungkan Allah), tetapi ditengah-tengah masyarakat kita bertakabbur (sombong), kita sering melihat inkonsistensi dalam perbuatan kita. Banyak orang fasih melafalkan Alquran, namun fasih pula dalam menipu orang lain. Inilah makna zikir yang harus disegarkan  kembali dalam kehidupan masyarakat. Zikir bukan hanya di mulut, secara lisan berjuta-juta kali menyebut nama Allah, tapi kering di qalbu dan di perilaku. Zikir harus dilakukan secara sinergis dalam diri kita, baik dalam qalbu, lisan maupun pebuatan, sehingga ia memiliki nilai efektifitas dalam kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat. Pemahaman zikir seperti inilah yang harus terus dikembangkan dalam kehidupan modern, yang setiap saat mengalir begitu banyak problema dan tantangan yang harus dihadapi.
            Berkenaan dengan ma’rifah, bahwa sejak bekembangnya ma’rifah dan  hakikat di kalangan sufi, konsepsi ini menjadi salah satu ajaran pokok dalam tasawuf. Bahkan kemampuan seseorang untuk mencapai tingkatan ini, menjadi tolok ukur bagi seseorang apakah ia sudah berhak disebut sufi atau belum. Dengan kata lain, bahwa seorang zahid atau salik disebut sufi apabila ia telah mencapai kedekatan dan keakraban dengan Tuhan tanpa tabir, makin tinggi kelas seorang salik, makin tinggi pula ma’rifah-nya.
            Secara harfiah,makna ma’rifah adalah kenal atau mengenal, yang dalam hal ini adalah mengenal Tuhan secara jelas. Bila kita menarik dalam kondisi atau konteks kekinian, ma’rifah bisa pula diinterpretasikan kepada pengenalan secara sungguh-sungguh syariat Islam serta mengenal esensi diturunkannya syariat itu dalam kehidupan manusia.
            Adapun esensi diturunkan syariat dalam kehidupan manusia adalah demi kebaikan manusia itu sendiri. Dalam usul fikih dikenal dengan maqasih asy-syari’ah, atau tujuan diturunkannya syariat, menurut asy-Syatibi, mengemukakan “Sesungguhnya syariat itu bertujuan mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat .“[4]
            Dengan mengenal syariat secara baik dan benar, lalu mengamalkannya dengan baik dan benar, diharapkan manusia yang seperti ini akan bahagia baik di dunia maupun di akhirat. Karena syariat itu bagaikan nur atau cahaya, jadi mata yang sehat bila tidak ada cahaya yang terang benderang akan sulit bahkan tidak mampu sama sekali membedakan warna yang berada di hadapannya, semuanya terlihat hitam. Demikian pula bagi mereka yang tidak mengenal syariat, tidak mampu mengenal  dan membedakan mana yang dibolehkan dan mana yang dilarang, mana yang haram dan mana yang halal, semuanya dianggap halal.
            Selanjutnya dalam mengamalkan ajaran Islam, bagi mereka yang telah paham ma’rifah atau mengenal dengan baik kandungan syariat, akan melakukannya secara ikhlas dan ridha, karena memang hal ini diperintahkan dalam Alquran surat al-Bayyinah ayat 5:

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ(5)
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus.”


2.     Maqam/al-Hal
            Pada prinsipnya maqam itu adalah suatu tingkatan seorang hamba di hadapan Allah swt, sebagai Tuhannya dalam hal ibadah dan latihan-latihan jiwa yang dilakukannya. Maqam dapat diraih melalui berbagai usaha atau latihan dari seorang hamba. Hal inilah yang akan membedakan dengan hal. Kalau hal diperoleh sebagai anugerah Allah swt kepada hamba yang telah dipilihnya, tanpa usaha yang berat dari hamba tersebut.
            Dalam kehidupan modern kita dapat pahami bahwa maqam merupakan suatu usaha atau latihan yang dilakukan oleh seorang hamba yang ingin memiliki kedekatan dengan Tuhannya, sehingga mempunyai tingkatan tertentu di hadapan-Nya. Usaha-usaha itu, boleh jadi mengikuti apa yang telah dirumuskan oleh para sufi terdahulu seperti Taubat, Wara’, Sabar, Faqir, Zuhud, Tawakkal, Mahabbah, Ma’rifah, dan Ridha namun dengan reinterpretasi kembali agar dapat relevan dengan kekinian.
            Taubat, dapat dipahami agar kita berusaha tidak melakukan kesalahan sedikitpun, baik yang berhubungan dengan Allah swt, maupun berhubungan sesama manusia. Bila makna dan nilai taubat ini diimplementasikan dalam kehidupan, maka kita akan terhindar dari berbagai kesalahan, selalu waspada dan hati-hati dalam setiap pekerjaan yang dilakukan. Selain itu, dengan pengalaman ketuhanan yang diperoleh seseorang melalui istighfar (mohon ampun pada Allah) adalah  pertama, menanamkan kerendahan hati yang tulus, karena kesadaran bahwa tidak seorang pun yang bebas dari dosa. Kedua, sebagai konsekuensi langsung dari kerendahan hati itu dengan banyak istighfar kita dididik dan dituntun untuk tidak mengklaim kesucian diri atau bersikap semuci suci (sok suci), yang mana sikap itu sendiri merupakan suatu kesombongan atau keangkuhan.
            Wara’, di kalangan sufi memiliki pengertian menjauhi atau meninggalkan segala hal yang belum jelas haram halalnya (syubhat). Bila ditarik pada konteks kekinian, maka sikap wara’ akan menjadikan seseorang sangat berhati-hati dalam kehidupannya, seperti ketika mencari rezeki yang halal dan sekuat tenaga menghindarkan dari berbagai sumber yang haram. Sehingga melatih untuk senantiasa bersih dalam kehidupannya, lahir batin; yakni terjaga makanan dan minumannya pada yang halal saja, dalam berusaha selalu mencari rezeki yang halal, serta berbisnis tidak menggunakan logika spekulasi, tetapi semuanya harus jelas, terukur dan sesuai dengan norma-norma kemanusiaan dan ketuhanan.
            Meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat, apalagi yang haram adalah dalam rangka mengendalikan hawa nafsu,mencapai kesalehan dan keseimbangan batiniah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Wara’dapat dilakukan dengan beberapa tahap. Pertama,memelihara iman agar tidak ternoda oleh maksiat, karena iman itu dapat bertambah dan berkurang. Kalau orang itu berbuat baik, maka imannya sedang bertambah. Tetapi kalau bebuat buruk, maka  itu berarti imannya sedang bekurang atau melemah. Kedua, menghindari perbuatan yang sebenarnya halal, tetapi dikhawatirkan jatuh kepada perbuatan haram. Misalnya, tidak masuk bar atau diskotik, karena khawatir tergoda untuk meminum-minumam keras dan perbuatan maksiat lainnya. Kemudian berteman dengan siapa saja pada dasarnya boleh, tetapi kalau orang itu mengajak kepada perbuatan dosa, maka orang yang telah mencapai tingkat wara’ akan menghindari orang yang mengajak tadi, karena khawatir akan melanggar ketentuan Allah.Ketiga, adalah tahap wara’ paling tinggi, yakni hati orang yang wara’ itu selalu ingat kepada Allah, kegiatan sehari-hari hanya ditujukan kepada Allah. Tahap wara’ seperti ini kelihatannya sama sekali sudah meninggalkan urusan duniawi. Jikapun mengurusi urusan duniawi itu semata-mata untuk beribadah kepada Allah swt.
            Zuhud, menurut pandangan sufi, pada dasarnya adalah tidak tamak atau tidak ingin dan tidak mengutamakan kesenangan duniawi. Dalam kehidupan dapat dipahami sebagai hidup sederhana, tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan. Kesederhanaan merupakan prinsip hidup Islami. Sebab, segala sesuatu kalau berlebihan menjadi tidak normal dan tidak baik. Sebagai contoh, minum air putih atau susu adalah minuman yang halal, namun bila kita minum melebih kebutuhan tubuh kita, maka akan membawa dampak negative tehadap tubuh kita, setidaknya kita akan muntah atau menimbul penyakit tubuh lainnya. Ini mengindikasikan bahwa segala yang berlebihan adalah kurang baik.
            Tahapan-tahapan zuhud itu adalah, pertama, meninggalkan segala hal yang haram dan syubhat. Kedua, tidak melakukan sesuatu secara berlebihan walaupun halal, seperti makan, minum dan berpakaian.Maksudnya agar peluang untuk bersenang-senang dengan kehidupan duniawi tidak memalingkan pehatiannya dari Allah.Ketiga, bersikap zuhud terhadap zuhud.Artinya tidak menganggap zuhud itu sebagai suatu hal yang perlu dibanggakan.Sebab membanggakan zuhud itu bukan sikap zuhud.Dengan adanya tingkatan zuhud itu, maka untuk bersikap zuhud perlu melalui latihan secara bertahap.Mula-mula orang harus menghindari perbuatan haram, kemudian hal-hal yang syubhat, bersikap sederhana dalam perbuatan halal dan akhirnya tidak membanggakan sikap zuhudnya.
            Sabar, dapat dipahami sebagai sikap tabah, tekun dan tangguh dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai problema hidup. Tidak ada orang yang sukses tanpa kesungguhan dan keuletan serta ketangguhan untuk meraihnya. Dengan sikap sabar, seseorang tidak mudah putus asa, tidak cepat menyerah ketika belum berhasil. Bahkan seorang yang memiliki sikap sabar tidak larut dalam kesedihan ketika terkena musibah, ia akan cepat bangkit untuk menatap masa depan yang lebih cerah. Sebab, setiap kita ketika mau naik tingkat di sekolah atau dikuliah, sudah pasti melalui proses ujian. Jika lulus ujian barulah kita akan naik kelas atau naik tingkat, begitu seterusnya. Demikian pula dalam kehidupan ini, Allah akan memberikan ujian kepada hamba-Nya, bila hamba-Nya itu ingin dinaikkan tingkat keimanannya. Sebagaimana ditegaskan dalam Q.S.al-Ankabut/29:2:
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا ءَامَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ(2)
’’ Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?’’ 
            Faqir, dapat dipahami bahwa hidup faqir adalah sikap hidup yang tidak “ngoyo” atau memaksa diri untuk mendapatkan sesuatu. Tidak menuntut lebih dari apa yang telah dimiliki atau melebihi dari kebutuhan primer. Dalam kehidupan modern, dapat diwujudkan dalam pengertian kita tidak meminta sesuatu yang diluar apa yang kita lakukan. Kita harus menyadari bahwa setiap sesuatu ada batasnya, dengan demikian, kita tidak memaksa diri untuk melakukan di luar kesanggupan kita. Allah swt sendiri tidak memaksa hamba-Nya untuk melakukan sesuatu di luar kesanggupannya, sebagaimana firman Allah dalam Q.S.al-Baqarah/2:286 :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
’’Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.’’
            Tawakkal, kata ini jika kita telaah pemahaman dari para sufi didapati pengertiannya adalah pasrah dan mempercayakan secara bulat kepada Allah setelah melaksanakan suatu rencana dan usaha. Manusia hanya merencanakan dan mengusahakan, tetapi Tuhan yang menentukan hasilnya.Dalam kehidupan modern sekarang ini, tawakkal, merupakan sikap optimis dan percaya diri, bahwa segala hal ada yang mengaturnya, yakni Allah swt. Bila kita mengikuti aturan-Nya, yakni sunnatullah, maka kita akan sukses, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan sikap optimis kita akan kreatif, namun tidak takabbur atau sombong, sebab kita meyakini sepenuhnya yang memberi keputusan hasil baik atau tidak adalah yang memiliki aturan sunatullah itu sendiri yakni Allah swt.
            Sikap ridha, atau rela hati. Dalam kehidupan modern secara Islami, kita harus mencari keridhaan Allah, juga keridhaan manusia agar kita sukses dunia dan akhirat. Mencari keridhaan Allah adalah dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan-Nya.Sedangkan mencari keridhaan manusia adalah dengan tidak menyakitinya, baik jasmaninya maupun jiwanya. Ridha kepada Allah berlangsung setidaknya dalam tiga tahap, yaitu; pertama, ridha kepada Allah sebagai Tuhan, maksudnya adalah Tuhan yang dipercayai hanya Allah dan tidak percaya kepada tuhan yang lain. Jadi, ridha kepada Allah adalah mengesakan-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya.
            Kedua, ridha kepada Ajaran Allah yang diturunkan melalui Nabi Muhammad, baik perintah maupun larangan. Pada tahap ini ridha kepada Allah berarti senang kepada ajarannya, yaitu senang menjalankan perintah-Nya dan senang menjauhi larangan-Nya. Akhirnya, yang ketiga, adalah ridha kepada takdir Allah, baik itu keadaan bahagia atau sengsara. Di dunia ini ada orang-orang yang kehidupannya beruntung dan bahagia, dan ada pula orang-orang yang kehidupannya kurang beruntung dan sengsara. Keduanya adalah takdir Allah.
            Takdir dialami setelah orang berikhtiar. Karena itu, orang tidak boleh menunggu takdir datang, tetapi takdir itu harus disongsong dengan cara berikhtiar.Setelah berikhtiar atau bekerja apapun hasilnya, bahagia atau sengsara, itulah takdir. Orang yang sudah ridha kepada Allah akan senang kepada hasil pekerjaannya.

B.  Pengamalan Tasawuf Syar’i
1.      Pengamalan Tasawuf Rasulullah Saw.
            Tidak bermaksud bahwa pada zaman Rasul sudah ada istilah tasawuf, atau ilmu tasawuf, tidaklah demikian. Namun, para ulama tasawuf memberikan formulasi bahwa kehidupan Rasul bila dilihat dari pandangan tasawuf, hal itu merupakan pengejawantahan dari pengamalan tasawuf sebagaimana yang telah diformulasikan oleh para sufi. Dan harus ditekankan bahwa Rasul tidak penah menyatakan bahwa apa yang diamalkan itu merupakan pengamalan tasawuf, sebab istilah tasawuf saja lahir jauh setelah Rasul wafat. Namun, orang  belakanganlah yang memformulasikan keilmuan dan istilah tasawuf.
            Bila ditelaah kehidupan Rasulullah saw, maka dapat dilihat bahwa beliau hidup sederhana, jauh dari kesan kemewahan, tidak suka berlebihan dalam segala hal. Sebagaimana dikemukakan oleh Husein Haikal, bahwa semboyan  hidup Rasulullah saw adalah, Kami adalah kaum yang tidak makan kecuali apabila lapar, dan apabila makan tidak kenyang,’’ ini merupakan indikasi kesederhanaan dan sikap yang tidak suka akan berlebih-lebihan.[5]
            Nabi Muhammad saw adalah sosok manusia yang patut dicontoh,[6] karena beliau dinyatakan sebagai manusia yang berakhlak mulia.[7] Dengan demikian, tidak boleh tidak seluruh perilakunya selalu menjadi pelajaran bagi umatnya dulu, kini dan yang akan datang, baik dalam bidang agama, politik, ekonomi dan sosial budaya.
            Adapun sebagai pengejawantahan kehidupan zuhud Rasul saw, para ahli sejarah mencatat perilaku sehari-harinya. Beliau sangat sederhana dalam segala hal. ‘Umar bin Khattab menceritakan, bahwa ketika ia menjadi missi perdamaian antara beliau dengan istri-istrinya, ketika tersebar isu, Rasul saw akan menceraikan istrinya. Pada waktu itu ‘Umar masuk ke dalam rumahnya. Rasul saw sedang berbaring di atas  tikar, ketika beliau bangun, terllihat garis-garis merah pada tubuhnya, bekas tikar tersebut. Ketika aku melihat lemarinya, tidak kudapatkan sesuatu kecuali dua genggam dari gandum dan buah qarz, dua atau satu kulit yang telah disamak. Emosiku tersentuh dan seketika itu aku menangis. Nabi bertanya, “Apakah gerangan yang menyebabkan engkau menangis hai ‘Umar ?” Aku menjawabnya, bagaimana aku tidak menangis karena melihat keadaanmu yang sederhana ini, sedangkan engkau adalah sebaik-baik manusia dan bahkan sebagai kekasih Allah swt. Sedangkan Kaisar dan Kisra dalam kemewahan. Hai ‘Umar, kata nabi saw : ’Tidak relakah engkau bagi  kita negeri akhirat dan bagi mereka negeri dunia ? Betul, ya Rasulullah. Lalu Nabi  menambahkan, bertahmidlah kepada Allah ‘Azza wa jalla.’[8]
            Rasulullah saw tinggal bersama istri-istrinya di dalam sebuah pondok kecil yang sederhana, beratap jerami, tiap-tiap kamar dipisah dengan batang-batang pohon palma, yang direkat dengan lumpur.[9] Beliau mengurus rumah tangganya sendiri,[10] seperti menjahit pakaian, memeras susu kambing dan menambalkan untanya sendiri, serta memperbaiki sandal.[11]Peralatan rumahnya sangat sederhana, tikarnya terbuat dari kulit, dan rumput kering.[12] Melihat keadaan seperti itu, seorang wanita Anshar tidak sampai hati kemudian dia pulang untuk mengambil alas yang terbuat dari bulu kambing untuk dihadiahkan kepada Nabi saw. Namun ketika beliau datang menanyakan kepada Fatimah, dan dijawabnya, kemudian beliau menyuruhnya untuk dikembalikan.Dan dengan suruhan atau perintahnya tiga kali, akhirnya Fatimah mengembalikannya.[13]
            Prinsip yang dipegang oleh Rasulullah saw adalah kehidupan dunia ini bagaikan seorang penunggang kuda atau kenderaan yang sesaat berteduh di bawah pohon, kemudian pergi lagi.[14] ‘Usman bin ‘Affan menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah bersabda, ’’Sesungguhnya yang menjadi hak seseorang adalah hanya tiga, yakni rumah tempat tinggal, pakaian untuk menutup aurat, dan roti tawar beserta air putih.’’[15] Hartanya yang paling berharga adalah apa yang ada di tangannya, yang paling mewah adalah sepatu hadiah dari raja Najasyi. Dan sesekali pernah memakai pakaian yang agak mewah yakni pakaian tenun dari Yaman.[16]
            Demikian juga Rasulullah saw sangat sederhana dalam makanan. Beliau sangat sedikit makan, memakan roti tawar dan air putih.Kadang-kadang selama berbulan-bulan beliau tidak pernah menyalakan perapiannya. Beliau minum susu apabila diberi oleh tetangganya.[17] Bahkan diceritakan oleh Aisyah, bahwa keluarga Rasulullah saw tidak pernah merasakan  kenyang dari roti gandum selama tiga malam berturut-turut sampai beliau wafat.[18]Pada saat memiliki harta yang lebih untuk makan sehari semalam dihadiahkan kepada faqir dan miskin, khususnya ashab as-Shuffah. Sebagaimana yang diceritakan oleh Anas ibn Malik bahwa Rasulullah saw tidak pernah menyimpan sesuatu untuk besok.[19] Muhammad Ridha mengemukakan bahwa apabila Rasulullah saw mendapat shadaqah, maka disedekahkan lagi kepada orang lain, sebab Rasul dilarang  menerima sedekah.[20]Tetapi boleh menerima hadiah. Sikap ini tidak hanya berlaku pada dirinya, akan tetapi keluarganya pun dididik demikian.
            Kepada sahabat dekatnya, Rasulullah saw pernah menegur Bilal ketika beliau masuk ke dalam rumahnya dan melihat seonggok kurma, Rasul saw bertanya kepada Bilal : ‘Apakah ini, hai Bilal ?’ Simpanan kurma,’ sahut Bilal. Rasul bersabda kepadanya, ‘celaka engkau hai Bilal, tidakkah engkau takut akan menjadi umpan api neraka, infakkanlah dan jangan takut kekurangannya.’.[21] Suatu ketika Rasul saw diberi hadiah baju oleh seorang wanita, yang mana baju itu sangat dibutuhkannya, tiba-tiba ada seseorang yang memintanya untuk dijadikan kafan mayat, maka baju itu diberikannya.[22]
            Demikian kesederhanaan sikap hidup Rasulullah saw, yang dalam khazanah para sufi dikenal dengan sikap hidup zuhud. Namun, yang harus diperhatikan adalah Rasul saw melakukan hal itu sebagai contoh kepada umatnya. Sebab, Alquran sendiri menganjurkan untuk memakan barang-barang yang halal dan lezat,[23] agar mencari keseimbangan antara kebutuhan rohani dan jasmani ; dunia-akhirat.[24] Dengan demikian, jelaslah bahwa perilaku Rasulullah saw adalah untuk memberi contoh kepada umat manusia untuk menunjukkan kekuatan hidup yang tidak tergantung kepada masalah-masalah materi (kebendaan) dan kekuasaan. Dari sini, juga dapat dilihat sikap kedermawanan Rasul saw serta menumbuhkan solidaritas sesama manusia tanpa melihat zahiriahnya, atau latar belakangnya, artinya jika memang harus dibantu kita memiliki kewajiban untuk membantu sesama manusia.
            Prinsip-prinsip dasar yang ditanamkan oleh Rasulullah saw adalah apa yang dikemukakan oleh Ali r.a. atas jawaban yang diberikan oleh Rasul ketika ia menanyakan tentang sunnahnya :
            ’’Ma’rifah adalah modalku, akal adalah asal agamaku, cinta adalah fondasiku, rindu adalah kenderaanku, zikir kepada Allah adalah kesukaanku, kepercayaan adalah perbendaharaanku, kesabaran adalah selendangku, ridha adalah harta rampasanku, kefakiran adalah kebanggaanku, zuhud adalah pekerjaanku, keyakinan adalah kekuatanku, kejujuran adalah penolongku, ketaatan adalah kecukupanku, jihad adalah kepribadianku dan ketenanganku pada waktu menjalankan shalat.’’[25]
            Demikianlah kesederhanaan kehidupan Rasul saw, baik perabot rumah tangga, pakaian dan makanan. Rasul saw tidak memikirkan kemegahan dan kemewahan, sementara beliau sangat mampu berbuat demikian mengingat kekayaan finansial  seluruh umat Islam berada dalam kekuasaannya, dan sangat memungkinkan beliau mempergunakan sekehendaknya. Namun beliau hidup sederhana, bagai kehidupan orang yang fakir dan miskin, kendatipun beliau bukanlah seorang fakir dan miskin.
            Dalam Alquran, dengan tegas dinyatakan bahwa Rasul saw mendapat bagian dari sebagian harta rampasan perang,[26] tersebut dalam Q.S.al-Anfal/8:41 :

وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ ءَامَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ(41)
’’Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqaan, yaitu di hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’’
            Rasulullah saw juga berhak untuk mendapat harta fa’i atau upeti sebagaimana ditegaskan dalam Q.S.al-Hasyr/59:7 :

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ(7)
’’Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.’’
            Berdasarkan hak yang dimiliki oleh Rasul saw, sebagaimana yang telah ditentukan Alquran, maka seandainya rasul menginginkan dan mau hidup bagaikan seorang raja, hidup dalam kemegahan materi,tentu bisa,namun beliau memilih hidup zuhud, sederhana bagaikan hidup seorang fakir, dan mau bergaul dengan mereka, seperti sahabatnya Abu Hurairah dan Abu Zar al-Ghifari.[27]
            Demikianlah gambaran kehidupan Rasul saw, memandang biasa terhadap kemewahan, hidup dalam prinsip hemat, meskipun beliau bukan seorang pertapa. Beliau juga mengerjakan  pekerjaan rumah, sangat bersahaja dan sedikit dalam makan, dan seringkali berpuasa. Kesederhanaannya dalam segala hal itu bukan karen pura-pura akan tetapi beliau memandang sama antara yang sederhana dan yang mewah. Perubahan status dan keadaan dirinya, dari seorang miskin, penggembala kambing dan sebagai penguasa suatu perniagaan. Kemudian mendadak menjadi seorang kaya raya akibat pernikahannya dengan Khadijah, dan meningkat  menjadi seorang Rasul tidak mengubah  sikap dan perilakunya. Kemenangan militernya tidak menyebabkan kesombongan maupun kemegahan yang dibuat-buat, karena kemenangan itu dipergunakan untuk tujuan Islam, tidak mementingkan diri sendiri. Di saat mencapai puncak kejayaannya sama sederhananya dengan ketika dalam keadaan keprihatinan. Sejauh menyangkut adat-istiadat ‘kerajaan’, beliau tidak senang jika suatu saat memasuki ruangan diberi suatu penghormatan protokoler yang dibuat-buat.
            Rasulullah saw bukanlah tipe laki-laki yang selalu membebaskan hawa nafsu. Sewajarnya jika beliau mengajurkan hidup sederhana kepada umatnya. Dan memang beliau sebagai uswatun hasanah, (contoh teladan yang baik) dalam segala hal dan segi kehidupan, baik sosial, politik dan ekonomi bagi masyarakat modern, seperti melakukan musyawarah, memberi jaminan keadilan sosial. Menanamkan rasa persamaan dan solidaritas sosial.[28]
            Selanjutnya, Rasul juga berupaya dalam pemecahan problem sosial dan moral, dimulai sejak sebelum diutus sebagai rasul, merenung dan bahkan ber­-tahannus serta  berkontemplasi mencari solusi problema yang sedang dihadapinya. Tidak sia-sialah usahanya itu, dengan datangnya hidayah  berupaya wahyu Ilahi. Berbagai upaya telah dilakukan untuk memecahkan problema sosial, seperti menghilangkan kebodohan dengan mengalakkan membaca dan berpikir, menghilangkan kemiskinan dengan ajaran semangat kerja, untuk menghilangkan perbudakan dengan berbagai motivasi religius untuk mengentas mereka yang diperbudak, dan untuk menghilangkan dekadensi moral dengan semangat tauhid dan beribadah kepada Allah swt. Setelah diangkat menjadi Rasul Allah, banyak kebijakan yang dilakukan, seperti menegakkan keadilan, mengadakan perjanjian, seperti Perjanjian Madinah dan Hudaibiyah, mengadakan hubungan bilateral dengan negara tetangga seperti Habasyah (Ethiopia), melakukan negosiasi tertentu dalam mengatur negara dengan dukungan wahyu dan feeling politiknya yang cukup mengagumkan.
            Dalam suatu riwayat, Rasul saw membuat gambaran perbandingan antara dunia dan akhirat, antara lain dinyatakan bahwa perbandingan antara keduanya bagaikan seseorang yang mencelupkan jari-jarinya ke dalam lautan, maka (dunia bagaikan air) yang melekat pada jari-jarinya itu.[29]Namun demikian, beliau tidak menganjurkan untuk meninggalkan dunia sama sekali. Karena yang disebut  zuhud bukan berarti menghalalkan yang haram dan meremehkan harta, akan tetapi zuhud mempunyai arti tebalnya keyakinan kepada Allah swt dari apa yang telah ada di tangannya.[30]
            Adapun penggambaran Rasul saw berkenaan dengan dunia bagaikan penjara bagi orang yang beriman, mempunyai arti bahwa kehidupan mereka selalu dibatasi dan tidak bisa hidup semena-mena, bagaikan orang yang hidup dalam sebuah penjara ; dan sebaliknya bagaikan surga bagi orang kafir (yang mengingkari adanya Tuhan atau perintah Tuhan), karena dunia adalah tempat yang menyenangkan, mereka bisa hidup seenaknya tanpa ada batasan yang mengikatnya. Harta kekayaan dan pangkat jabatan serta lain-lainya hanya sekedar sarana mencari tujuan akhir hidup seorang Muslim, yakni mencapai keridhaan Allah swt, dan materi (kebendaan) bukan tujuan mereka. Hidup qana’ah dan tawakkal secara aktif merupakan kunci kebahagiaan seseorang. Umat Islam diperintah bergegas melaksanakan shalat bila waktunya telah tiba, namun juga harus bertebaran kembali mencari rezeki bila shalat telah selesai, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S.al-Jumu’ah/62:9-10 :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ(9)فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ(10)
’’Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jum`at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.’’
2.      Praktek Tasawuf Para Sahabat
            Bila menelaah kehidupan dan ucapan para sahabat, maka kita akan dapati mereka bisa sebagai sumber yang dapat dipetik sebagai landasan kehidupan sufi, sebagainana yang diformulasikan oleh para sufi. Sebagai contoh kehidupan zuhud para sahabat, yakni kehidupan sederhana dan qana’ahnya. Para sahabat dalam perilaku mereka mengikuti jejak Rasul saw, bahkan mereka dipuji oleh Allah swt, sebagaimana dinyatakan dalam Q.S.at-taubah/9:100 ;
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ(100)
’’Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.’’
            Rasulullah saw juga memuji para sahabatnya dan menempatkan mereka dalam posisi yang istimewa, sebagaimana dikemukakan dalam suatu riwayat al-Baihaqi berikut ini :
            ’’ Sahabatku bagaikan bintang. Siapapun di antara mereka yang kamu ikuti, niscaya akan mendapat petunjuk.’’ (H.R.Baihaqi).[31]
            Dalam menafsirkan hadits tersebut di atas, at-Tusi mengemukakan bahwa, ‘mereka diumpamakan dengan nujum (bintang), bukan dengan kaukab (planet), karena istilah pertama lebih tepat, arti nujum dapat memberi petunjuk, baik di  laut maupun di darat, karena besar dan banyak sinarnya. Sedangkan kaukab adalah bintang kecil yang sinarnya tak bisa dipakai sebagai petunjuk.[32] Karena kedudukannya itulah, menurut pandangan at-Tusi, para sahabat dapat dijadikan suri teladan atau panutan yang baik bagi umat Islam yang datang kemudian dalam seluruh makna lahir dan batin.[33] Para sahabat Rasul saw itu cukup banyak, namun di sini akan dikemukakan beberapa saja yang dapat mewakili keperibadiannya yang bisa dicontoh oleh umat Islam.
            Pertama, Abu Bakar as-Shiddiq adalah sahabat Rasul saw yang menggantikan Rasul setelah wafatnya. Jadi, dia adalah khalifah pertama setelah Muhammad saw wafat. Pada dasarnya, Abu Bakar tidak berambisi dan tidak memburu kursi atau jabatan khalifah tersebut. Hal ini terbukti ketika di Balairung Saqifah Bani  Sa’idah, justru ia menunjuk ‘Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah. Dalam pemikirannya, jabatan itu diterimanya karena semata-mata ingin beribadah dan khidmah kepada kepentingan umat. Pada suatu saat ia pernah berkata kepada Ali dan Zubair, ‘Aku tidak mengharapkan pangkat. Aku tak memburunya, baik siang maupun malam. Aku tak penah meminta-minta kepada Tuhan lahir maupun batin untuk menjadi khalifah, penerimaanku ini semata untuk menghindarkan kekacauan. Urusan berat dan besar yang aku junjung hingga aku tak pernah bersenang diri. Rasanya tak sanggup aku memikulnya kalau bukan dengan kodrat dan bantuan Allah.[34]
            Gambaran di atas, memberikan indikator bahwa Abu Bakar mempunyai komitmen terhadap masalah sosial dan politik serta kepentingan bersama, sehingga ia rela mengorbankan kepentingan dirinya. Pada awal pemerintahannya saja banyak tantangan yang dihadapinya. Namun ia tegar dan sabar menghadapinya.
            Sikap tegar dan wajar dalam segala hal, nampak setelah ia dilantik sebagai khalifah. Kendatipun dia sebagai kepala negara atau khalifah, namun tetap sebagaimana sediakala, pergi ke pasar untuk berjualan demi menghidupi keluarganya.Suatu ketika dia bertemu dengan ‘Umar bin Khattab di tengah perjalanan menuju ke pasar. ‘Umar bertanya kepadanya, ‘hendak ke mana engkau hai Abu bakar ?’ Jawabnya, ‘Akan ke pasar untuk menjual pakaian ini !’ Engkau ke pasar untuk berjualan, sedang engkau adalah khalifah al-muslimin ?’ sahut ‘Umar. Abu Bakar menjawab, ‘Dari mana aku menghidupi keluargaku ?’ Maka ‘Umar bersama ‘Ubaidah ibn al-Jarrah mengatakan, «’Pulanglah, akan kami ambilkan sedikit dari Baitul Mal!’ Kemudian dia pulang.[35]
            Kedua,‘Umar bin Khattab, beliau adalah sahabat Rasul khalilfah kedua, menggantikan Abu Bakar setelah ia wafat. Dalam membandingkan antara khalifah-khalifah, Mu’awiyah berkata; ‘Adapun Abu Bakar, maka dia tidak menghendaki dunia dan dunia tidak menghendakinya, adapun ‘Umar maka dunia menghendakinya dan dia tidak menghendakinya, mereka hidup dalam keadaan zuhud. Adapun kita telah tenggelam dalam keduniaan.[36]
            ‘Umar bin Khattab paling banyak berlindung pada kemampuan dirinya dalam perkara-perkara yang sangat menyentuh hatinya dan dasar-dasar tabiatnya. Dalam kekhawatiran terpedaya kemewahan dan kesengasaraan, dia tidak menyerah kepada keinginan nafsunya, terhadap makanan, pakaian dan harta benda. Dan dia khawatir akan terpengaruh oleh keinginan anak dan keluarganya, sebab itu ia menghindari untuk memberikan mereka rezeki yang tidak diketahui sumbernya dan membiarkan mereka melepaskan unta-untanya yang kurus di antara unta-unta yang gemuk, karena khawatir akan digembalakan oleh manusia di tanah gembalaan mereka. Karena mereka putra Amirul Mu’minin dan unta itu adalah unta putra Amirul Mu’minin. Umar bin Khattab terkenal kebeningan jiwa dan kebersihan qalbunya, sehingga Rasul saw bersabda, ‘Allah telah menjadikan kebenaran pada lidah dan qalbu ‘Umar.’[37]
            Diriwayatkan bahwa pada suatu ketika, setelah Umar bin Khattab menjabat khalifah, dia berpidato dengan memakai baju yang bertambal 12 sobekan.[38]Sementara Abu al-Faid mengatakan terdapat 14 tambalan, di antaranya dari kulit bewarna merah.[39] Selanjutnya at-Tusi mengemukakan :
            ’’Dalam berbagai hal ia berupaya memakai pakaian bertambal, bersikap garang, meninggalkan hawa nafsu, meninggalkan barang yang syubhat, tegar  dalam menegakkan kebenaran, menyamaratakan hak-hak orang yang dekat ataupun yang jauh, dan tegar berpegang pada ketaatan.’’[40]
            Perilaku sederhananya Umar bin Khattab itu tidak hanya untuk dirinya sendiri, akan tetapi dia berupaya agar orang lain hidup sederhana pula. Suatu ketika ada orang yang berlebihan dalam membeli daging, maka ia berkata kepadanya, ‘Alangkah  baiknya jika engkau melipat perutmu untuk tetangga dan familimu ?’[41]
            Selanjutnya, bila melihat kesederhanaan hidup ‘Umar bin Khattab serta cara berpakaian dan kualitas makanan,pernah suatu ketika anaknya, Hafsah menyarankan agar berpakaian yang lebih baik dan makan yang lebih bekualitas, sebab menurut Hafsah, Allah telah memberi kelonggaran rezeki dan kebaikan yang  banyak. ‘Umar menjawab, ‘Aku berbeda dengan pandanganmu, ingatlah engkau penderitaan hidup yang dialami oleh Rasul saw dan Abu Bakar ?’ Ucapan itu selalu diulang-ulangnya, sehingga Hafsah menangis. Kemudian ‘Umar berkata kepadanya, ‘Sungguh aku mengatakan demikian, ‘Demi Allah, seandainya aku mampu, niscaya akan meniru kehidupan mereka (Rasul saw dan Abu Bakar) yang sangat sengsara, dengan suatu harapan aku bersama mereka bisa menemukan suatu kehidupan yang enak dan membahagiakan.’[42]
            ‘Umar  bin Khattab mengajak sahabat yang lain agar memurnikan niat hanya untuk Allah swt dalam segala amal, jangan  dicampuri dengan urusan duniawi. Suatu ketika seorang sahabat meminta izin kepadanya untuk ikut memerangi kerajaan Romawi dann Persia, dengan suatu alasan pengalaman Rasul saw. ‘Umar mencegahnya untuk ikut berperang dengan alasan bahwa pengalaman perangnya bersama Rasul saw itu sudah memadai dan mengangkat derajatnya. Perang pada masa itu lebih baik daripada perang pada masa kini. Sesungguhnya alasan Umar  itu sekedar basa-basi, yang menjadi inti persoalan adalah sahabat tadi ingin mendapatkan harta kekayaan yang berasal dari rampasan perang. ‘Umar selanjutnya mengatakan padanya, ‘Sesungguhnya lebih baik engkau tidak terpengaruh dengan dunia dan dunia pula jangan sampai mengotorimu.‘’[43]
            Ketiga, ‘Usman bin ‘Affan, adalah khalifah ketiga menggantikan setelah wafatnya ‘Umar bin Khattab. Pada saat’Usman menanjak dewasa, dia menjadi saudagar kain. Perdagangan ini membuat dia menjadi kaya raya. Dengan kekayaan ini dia sanggup dan siap sedia membantu rakyat. Dia baik hati dan pemurah. Dia bisa menyediakan sejumlah uangnya untuk menolong orang-orang yang terlibat dalam kesukaran. Masyarakat Makkah sangat menghargainya.[44]
            Berkenaan dengan sikapnya terhadap duniawi, banyak sekali riwayat yang menunjukkannya. ‘Usman mempunyai anggapan bahwa harta mempunyai nilai sosial yang harus di-tasarruf-kan kepada kepentingan umum. Dia pernah mengatakan, ‘’Seandainya aku tidak khawatir bahwa dalam Islam terdapat lobang yang dapat kututup dengan harta ini, pasti aku tidak akan mengumpulkannya.[45]
            Prinsip dasar  hidup ‘Usman tersebut, benar-benar dibuktikan dalam perilakunya. Ketika pengungsi-pengungsi makkah sampai di Madinah, mereka mendapatkan kesukaran untuk memperoleh air minum. Di sana hanya ada satu sumur, yaitu sumur rumah kepunyaan orang Yahudi. Orang ini tidak mengizinkan mereka yang dahaga itu untuk mengambil air dari sumur tersebut. Rasul saw menawarkan kepada para sahabat, siapa yang mau berkorban membelil sumur ini guna kepentingan kaum muslimin ? Allah akan membalas pahala dengan satu pancuran di surga. Segera ‘Usman bin ‘Affan menjawab, ‘Saya siap membelinya.’’ Dan selanjutnya diberikan kepada umat Islam.[46]
            Keempat,Ali bin Abi Thalib, adalah khlaifah keempat menggantikan ‘Usman bin Affan. Dalam perjalanan hidupnya, dia selalu bersama Rasul saw, baik situasi suka maupun duka. Ketika Rasul saw berhijrah ke Madinah dia mendapat tugas menempati tempat tidur Rasul saw, dia selalu mengikuti perang kecuali peang Tabuk, yaitu ketika dia diperintah bersama wanita-wanita dan anak-anak dan dengan itu dia tidak diperbolehkan mengikuti perang Tabuk, banyak isu yang muncul bahwa Nabi saw tidak senang kepada ‘Ali r.a., maka Ali menanyakan kepada beliau, kemudian dijawab oleh Rasul saw, ’’Tidak relakah engkau menempatkan posisi harun dan Nabi Musa as, hanya saja tidak ada nabi sesudahku.’’[47]
            Ali bin Abi Thalib memiliki perilaku dan sikap hidup yang sederhana, sama seperti sahabat rasul lainnya. Berkenaan dengan hidup zuhud, dia mengemukakan, ‘Tidak banyak melamun, bersyukur ketika mendapatkan nikmat dan wara’ (menjaga diri dari hal-hal yang syubhat dan haram).[48] Oleh karena itulah dia sangat mengkhawatirkan kepada umatnya atas dua hal, yakni mengikuti hawa nafsu dan panjangnya angan-angan. Keduanya mengandung bahaya. Yang pertama akan menghambat jalan menuju al-Haq (Tuhan), dan yang kedua akan melupakan akhirat. Selanjutnya ‘Ali bepesan, sesungguhnya dunia akan sirna dengan cepat, tidak tersisakan kecuali bagaikan bekas air dalam belanga yang ditumpahkan airnya..[49]
            Lebih lanjut Ali menyatakan, ‘Dunia bagaikan bangkai, barangsiapa yang menghendakinya, diharapkan bersabar hidup bersama anjing-anjing.’’ Menurut dia, kebaikan bukan berarti banyak anak dan harta, akan tetapi banyak ilmu, kemurahan hati dan selalu beribadah kepada Allah. Jika berlaku baik, memuji Allah, dan apabila berbuat kejelekan, dia memohon ampunan-Nya. Tidak ada kebaikan sedikitpun bagi dunia kecuali bagi dua orang, yakni seorang yang berbuat salah kemudian bertaubat, dan seorang yang semangat menjalankan kebaikan dan tidak menganggap sedikit amal perbuatan yang terdapat taqwa di dalamnya.[50]
            Cara berpakaiannya sangat sederhana, terdiri dari bahan yang kasar, misalnya dia pernah memakai sarung kasar seharga 5 dirham. Abu Nuwwar, seorang penjual pakaian jadi, menceritakan bahwa Ali bin Abib Thalib pernah datang berasama pembantunya untuk membeli dua baju. Ali mengatakan kepada pembantunya, ‘Pilih salah satunya yang kau sukai,’ kemudian dipilihnya, ‘Ali memakai yang lain dan memakainya.’[51]
            Demikianlah praktek sufi para sahabat, yang dalam hal ini dapat dilihat sahabat Rasul yang empat, yang dikenal dengan khulafa ar-Rasyidin. Sikap dan perilaku mereka patut dijadikan teladan, sederhana tidak berlebih-lebihan dan tetap taat kepada Allah dalam situasi, kapan dan di manapun mereka berada.


3.      Praktek Tasawuf Tabi’in
            Benih-benih kehidupan rohaniah tidaklah sekedar terpancang kuat pada qalbu Nabi maupun al-Khulaf ar-Rasyidun saja, tetapi juga dimiliki oleh sahabat lain yang bukan khalifah. Ajaran-ajaran esoteris Islam yang telah dipraktekkan dan diajarkan oleh Rasulullah saw yang kemudian  diikuti oleh para sahabat ini, juga tampak jelas dalam kehidupan dan ucapan para tabi’in; oleh karena itu, pola kehidupan dan ucapan para tabi’in juga dipandang oleh ahli sufi sebagai rujukan ajaran moral dan ibadah mereka. Di antara para tabi’in yang terkenal dalam kehidupan kerohaniaannya antara lain; Hasan al-Basri (22-110 H/642-728 M), Malik bin Dinar (w.130 H/747 M), Ibrahim bin Adham (w. 161 H/777 M), Rabi’ah al-Adawiyah (w.185 H/801 M), Abu Hasyim as-Sufi (w. 161 H/777 M), Sufyan bin Sa’id as-Sauri (97-161 H), Daud at-Thai (w. 165 H), Syaqiq al-Baklkhi (w. 194 H/810 M), dan lain-lain. Di sini tidak dikemukakan satu persatu riwayat hidupnya, hanya saja akan dijelaskan esensi dari moral para tabi’in yang patut ditiru, yang oleh para sufi sebagai rujukan dalam pengamalan sehari-hari. Pembahasan praktek tasawuf tabi’in yang dikemukakan pada tulisan ini diwakili oleh Ibrahim bin Adham.
            Ibrahim bin Adham (w. 161 H/777 M) merupakan tokoh dan sosok yang memiliki ciri khusus. Ia dikisahkan secara legendaries (asatir) yang menyerupai Budha, dalam hal keduanya sebagai seorang raja yang diliputi oleh gemerlapnya kehidupan duniawi kemudian meninggalkannya. Hampir semua penulis, seperti Abu Nu’aim dalam Hilyah al-Auliya, at-Thusi dalam al-Luma’, al-Qusyairi dalam ar-Risalah al-Qusyiariyyah, Ihsan Ilahi Zahir dalam at-Tasawwuf al-Mansya’ wa al-Masadir, menjelaskan bahwa Ibrahim bin Adham adalah seorang pemimpin (amir) anak raja Balkh yang lari dari istana. Suatu ketika sedang mengejar kijang, sehingga jauh dari teman-temannya, ketika kijang itu dekat dengan dia, hati nurani Ibrahim bertanya kepada dirinya  sendiri; “Adakah untuk ini kau diciptakan di alam ini?” Dari  sini maka Ibrahim taubat dan ber’uzlah serta hidup menyendiri dan mencari makan dari karya tangannya sendiri. Refleksi kehidupan Ibrahim yang demikian, banyak dijumpai para penulis yang mengatakan bahwa dia dipengaruhi oleh kehidupan Budhisme, sebab kehidupan seperti ini tidak dijumpai dalam periode pertama Islam. Hal ini adalah logis, karena Balkh merupakan daerah di mana Budhisme berkembang di kala itu. Atau setidaknya, cerita tentang Budha telah mempengaruhi lingkungan Islam pada masa ‘Abbasiyyah. Meski hal ini dibantah oleh ‘Abd al-Hakim Hasan.[52]

            Bila ditelaah dari sisi para penulis modern, seperti at-Taftazani dan an-Nasysyar menilai bahwa cerita berkenaan dengan Ibrahim bin Adham memiliki banyak versi dan variasi.[53]An-Nasysyar mencatat ada empat versi sebab taubat Ibrahim bin Adham. Pertama, sebab bisikan hati nurani ketika mengejar kijang tersebut; kedua, karena memikirkan kehidupannya yang tidak diliputi oleh kesulitan, tiba-tiba dia melihat dari jendela istananya seorang laki-laki yang fakir, maka pakaian kebesarannya dilepas dan dibuang jauh-jauh, diganti dengan pakain peminta-minta yang lusuh, dia meninggalkan istana, menjauhkan diri dari keluarga (anak dan istri), dan hidup di pandang pasir; ketiga, an-Nasysyar dengan mengutip pandangan Goldziher, bahwa Ibrahim mempunyai cerita yang sama dengan Jalal ad-Din ar-Rumi; “Suatu ketika para penjaga istana Ibrahim bin Adham mendengar suara gaduh dan gemuruh di atas atap istana, maka dilihat orang-orang sedang mencari untanya yang hilang. Para penjaga itu membawa mereka di hadapan Ibrahim. Ketika mereka ditanya oleh Ibrahim, “apa mungkin terjadi seorang mencari untanya di atas atap rumah?” Mereka menjawab, “Kami hanya sekedar mengikuti apa yang engkau lakukan, yakni berusaha mencari atau bertemu Allah dengan cara duduk di atas singga sana, adakah seseorang yang demikian itu bisa mendekatkan diri kepada-Nya,” dari peristiwa ini, maka Ibrahim lari dari istananya dan tidak seorang pun yang melihatnya sejak itu. Kemudian yang keempat, Ibrahim bin Adham bertemu dengan pendeta, Sam’an atau yang lain, lalu dia bertaubat.[54]
            Nicholson berpandangan bahwa dia tidak menjumpai pengaruh Masehi atau lain terhadap tasawuf kecuali sedikit.[55] Namun dalam bukunya, as-Sufiyah fi al-Islam, menyatakan bahwa cerita Ibrahim bin Adham adalah pengulangan terhadap kisah Budha.[56] Namun, an-Nasysyar sendiri menyatakan bahwa, Ibrahim bin Adham bukan seorang anak raja atau raja, akan tetapi seorang kaya raya bernama Ibrahim bin mansur. Dia hidup dalam kemewahan dan gemerlapnya dunia, kemudian beguru bersama pembantunya.[57]
            Selanjutnya, dalam bagian lain an-Nasyar mengemukakan bahwa dia menjumpai kisah yang menyerupai Budha bukan di Balkh akan tetapi di Syam. Anehnya Ibrahim bin Adham sendiri yang mengisahkannya ketika dia melewati sebuah kuburan (teletak di padang pasir di wilayah Syam), maka dia behenti sejenak, menangis dan penuh rasa kasih. Pembantunya yang bernama Ibrahim bin Basysyar memohon penjelasan tentang kejadian tersebut. Maka diceritakan oleh Ibrahim bin Adham bahwa ini adalah kuburan Hamid bin Jabir, Amir kota ini. Dia tenggelam dalam lautan dunia kemudian dientaskan dan diselamatkan oleh Allah swt! Dalam suasana keterpesonaannya terhadap fitnah dunia, dia tertidur, dan bermimpi ada seorang laki-laki yang berdiri di atas ranjang, sambil membawa buku itu bertuliskan emas yang berisi :
            Jangan memilih yang rusak daripada yang kekal, dan jangan tergiur dengan kerajaan, kekuasaan, pembantu, hamba sahaya dan kelezatan syahwatmu. Suatu ketika dalam kebesaran, namun pada saat yang lain terjadi dalam kemelaratan. Apa yang dapat dimiliki, suatu saat akan hancur. Kegembiraan dan kesenangan bisa berubah menjadi suatu penipuan. Suatu hari yang dapat dipercayai sampai esok adalah bergegas menuju Allah swt, inilah makna dalam Q.S.Ali imran/3:133. Setelah itu terbangunlah dia dan berkata: “Ini adalah peringatan dan nasihat dari Allah swt. Maka keluarlah dia dari kerajaannya tak seorang pun mengetahuinya. Dia menuju sebuah gunung dan beibadah di sana.[58]
            Dapat dikatakan di sini, bahwa cerita atau kisah Ibrahim bin Adham fiktif dan legendaris. Hal ini dilihat dari versi lain bahwa ayahnya seorang kaya dari Balkh, seorang ahli hadis. Pada waktu itu hadis sangat diperhatikan oleh umat Islam. Tidak mustahil bila ayahnya selalu dikunjungi oleh orang banyak, baik kaya maupun miskin. Ditambah lagi dia seorang yang terkenal kesalehannya.
            Dengan demikian, Ibrahim bin Adham hidup dalam kecukupan, tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang sangat memperhatikan terhadap hadis, dan dia sendiri memperhatikan ibn al-Mubarak menyatakan : ‘Saya dan Ibrahim keluar dari Khurasan bersama 60 pemuda mencari ilmu.[59]Menurut penafsiran an-Nasysyar yang dimaksud  dengan ilmu di sini adalah ilmu hadis.[60]Dia  belajar hadis kepada ayahnya, kemudian kepada beberapa ulama tabi’in, antara Malik bin Dinar, dan Sufyan as-Sauri. Nampaknya pengembaraannya mencari hadis tidak memuaskan hatinya, namun justru bertemu dengan dua guru tersebut yang juga sebagai ahli spiritual memberi kesan kepada Ibrahim bin Adham, meskipun pengaruh Basrah lebih dominan daripada pengaruh Kufah.[61]
            Bila ditelaah dalam kehidupannya, Ibrahim bin Adham dikenal seorang yang mementingkan orang lain, tanpa pandang agamanya. Dan hatinya tidak terpikat oleh harta. Suatu ketika untanya dijual untuk biaya pengobatan masyarakat dan ketika kenderaannya terjual, dia memanggul barang beberapa kilometer sampai ke Iraq.
            Selanjutnya, dalam hidupnya Ibrahim bin Adham tidak menghiraukan celaan dan cacian orang lain, bahkan hal tersebut menjadikan dia bahagia. Dia menceritakan bahwa dalam hidupnya hanya menemui tiga kebahagiaan, pertama, ketika dia berada di atas perahu, kebetulan bersama orang yang menertawakannya, dia mengatakan bahwa Ibrahim adalah pencari Balkh negeri Turki, kemudian orang itu memegang rambut Ibrahim dan menggeleng-gelengkannya. Ibrahim gembira dengan itu, sebab orang tersebut menganggapnya sebagai seorang  yang paling hina.Kedua, ketika dia sakit dan tidur di dalam masjid, ketika mu’azzin masuk ke dalamnya langsung memerintahkannya keluar.Ketika dia tidak mampu berdiri, kaki Ibrahim dipegangnya dan diseret keluar.Ketiga, ketika dia di Syam rambut kepalanya banyak kutunya, sehingga rambutnya tak bisa dibedakan dengan kutu itu.[62]
            Terlepas dari berbagai versi cerita dan kisah Ibrahim bin Adham, yang jelas, jika dikaitkan dengan kezuhudannya, maka tidak bisa terlepas dari proses “laku”-nya dalam mencapai tataran spiritual tertinggi, yakni ma’rifah melalui maqam zuhud. Dia berkata dalam sebuah syair, “Jadikanlah Allah sebagai teman dan jauhkan manusia di sisi-Mu.”[63]
            Ibrahim bin Adham berusaha mendidik dirinya sendiri, yakni mengarahkan nafsunya. Dia berkata, jihad yang paling berat (jihad al-akbar) adalah jihad terhadap hawa nafsu.Barangsiapa mampu mengendalikannya, berarti telah terbebas dari bahaya dunia, dan terjaga dari kejelakannya.[64]Dunia baginya adalah sesuatu yang dapat menutup (hijab) hati nurani (qalb) dari kebenaran dan kemakrifatan.Katanya, “Hati nurani akan tertutup dengan tiga hal, senang harta, susah tehadap tiadanya dunia, dan senang tehadap pujian.”[65] Selanjutnya, ketika ia ditanya; “Mengapa hati nurani tertutup dengan dunia dari ma’rifatullah?” jawabnya, “Karena senang terhadap apa yang dibenci Allah yaitu dunia yang menipu, permainan dan kesia-siaan dan meninggalkan amal untuk persiapan akhirat, tempat yang kekal abadi.”[66] Hal ini perhatikan Q.S.al-Hadid/:21:
سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ(21)
Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.
            Demikianlah perilaku dan kehidupan Ibrahim bin Adham dapat dijadikan rujukan moral kemanusiaan, bagi kalangan sufi pada generasi berikutnya. Sikap dan perilaku zuhudnya itu banyak dijadikan model bagi para sufi belakangan.

C.  Korelasi Ibadah, Etos Kerja,  dan Profesionalisme dengan Tasawuf
1.      Korelasi Ibadah dengan Tasawuf
            Ibadah dalam ajaran Islam adalah merupakan hal yang sangat fundamental. Setiap Muslim harus melaksanakannya. Bahkan, Alquran sendiri menyatakan dengan tegas, bahwa tidaklah diciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana tersebut dalam Q.S.az-Zariyat/51:56 ;
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ(56)
’’Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.’’
            Pada dasarnya iman seseorang dikatakan tidak sempurna kalau tidak disertai dengan pelaksanaan ibadah, amal saleh dan akhlak mulia. Pemahaman seperti in merupakan pendekatan sufistik. Sebab ilmu kalam atau teologi Islam hanya membicarakan iman, dan fikih Islam hanya membicarakan aspek hukum dalam hubungan manusia dengan Tuhan dan manusia. Sedangkan tasawuf pada  intinya mengajarkan kepada kita untuk melakukan hubungan yang baik dengan Tuhan dan hubungan dengan sesama manusia khususunya, dan alam pada umumnya. Hubungan vertikal dengan Tuhan dijalankan dengan melaksanakan ibadah dan hubungan dengan manusia dan alam pada umumnya dengan melakukan amal saleh dan akhlak yang mulia.
            Dapat dikatakan bahwa ibadah merupakan salah satu kelanjutan dari suatu sistem iman yang logis. Kalau tidak ada  ibadah, maka iman hanya akan menjadi rumusan-rumusan abstrak tanpa ada kemampuan memberi dorongan batin kepada individu untuk berbuat sesuatu dengan tingkat ketulusan yangsejati. Karena itu, iman harus dilembagakan dalam peribadatan sebagai ekspresi perhambaan seseorang kepada pusat makna dan tujuan hidupnya, yakni Tuhan. Sebagai sikap batin iman bisa berada pada tingkat keabstrakan yang sangat tinggi, yang sulit ditangkap hubungannya dengan perilaku nyata sehari-hari.
            Bagi agama samawi, seperti Islam, Tuhan tidak dipahami sebagai pada benda-benda (totemisme) atau upacara-upacara (sakramentalisme) seperti pada beberapa agama lain. Dengan kata lain, selain bersifat serba transendental dan maha tinggi, menurut persepsi agama-agama samawi Tuhan juga bersifat etis, dalam arti bahwa Dia menghendaki manusia bertingkah laku yang akhlaki, etis, bermoral.
            Untuk menengahi antara iman yang abstrak dan tingkah laku atau amal perbuatan yang kongkrit itu, maka diperlukan ibadah. Sebagai kongkritisasi iman, ibadah mengandung makna intrinsik yang merupakan pendekatan kepada Tuhan. Dalam ibadah seseorang hamba Tuhan merasakan kehampiran spiritual kepada khalik-Nya. Pengalaman keruhaniaan itu merupakan sesuatu yang dapat disebut sebagai inti rasa keagamaan atau religiusitas, yang dalam pandangan mistis seperti pada kalangan kaum sufi memiliki tingkat keabsahan yang tertinggi. Bahkan kaum sufi itu cenderung melihat bahwa rasa keagamaan harus selalu berdimensi esoteris (batiniah), dengan penegasan bahwa setiap tingkah laku eksoteris (lahiriah) absah hanya jika mengantar seseorang kepada pengalaman esoteris (batiniah) ini.
            Selain itu ibadah juga mengandung makna instrumental, karena ia bisa dilihat sebagai usaha pendidikan pribadi dan kelompok ke arah komitmen atau pengikatan batin kepada tingkah laku bermoral.asumsinya adalah melalui ibadah seseorang yang beriman memupuk dan menumbuhkan kesadaran individul dan sekaligus kolektifnya akan tugas-tugas pribadi dan sosialnya mewujudkan kehidupan bersama yang sebaik-baiknya di dunia ini.
            Adapun akar kesadaran tersebut di atas, adalah keinsyafan yang mendalam akan pertanggungjawaban semua pekerjaan kelak di hadapan Tuhan dalam pengadilan Ilahi yang tak terelakkan, yang di situ seseorang tampil mutlak hanya sebagai pribadi. Karena sifatnya pribadi (yakni sebagai hubungan antara seorang hamba dan Tuhannya) ibadah dapat menjadi instrumen pendidikan moral dan etik yang amat mendalam dan efektif. Dalam Alquran dengan jelas diungkapkan harapan bahwa salah satu efek terpenting ibadah adalah tumbuhnya semacam solidatitas sosial. Bahkan ditegaskan bahwa tanpa tumbuhnya solidaritas sosial, maka ibadah bukan saja bernilai sia-sia dan tidak membawa kepada keselamatan, namun malah mendapat celaka, sebagaimana ditegaskan dalam Q.S.al-Ma’un/107 :1-7 ;

أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ(1)فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ(2)وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ(3)فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ(4)
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ(5)الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ(6)وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ(7)
’’Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anakyatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.’’
            Dalam suatu Hadis Rasul saw, menegaskan bahwa keimanan memiliki hubungan dengan ibadah secara umum. Ibadah, bisa dimaksudkan kepada suatu pekerjaan yang baik yang dianjurkan oleh Allah dan rasul-Nya serta dengan mengharap ridha Allah. Perhatikan hadis berikut ini :
 حَدِيثُ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ .
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia berbicara yang baik atau diam. Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat, maka hendaklah ia memuliakan tamunya.(H.R.Bukhari dan Muslim)
            Berdasarkan paparan di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa ibadah dapat disebut sebagai bingkai dan pelembagaan iman, yang membuatnya mewujudkan diri dalam bentuk-bentuk tingkah laku dan tindak tanduk nyata. Selain itu ibadah juga berfungsi sebagai  usaha pemelihara dan penumbuh iman itu sendiri. Sebab iman bukanlah perkara statis, yang tumbuh sekali untuk selamanya. Sebaliknya, iman bersifat dinamis, yang mengenal  irama pertumbuhan negatif (menurun, berkurang, melemah) maupun pertumbuhan positif (menaik, bertambah, menguat) yang memerlukan usaha pemeliharaan dan penumbuhan terus-menerus.

2.      Korelasi Etos Kerja dengan Tasawuf
            Adapun salah satu karakteristik dari etos kerja manusia, adalah ia merupakan pancaran dari sikap hidup mendasar pemiliknya terhadap kerja. Menurut Ziauddin Sardar,  suatu nilai (Value) adalah serupa dengan konsep dan cita-cita yang menggerakkan perilaku individu dan masyarakat.[67] Senada dengan itu Abdus Satar Nuwair juga menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang diarahkan dan terpengaruh oleh keyakinan yang mengikatnya. Salah atau benar, keyakinan tersebut niscaya mewarnai perilaku orang bersangkutan.[68] Dalam konteks ini selain dorongan kebutuhan dan aktualisasi diri, nilai-nilai yang dianut, keyakinan atau ajaran agama (termasuk di dalamnya nilai-nilai tasawuf) tentu dapat pula menjadi sesuatu yang berperan dalam proses terbentuknya sikap hidup mendasar  ini.[69] Berarti kemunculan etos kerja manusia didorong oleh sikap hidup sebagai tersebut di atas baik disertai kesadaran yang mantap maupun kurang mantap. Sikap hidup yang mendasar itu menjadi sumber motivasi yang membentuk karakter, kebiasaan atau budaya kerja tertentu.
            Oleh karena latar belakang keyakinan dan motivasi berlainan, maka cara terbentuknya etos kerja yang tidak bersangkut paut dengan agama atau non-agama dengan sendirinya mengandung perbedaan dengan cara terbentuknya etos kerja yang berbasis ajaran agama, dalam hal ini etos kerja Islami. Tentang bagaimana etos kerja dapat diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari, kenyataannya bukan sesuatu yang mudah. Sebab, realitas kehidupan manusia  bersifat dinamis, majemuk, berubah-ubah, dan antara satu dengan lainnya punya latar belakang, kondisi social dan lingkungan yang berbeda. Perubahan sosial-ekonomi seseorang dalam hal ini juga dapat mempengaruhi etos kerjanya.[70]
            Manusia adalah makhluk yang keadaannya paling kompleks.Ia merupakan makhluk bilogis seperti binatang, tetapi ia juga makhluk intelektual, social dan spiritual. Lebih dari itu manusia adalah makhluk pencari Tuhan,[71] dan berjiwa dinamis.
            Manusia memang makhluk yanag sangat kompleks.Ia memiliki rasa suka, benci, marah, gembira, sedih, berani, takut, dan lain-lain. Ia juga mempunyai kebutuhan, kemauan, cita-cita, dan angan-angan. Manusia mempunyai dorongan hidup tertentu, pikiran dan pertimbangan-pertimbangan dalam menentukan sikap dan pendirian. Selain itu,ia mempunyai lingkungan pergaulan di rumah atau tempat kerjanya. Realitas sebagaimana tersebut di atas tentu mempengaruhi dinamika kerjanya secara langsung atau tidak. Sebagai missal rasa benci yang terdapat pada seorang pekerja, ketidakcocokan terhadap atasan atau teman satu tim, keadaan seperti itu sangat potensial untuk menimbulkan dampak negative pada semangat, konsentrasi, dan stabilitas kerja orang yang bersangkutan. Sebalinya, rasa suka pada pekerjaan, kehidupan keluarga yang harmonis, keadaan sosio kultural, sosial ekonomi dan kesehatan yang baik, akan sangat mendukung kegairahan dan aktivitas kerja. Orang yang bekerja sesuai dengan bidang dan cita-cita dibandingkan dengan orang yang bekerja di luar bidang dan kehendak mereka, niscaya tidak sama dalam antusias dan ketekunan kerja masing-masing.[72] Sejumlah pakar psikologi menyatakan, perilaku adalah interaksi antara faktor kepribadian manusia dengan faktor-faktor yang ada di luar dirinya atau faktor lingkungan.[73]
            Demikianlah etos kerja manusia dapat dipengaruhi oleh dimensi individual, sosial dan lingkungan alam. Bagi orang yang beragama adalah sangat memungkinkan etos kerjanya memperoleh dukungan kuat dari  dimensi transcendental. Musa Asy’arie mengemukakan bahwasannya etos kerja manusia berkaitan dengan dimensi individual bila dilatarbelakangi oleh motif yang bersifat pribadi di mana kerja menjadi cara untuk merealisasikannya. Kalau nilai sosial yang memotivasi aktivitas kerjanya seperti dorongan meraih status dan penghargaan masyarakat, maka ketika itu etos kerja orang tersebut sudah mendapat pengaruh kuat dan tidak terpisahkan dari dimensi sosial. Faktor lingkungan alam berperan bila keadaan alam, iklim dan sebagainya berpengaruh terhadap sikap kerja orang itu. Sedangkan dimensi transcendental (termasuk di dalamnya pengaruh tasawuf) adalah dimensi yang melampaui batas-batas nilai materi yang mendasari etos kerja manusia hingga pada dimensi ini kerja dipandang sebagai ibadah.[74] Jalaluddin secara lebih tegas mengemukakan agama dapat menjadi sumber motivasi kerja  karena didorong oleh rasa ketaatan dan kesadaran ibadah.[75] Namun, harus ditegaskan bahwa pemahaman parsial terhadap ajaran agama (baca:Islam) juga dapat berpengaruh negative terhadap etos kerja.
            Di sini, harus ditekankan bahwa, etos kerja terpancar dari sikap hidup mendasar manusia terhadap kerja. Konsekuensinya pandangan hidup yang bernilai transenden (seperti nilai-nilai tasawuf yang bersumber Alquran dan as-Sunnah) juga dapat menjadi sumber motivasi yang berpengaruh serta ikut berperan dalam proses terbentuknya sikap itu. Nilai-nilai transenden akan menjadi landasan bagi berkembangnya spiritualitas sebagai salah satu faktor yang efektif membentuk kepribadian. Etos kerja tidak terbentuk oleh kualitas pendidikan dan kemampuan semata.Faktor-faktor yang behubungan dengan inner life, suasana batin dan semangat hidup yang terpancar dari keyakinan dan keimanan iktu menentukan pula.[76] Oleh karena itu, kehidupan sufi (yakni pengamalan tasawuf) jelas dapat menjadi sumber nilai dan sumber motivasi yang mendasari aktivitas hidup, termasuk etos kerjanya. Dalam Alquran dengan jelas memotivasi kita agar mau berusaha merubah kondisi kita ke arah yang lebih baik, tanpa ada usaha untuk merubah sikap dan perilaku kita sendiri Allah tidak akan merubahnya. Perhatikan Q.S.ar-Ra’d/13:11;

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
Berkenaan dengan etos kerja ini, dalam suatu hadis Rasul saw bersabda :

إِنَّ اللّهَ تَعَالَى يُحِبُّ أَ نْ يَرَى عَبْدَهُ تَعِبًا مِنْ طَلَبِ. راه الديلمي
“Sesungguhnya Allah Ta’ala senang melihat hamba-Nya letih dan payah karena bekerja mencari (rezeki) yang halal.”(H.R.ad-Dailami).
            Menurut pandangan Muhammad Iqbal, keberagamaan seseorang dibagi kepada tiga fase, yaitu, fase keyakinan, fase pemikiran,dan fase penemuan.[77]Sedangkan Musa Asy’arie menegaskan bahwa jika pembicaraan etos kerja dikaitkan dengan ajaran agama, maka persoalannya adalah pada penghayatan yang mana dari tiga fase tersebut orang itu berada.[78] Pada tingkat penemuanlah kiranya orang mukmin menampilkan sikap hidup seperti, digambarkan oleh puisi Iqbal berikut ini :
                        The sign of kafir is that he is lost in the horizons
                        The sign of mu’min is that horizons are lost in him.[79]
                        (Tanda orang kafir adalah kehilangan horizon
                        Tanda orang mukmin adalah horizon kehilangan dirinya)
            Dapatlah dikatakan bahwa motivasi yang berperan dalam proses terbentuknya etos kerja ternyata tidak tunggal, melainkan lebih dari satu bahkan bisa banyak dan saling berinteraksi antara satu dengan lainnya. Dengan demikian ia bersifat kompleks dan dinamis. Dalam Alquran ditegaskan bahwa suatu kaum tidak akan berubah kecuali kaum itu sendiri merubah dirinya, sebagaimana terdapat dalam Q.S.ar-Ra’d/13:11:
إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

            Adapun faktor-faktor yang dapat berpengaruh dalam proses itu jelas tidak sedikit meliputi faktor dalam dan faktor luar. Sistem keimanan atau aqidah islami, sebagai keyakinan dan pengamalan kehidupan sufi yang benar yang menjadi landasan bagi orang Islam, secara teoritis memang berpotensi besar untuk menjadi sumber motivasi etos kerja Islami yang selalu segar dan tak kunjung kering. Ia berpotensi besar menjadi dinamisator yang mengarahkan seluruh karakteristik etos kerja yang bernuansa nilai-nilai transcendental menuju pada terbentuknya etos kerja itu. Ada yang perlu diperhatikan, bahwa di antara penghambat etos kerja, seperti kemalasan, kelemahan hati, pengaruh hawa nafsu yang merusak kepribadian, dapat dihindari dengan mempraktekkan kehidupan sufi. Dengan demikian, jelaslah bahwa etos kerja memiliki korelasi yang jelas dengan tasawuf. Dengan mempraktekkan tasawuf yang berdasarkan Alquran dan as-Sunnah, maka akan memungkinkan etos kerja akan semakin baik. Sebab, semua kerja diorientasikan kepada Tuhan, jadi  motivasinya sangat jelas, pengawasannya juga melekat setiap saat, dengan keyakinan Allah Maha Melihat, sehingga untuk melakukan penyimpangan akan terhindarkan.

3.      Korelasi Profesionalisme dengan Tasawuf
            Profesional adalah mengerti akan tugas (sesuai dengan keahlian/bidangnya) dan bertanggung jawab (amanah), kemudian bersunggguh-sungguh mengerjakannya dengan kualitas yang terbaik (ahsan). Dengan kerja profesional, maka akan didapatkan hasil yang maksimal. Maka dapat dipahami bahwa profesionalisme adalah hal-hal  yang berkaitan dengan bidang kerja yang telah menjadi keahliannya serta dikerjakan secara maksimal dan bertanggung jawab.
            Bila ditelaah lebih lanjut manusia adalah homo faber, yakni makhluk bekerja.[80] Kerja merupakan cara langsung dalam rangka memenuhi tuntutan yang bersifat pembawaan.[81] Menurut al-Faruqiy, manusia memang diciptakan untuk bekerja. Kerjanya adalah ibadahnya. Tidak ada kesuksesan, kebaikan, manfaat atau perubahan dari keadaan  buruk menjadi lebih baik kecuali dengan kerja menurut bidang masing-masing. Terhadap mereka yang enggan bekerja Al-Faruqiy menyatakan, mereka tidak mungkin menjadi Muslim yang baik.[82]
            Bila kerja atau perbuatan yang dalam Islam dikenal dengan amal, dikaitkan dengan iman, maka justru merupakan manifestasi dan bagian dari pengamalan Islam itu sendiri. Karena  karakteristik iman ada dua, yaitu (1) keyakinan hati, dan (2) pengamalan atau kerja sebagai bukti bahwa keyakinan itu berfungsi. Iman dalam hati baru menjadi eksis bila telah dilahirkan dalam bentuk amal atau kerja. Tentu saja kerja atau amal yang dilahirkannya tidak boleh bertentangan dengan ajaran Islam yang diimaninya. Keistimewaan iman demikian terletak pada perpaduan antara nilai-nilai moral dan motif-motif ta’abudiy dengan kerja atau pengamalan dalam satu bingkai. Dengan ungkapan lain, iman adalah landasan, sedangkan pebuatan atau kerja merupakan konsekuensi dan cara menyatakannya.[83]
            Sistem keimanan yang membangun aqidah dan melahirkan amal-amal yang Islami, baik yang berkenaan dengan hablum minallah maupun  hablum minannas termasuk pelaksanaan tugas khalifah Allah di muka bumi oleh manusia, semestinya bersumber dari ajaran-ajaran wahyu (Alquran dan as-Sunnah yang sahih).
            Kerja, dalam hal ini termasuklah di dalamnya kerja otak dan hati, seperti berpikir, memahami, berzikir, meneguhkan iman dan berusaha mencintai ilmu yang bermanfaat. Selain itu, tentu saja kerja produktif dalam rangka memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga dan masyarakat, mengembangkan serta membangun daerah atau negeri, menanggulangi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, memerintahkan berbuat ma’ruf, mencegah kemungkaran dan sebagainya. Tantangan-tantangan serupa bila memenuhi syarat husnulfi’liyah (pekerjaan yang baik) dan husnul fa’iliyyah (yang mengerjakan baik) itu jelas termasuk lahan ibadah, dapat dijadikan objek amal-amal atau kerja Islami yang sebagian besar daripadanya dapat dikategorikan penegakan tugas khilafah manusia di muka bumi.
            Mengerjakan sesuatu dengan niat mencari ridha Allah mengundang konsekuensi kerja itu tidak dilakukan dengan sikap seenaknya atau secara acuh tak acuh. Karena hal itu akan menunjukkan ketidakseriusan niat, bahkan dapat berarti tidak menghargai Tuhan. Bekerja demi ridha Allah, sebagaimana ajaran yang dikembangkan oleh kaum sufi, amat erat kaitannya dengan ihsan, sedangkan makna ihsan amat luas, antara lain sehubungan dengan kerja, artinya bekerja secara optimal atau sebalik mungkin (sesuai dengan profesinya, atau secara profesionalisme), hal itu dinyatakan dalam sebuah hadis Rasul yang menegaskan, ’’Sesungguhnya Allah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu…’’[84]
            Hasbi Ash-Shiddieqy mengemukakan, pribadi muslim yang memiliki tingkat penghayatan dan pengamalan agama paling tinggi adalah orang yang berhasil mencapai tingkat ihsan. Keberagamaan orang itu sudah melampaui tingkat Muslim dan Mukmin. Arti ihsan dalam beribadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, dan kalau tidak melihat-Nya, dia betul-betul menyadari bahwa Allah melihat dia.[85] Adapun ihsan dalam arti perbuatan kepada sesama, yakni memberikan manfaat keagamaan atau keduniaan kepada orang lain.[86] Maka orang yang berhasil mencapai tingkat ihsan mestinya merasakan kehadiran Allah di manapun dia berada dan apapun yang dikejakannya, tidak terbatas ketika orang itu melakukan salat, puasa dan ibadah-ibadah formal lainnya, namun jauh lebih luas dari itu. Apabila ia bekerja mencari nafkah, menunaikan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, melakukan oleh raga demi kesehatan, berdagang, bertani, berpolitik dan sebagainya, ketika itu iapun sadar, Allah pasti menyaksikannya. Ihsan di sini amat mendukung pengembangan sikap percaya diri, kemnadirian sekaligus mendorong suka bekerjasama dengan orang lain dan pengawasan melekat.
            Dalam sebuah hadis yang diawali oleh pernyataan Rasul saw bahwa orang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih disukai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Beliau lalu bersabda antara lain, ’’…Antusiaslah kamu melakukan apa saja yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan janganlah sekali-kali bersikap lemah.[87] Artinya, Rasul saw menyuruh umatnya agar bersemangat, penuh gairah melakukan, semua pekerjaan yang bermanfaat, kerja lahir maupun kerja batin, baik yang kecil-kecil, apalagi yang besar. Senantiasa optimis dan bertawakkal kepada Allah dengan berusaha membuang jauh sikap lemah atau lembek. Jadi, hadis tersebut jelas mengajarkan sifat giat bekerja dengan penuh semangat tanpa memberi peluang pada sifat malas. Tentu saja anjuran hadis ini mencakup pula dorongan kepada manusia untuk secara sadar berusaha memperoleh dan mencintai segala sesuatu yang bermanfaat dan layak dicintai, misalnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kesehatan dan sebagainya.
            Sehubungan dengan  ciri-ciri etos kerja tinggi yang behubungan dengan sikap moral seperti menjaga mutu kerja, menepati janji, jujur, dan sebagainya, ciri-ciri demikian tercakup dalam pengertian Amanah yang menjadi salah satu prinsip akhlak yang utama dalam Islam. Menurut bahasa, amanah berarti kesetiaan atau titipan,[88] lawan dari khianat.[89]Jadi, amanah adalah loyalitas, kebalikan dari khianat, bisa dipercaya.[90]Sedangkan menurut istilah, al-amanah sebagaimana dinyatakan dalam Q.S.al-Ahzab/33 :72 ;
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا(72)
’’Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.’’
            Menurut ash-Shabuniy menjelaskan arti al-amanah dalam ayat tersebut adalah kewajiban dan tugas-tugas yang besifat syar’iy.[91] Asy-Syaukani mengutip beberapa pendapat mufassir, antara lain pendapat al-Wahidiy, bahwa amanah adalah ketaatan dan kewajiabn-kewajiban yang membuahkan pahala bagi para pelakunya dan menimbulkan dosa bagi orang yang mengabaikannya. Al-Qurthubiy mengemukakan, amanah meliputi semua sifat-sifat keagamaan. Kemudian arti lebih rinci disampaikan oleh Ibn mas’ud, bahwasannya amanah meliputi semua kewajiban, utamanya yang berupa harta. Ubay Ibn Ka’ab berpendapat, amanah yang dimaksud adalah  kemaluan wanita. Sedangkan Ibn ‘Umar antara lain menegaskan,kemaluan, telinga, mata perut, tangan, dan kaki, kesemuanya adalah amanah. Tidak ada iman bagi orang yang tidak punya sifat amanah.[92]
            Dengan  demikian, bekerja selain harus profesional, juga harus sesuai dengan prinsip-prinsip syariat, seperti amanah, jujur dan sebagainya. Seperti dalam musyarakah[93] kerja sama dalam satu usaha, keberadaan prinsip syariat (misalnya amanah) sangat penting untuk direalisasikan dalam aktivitas bisnis. Dalam beberapa hadis Rasul dinyatakan, Allah akan bersama-sama orang yang berserikat, selama tidak ada salah satu pihak yang berkhianat (melanggar prinsip syariat). Jika salah seorang berkhianat, maka Allah “keluar” dari perserikatan tersebut dan hilanglah keberkatan usahanya.
Dalam sebuah hadis dinyatakan;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَفَعَهُ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ أَنَا ثَالِثُ الشَّرِيكَيْنِ مَا لَمْ يَخُنْ أَحَدُهُمَا صَاحِبَهُ فَإِذَا خَانَهُ خَرَجْتُ مِنْ بَيْنِهِمَا*[94]
Dari Abi Hurairah, Rasulullah bersabda, Sesungguhnya Allah berfirman, Aku pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satunya tidak mengkhianati lainnya, maka jika salah seorang mengkhianati lainnya, saya keluar dari keduanya. (H.R.Abu Daud)
            Sehubungan dengan sikap bertanggung jawab terhadap amanah sebagai salah satu bentuk akhlak bemasyarakat, Allah swt memerintahkan orang-orang yang beriman untuk memenuhi ikatan janji, sebagaimana  tersebut dalam Q.S.al-Maidah/5:1 ;
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الْأَنْعَامِ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ(1)
’’Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.’’
            Kata ‘uqud (ikatan atau janji-janji)dalam ayat tersebut di atas, menurut mufassir mencakup seluruh hubungan;manusia dengan Tuhan, dengan diri sendiri, orang lain dan alam serta merupakan tafsir tentang keharusan peningkatan moral. Arti ‘uqud di sini mencakup seluruh wilayah tanggung jawab moral dan sosial manusia.[95] Dengan demikian, ‘uqud dalam konteks ayat tersebut di atas tentunya dapat ditafsir sebagai amanah berupa konsensus dan peraturan yang sudah disepakati bersama, selain ikatan menunaikan kewajiban-kewajiban. Untuk menepatinya dituntut kedisiplinan yang sungguh-sungguh, terutama berkenaan dengan waktu serta kualitas sesuatu atau pekerjaan yang semestinya dipenuhi. Berdasar ini, maka dapat dikatakan bahwa orang yang tidak menunaikan kewajibannya kepada Allah, diri sendiri, keluarga, pihak lain dan atau masyarakat, dapat dikategorikan menyalahi perintah Allah yang terkandung dalam ayat tersebut. Begitu pula orang yang membiarkan dirinya dikuasai oleh sifat malas, etos kerja yang sangat rendah, tidak punya rasa tanggung jawab, tidak disiplin, juga tidak profesional sehingga merugikan aturan, kesepakatan atau pelaksanaan kewajiban, maka orang-orang yang memiliki ciri seperti itu adalah tidak amanah.
            Nilai-nilai yang disebut di atas itulah yang telah menjadi kehidupan para sufi, dengan demikian korelasi profesionalisme dengan tasawuf memiliki hubungan yang signifikan.


D.  Pengaruh Pengamalan Tasawuf dalam Kehidupan
1.      Pengaruh Tasawuf dalam Kehidupan Pribadi
            Perkembangan kehidupan manusia begitu cepat dan canggih. Hal itu seiring dengan perkembangan sains dan teknologi yang begitu cepat. Kehidupan modern saat ini, telah berkembang menjadi sedemikian materialistik dan individualistik. Materi menjadi tolok ukur dalam segala hal, kesuksesan, kebahagiaan semuanya ditentukan oleh materi.. orang berlomba-lomba mendapatkan materi sebanyak-banyaknya, karena dengannya manusia merasa dirinya sukses. Akibatnya manusia sering bertindak tanpa kendali demi materi. Semakin telihat kecenderungan manusia menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Nilai-nilai kemanusiaan semakin surut, toleransi sosial dan solidaritas sesama serta ukhuwah (di kalangan umat Islam) tampak hilang dan memudar, manusia cenderung semakin individualis. Di tengah suasana itu, manusia merasakan kerinduan akan nilai-nilai ketuhanan, nilai-nilai Ilahiah. Nilai-nilai berisikan keluhuran inilah yang dapat menuntun manusia kembali kepada nilai-nilai kebaikan yang pada dasarnya telah menjadi fitrah atau sifat dasar manusia itu sendiri.
            Dengan adanya kecenderungan manusia untuk kembali mencari nilai-nilai ilahiyah merupakan bukti bahwa manusia itu pada dasarnya makhluk rohani selain sebagai makhluk jasmani. Sebagai makhluk jasmani, manusia membutuhkan hal-hal yang bersifat materi, namun sebagai makhluk rohani ia membutuhkan hal-hal yang bersifat immateri atau rohani. Sesuai dengan orientasi ajaran tasawuf yang lebih menekankan aspek rohani, maka manusia itu pada dasarnya cenderung bertasawuf. Dengan perkataan lain, bertasawuf merupakan fitrah manusia.
            Berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran tasawuf, selama manusia belum bisa keluar dari kungkungan jasmani dan materi selama itu pula dia tidak akan menemukan nilai-nilai rohani yang dia dambakan. Untuk itu dia harus berusaha melepaskan rohnya dari kungkungan jasmaninya. Maka dia harus menempuh jalan latihan (riyadhah) yang memerlukan waktu cukup lama. Riyadhah juga bertujuan untuk mengasah roh supaya tetap suci. Naluri manusia selalu ingin mencapai yang baik dan sempurna dalam mengarungi kehidupannya. Untuk mencapai kebaikan dan kesempurnaan ini tidak dapat dilalui dengan mempergunakan ilmu pengetahuan saja, karena ilmu adalah produk manusia dan hanya merupakan alat yang terbatas. Manusia akan merasa kehilangan dan kekosongan kalau hanya mengandalkan ilmu materi saja. Jalan menuju kebahagiaan yang hakiki hanya dengan iman yang kokoh, perasan hidup yang aman bersama Tuhan.
            Oleh karena kecenderungan manusia itu selalu ingin berbuat baik sesuai dengan nilai-nilai ilahiyah, maka segala perbuatan yang menyimpang dari padanya merupakan penyimpangan dan melawan fitrahnya. Pada prinsipnya kehidupan yang berlandaskan fitrah yang telah diciptakan Allah pada diri manusia adalah kehidupan yang hakiki. Kita tahu bahwa setiap calon manusia yang lahir ke dunia, seaktu berada di alam arwah, telah mengikat suatu perjanjian dengan Allah sebagaimana dinyatakan dalam  Alquran pada surat al-A’raf/7:172 ;
وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي ءَادَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ(172)
’’Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)".
            Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya manusia adalah bertauhid, setidaknya rohaninya telah berikrar kepada Tuhannya. Namun, perkembangan berikutnya, setiap manusia itu lahir di dunia, maka lingkungan mempengaruhinya untuk melakukan hal-hal yang baik atau yang buruk. Pengaruh lingkungan sangat berperan dalam membentuk kepribadian seseorang.
            Dengan demikian, berdasarkan ayat itu pula, dapat kita katakan bahwa tauhid merupakan fitrah manusia, ini berarti bahwa naluri manusia itu bertuhan. Sebab itu manusia adalah makhluk yang senantiasa mendambakan nilai-nilai Ilahi, cinta kepada kesucian dan selalu cenderung kepada kebenaran, ingin selalu mengikuti ajaran-ajaran Tuhan, karena kebenaran itu tidak akan dicapai kecuali dengan Tuhan sebagai sumber kebenaran mutlak. Fitrah merupakan hidayah yang diberikan Tuhan kepada manusia selaku khlaifah di muka bumi, yaitu kejadian asalnya yang suci dan baik.[96] Maka, jelaslah bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk yang suci dan baik, sebab manusia dilengkapi oleh Penciptanya dengan kemampuan dan bakat untuk mengenali sendiri mana hal-hal yang buruk yang bakal menjauhkannya dari kebenaran dan hal-hal yang baik yang akan mendekatkannya kepada kebenaran. Dengan fitrahnya itulah manusia menjadi makhluk yang hanif,yaitu yang secara alami cenderung dan memihak kepada yang benar, yang baik dan suci.
            Selanjutnya, yang menjadi pertanyaannya adalah apa pengaruh pengamalan tasawuf dalam kehidupan pribadi seseorang ? Untuk menjawab pertanyaan ini, tentunya akan dilihat terlebih dahulu pengamalan tasawuf yang bagaimana yang dijalankan oleh seseorang. Bila pengamalan tasawuf yang diamalkan berdasarkan Alquran dan as-Sunnah, maka seseorang itu akan memiliki kepribadian yang salih dan dijamin oleh Rasul saw tidak akan sesat baik di dunia maupun di akhirat. Sebagaimana sabda Rasul saw berikut ini :
تَرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَمْ تَضِلُّوا أَبَدًا مَا إِنْ تَمَسَكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ الله وَسُنَّة رَسُولِه. (رواه الحاكم)[97]
’’Aku tinggalkan dua pusaka pada kalian. Jika kalian berpegang kepada keduanya, niscaya tidak akan tersesat, yaitu kitab Allah (Alquran) dan Sunnah Rasul-Nya.’’ (H.R. Hakim dari Abu Hurairah).
            Hadis di atas memberikan petunjuk bahwa jika mengikuti apa yang telah ditinggalkannya, yakni berupa Alquran dan as-Sunnah, maka manusia tidak akan tersesat jalannya, baik di dunia maupun di akhirat.
            Dalam suatu hadis Rasul saw juga ditegaskan agar kita tidak boleh bersifat dan bersikap sombong, hadisnya adalah sebagai berikut :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ.رواه مسلم. كتاب الإيمان. رقم131
“Dari Abdillah bin Mas’ud dari nabi saw bersabda : “Tidak masuk surga orang yang di dalam hatinya terdapat seberat zarrah sifat sombong, berkata seorang sahabat, sesungguhnya seseorang mencintai baju dan selop/sepatu yang cantik (bagaimana kalau seperti itu); lalu Rasul bersabda ; sesungguhnya Allah indah dan mencintai keindahan, kesombongan itu adalah tidak menerima kebenaran/ hak  dan tidak menghargai manusia.” (H.R.Muslim)
            Tasawuf akan mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang, terutama dalam hal nilai-nilai moral dan kepribadiannya. Ia akan hidup sederhana, tidak suka berlebih-lebihan, tidak suka menyombongkan diri atau takabbur, rendah hati atau wara’, sabar ketika menerima musibah dan bersyukur ketika menerima nikmat dan anugerah. Kemudian tentu orang yang bertasawuf akan selalu mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, serta berusaha semaksimal mungkin menjauhi larangan-Nya.
            Bila pribadi seseorang telah tepengaruh dengan ajaran tasawuf, maka seseorang itu akan tercerahkan pula, baik intelektual, emosional maupun spiritualnya, yang dalam istilah modern dikenal dengan IQ (Intelectual Quotient) dan ESQ (Emotional Spiritual Quotient). Apa indikasi seseorang itu spiritualnya cerah, menurut Ary Ginanjar Agustian, menyatakan :
 ’’Ketika manusia mengalami proses ZMP (Zero Mind Process), maka semua belenggu kesombongan, kepentingan, prasangka, dan paradigma mengalami proses pelunturan, dna yang kemudian muncul adalah sebuah kepasrahan spiritual. Dan ketika  kepasrahan itu muncul ke permukaan, maka alam bawah sadar akan melahirkan kembali potensi spiritual yang selama ini tependam dan tertutupi oleh belenggu. Pada saat itulah kita memasuki frekwensi Ilahiah – pikiran bawah sadar – di mana Allah menolong hamba-Nya yang mensucikan hatinya.’’[98]

2.      Pengaruh Tasawuf dalam Kehidupan Masyarakat
            Bila ditelaah dalam Alquran ada beberapa ayat yang seringkali menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang berlaku untuk seluruh alam raya, termasuk seluruh umat manusia, antara lain :
            Q.S.as-Saba’/34:28:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ(28)
’’Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.’’
            Juga disebut dalam ayat lain dalam Q.S.al-Anbiya/21:107:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ(107)
’’Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.’’
            Berdasarkan ayat-ayat tersebut, segi keuniversalan agama Islam telah menjadi kesadaran yang sangat berakar dalam kesadaran seorang Muslim, bahwa agamanya berlaku untuk seluruh umat manusia keseluruhan. Sungguhpun kesadaran serupa juga dimiliki oleh penganut-penganut agama lainnya.
            Adalah tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pada orang-orang Muslim kesadaran semacam itu telah melahirkan sikap-sikap sosial keagamaan yang unik, yang jauh berbeda dengan pemeluk-pemeluk agama lainnya. Masyarakat Islam dapat mewujudkan kesadaran tersebut dalam sinaran sejarah yang cemerlang. Fenomena keagamaan yang tunduk pada prinsip-prinsip toleransi, kebebasan beragama, keterbukaan, keadilan dan kejujuran. Kenyataan ini diakui oleh Hudgson, misalnya dengan mengatakan bahwa umat Islam adalah satu-satunya golongan manusia yang paling mendekati keberhasilan, lebih daripada golongan lain manapun dalam sejarah, untuk menyatukan seluruh umat manusia di bawah cita-citanya.[99]
            Hal yang senada dengan Hudgson, Max I. Dimont dengan panjang lebar menjelaskan kenyataan tersebut :
’’Ketika kaum Yahudi menghadapi masyarakat terbuka dunia Islam, mereka adalah bangsa telah beumur 2.500 tahun…Tidak ada yang lebih terasa asing bagi kaum Yahudi daripada peradaban Islam  yang fantastis ini, yang tumbuh dari debu padang pasir pada abad ke tujuh, tetapi juga tidak ada yang lebih mirip. Meskipun mewakili suatu peradaban baru, suatu agama baru, dan suatu lingkungan sosial baru yang dibangun di atas dasar-dasar ekonomi baru, namun Islam mirip dengan “prinsip kebahagiaan intelektual” yang dikemas dan disajikan kepada kaum Yahudi seribu tahun sebelumnya ketika Iskandar Agung membuka pintu-pintu masyarakat Hellenis kepada mereka. Sekarang masyarakat Islam membuka masjid-masjidnya, sekolah-sekolahnya, dan kamar-kamar tidurnya, (berturut-turut) untuk konversi, pendidikan, dan asimilasi.’’[100]
            Kenyataan historis yang memancar dari pengalaman keinsafan beragama yang lapang dan terpuji, mengasuh  umat-umat lain, menjadi cermin bahwa agama Islam dalam sejarah telah mampu memanifestasikan sebaik-baiknya umat dan pemimpin umat manusia, sebagaimana yang disinyalir dalam Q.S.Ibrahim/14:143:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا
’’Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.’’

            Kesadaran beragama, yang diimplementasikan lewat pengamalan kehidupan tasawuf, telah banyak memberikan pengaruh terhadap masyarakat modern. Sikap hidup masyarakat yang mengamalkan  sikap takwa, tawakkal, ikhlas, taubat, syukur, harapan (raja’), sabar, dan khauf merupakan pengajaran tasawuf yang telah diamalkan oleh kaum sufi. Hanya saja, pengamalan pengajaran tasawuf  yang telah dimodifikasi sedemikian rupa sehingga relevan dengan kehidupan masyarakat modern. Dengan pemahaman yang lebih moderat dan elegan sekaligus mengamalkannya, maka tasawuf tidak lagi menjadi amal orang-orang tradisional. Pemahaman dan pengamalannya, antara lain sebagai berikut.
            Melalui takwa kita menyadari kehadiran Tuhan dalam hidup. Inti takwa adalah kesadaran yang sangat mendalam bahwa Allah selalu hadir dalam hidup kita. Takwa adalah kalau kita mengerjakan segala sesuatu kita kerjakan dengan kesadaran penuh bahwa Allah beserta kita, Allah menyertai kita, Allah mengawasi kita dan Allah memperhitungkan perbuatan kita. Hal ini sebagaimana firman Allah dalamQ.S.al-Hadid/57:4 :
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ(4)
’’Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.’’

            Hal itulah yang disebut dengan pengawasan melekat (waskat) yang sebenarnya, yakni pengawasan yang built in dalam diri kita melalui iman, sehingga menghasilkan tindakan yang ikhlas, tulus dan tanpa pamrih. Dengan takwa kita berbuat baik bukan karena takut kepada orang. Kita meninggalkan perbuatan jahat juga bukan karena pengawasan orang, tetapi karena dinamika yang tumbuh dalam diri kita sebagai akibat dari takwa.
            Apabilakita sudah memperhitungkan kehadiran Allah dalam hidup kita dan segala sesuatu yang kita kerjakan menurut kesadaran bahwa Allah mengawasi dan memperhitungkan perbuatan kita, maka dengan sendirinya kita akan terbimbing  ke arah budi pekerti luhur. Logikanya kalau kita hanya melakukan sesuatu yang diridhai Allah, maka dengan sendirinya kita hanya melakukan sesuatu yang baik. Perhatikan  Q.S.Yasin/36:12 ;
إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَءَاثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ(12)
’’Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).’’
            Selanjutnya, apakah ada pengaruh tasawuf dengan kehidupan masyarakat ? Jawabannya jelas ada, kita bisa melihat bagaimana suatu masyarakat (baca :yang Muslim) ketika ditimpa musibah, maka mereka dapat dan sanggup untuk memikul musibah yang sedang menimpa. Inilah pengamalan sikap dan perilaku sabar. Kita contohkan masyarakat Indonesia yang sejak tahun 2004 hingga tulisan ini ditulis, musibah demi musibah telah menimpa sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mereka masih bisa tegar dan sabar dalam penderitaan yang dialaminya.
            Semua orang dari segi penderitaan sama, tetapi kelebihan orang yang beriman adalah bahwa dalam penderitaan dia tetap memiliki harapan kepada Allah. Kita berani hidup, dan berjuang karena kita memiliki harapan. Sesuatu yang kita inginkan ternyata tidak terjadi hari ini kita masih harapkan terjadi besok, dan kita pun tahan hidup sampai besok, minggu depan, bulan depan, tahun depan, dan seterusnya. Sikap sabar ini merupakan pengamalan kaum sufi sejak dahulu kala.
            Dalam suatu Hadis Rasul saw ditegaskan bahwa sesama orang mukmin adalah bagaikan suatu bangunan yang utuh, oleh karenanya harus saling membantu dan menyokong antara mukmin yang satu dengan yang lainnya, hadisnya adalah sebagai berikut :
 حَدِيثُ أَبِي مُوسَى رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا .
Hadis riwayat Abu Musa ra.dia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: Seorang mukmin terhadap mukmin yang lain adalah seperti sebuah bangunan di mana bagiannya saling menguatkan bagian yang lain.(H.R.Bukhari dan Muslim)
            Sikap hidup sederhana, zuhud, wara’, ini sudah terimplementasi dalam kehidupan masyarakat Muslim. Terjadinya kehidupan yang saling tolong-menolong, saling bersilaturrahim merupakan salah satu unsur pengajaran tasawuf. Tidak berlebihan, atau tidak boros sehingga berkembang perilaku hemat dan menghindarkan diri perilaku mubazir di kalangan masyarakat, juga merupakan implementasi dari pengajaran tasawuf. Mujahadah (kesungguhan), muraqabah (pengawasan)dan muhasabah (evaluasi) hal yang sudah menjadi lazim pengamalannya di tengah-tengah masyarakat. Betapa banyak kita lihat para pedagang sayur di pusat-pusat perbelanjaan tradisional, mereka begitu sungguh-sungguh (mujahadah) dalam rangka mengharap rezeki dari Allah.
            Jadi, kita dapat katakan dengan tegas bahwa pengaruh tasawuf dalam kehidupan masyarakat, memang sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat Muslim, khususnya di Indonesia.Namun, pengaruh ini hanya sebatas kesalehan individual, bukan kesalehan sosial, kesalehan sosial masih perlu dipertanyakan.. Kendatipun terus mengalami berbagai perkembangan dalam pengamalannya, yang jelas tasawuf untuk sebagian masyarakat Muslim Indonesia masih menjadi bagian dari kehidupannya.
            Hanya saja yang perlu ditekankan di sini pemahaman dan pengamalan pengajaran tasawuf harus secara berkesinambungan diadakan perbaikan sehingga nilai-nilai tasawuf yang diamalkan sesuai dengan syariat Islam, yakni  sesuai Alquran dan as-Sunnah.

3.      Pengaruh Tasawuf dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
            Dapat dikatakan bahwa dalam perkembangan sejarah Islam, telah terbukti bahwa peranan ajaran Islam demikian signifikan dalam membentuk etika kehidupan masyarakat. Maka, demikian pula kontribusi Islam  dalam etika berbangsa dan bernegara, sebagaimana yang terdapat dalam Negara yang dibangun oleh Muhammad Rasulullah yang dikenal dengan Negara Madinah. Perlu dikemukakan bahwa masyarakat madani yang hidup di Negara Madinah itu memiliki beberapa ciri mendasar, yaitu:
v  Memiliki peradaban kemanusiaan
v  Egalitarianisme (persamaan derajat).
v  Penegakan hukum dan Keadilan
v  Penghargaan kepada orang berdasarkan prestasi (bukan kesukuan, keturunan, ras dan sebagainya).
v  Keterbukaan partisipasi seluruh anggota masyarakat aktif.
v  Toleransi atas kemajemukan atau pluralitas
v  Musyawarah.
            Etika berbangsa dan bernegara, hendaknya mengacu pada prinsip-prinsip yang telah dibangun oleh Rasulullah saw pada kehidupan masyarakat di Madinah. Adanya perilaku egalitarian sesama anak bangsa akan mewujudkan kerjasama yang baik, menghilangkan keanggkuhan dan arogansi, sebab manusia pada dasarnya makhluk yang sederajat, dalam Islam semua manusia di hadapan Tuhan sama, kecuali yang memiliki kualitas ketakwaan yang mantap.
            Selanjutnya adanya keadilan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang diwujudkan dalam bentuk antara lain;  segala yang berkaitan dengan dengan hak-hak manusia, baik mengenai hartanya, ataupun berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaannya. Hal ini akan mewujudkan ketenangan jiwa dan menggerakkan dinamika kerja yang pada gilirannya membawa kepada kemaslahatan, kemakmuran dan kesejahteraan. Adil dalam tinjauan bernegara, adalah terciptanya tatanan masyarakat yang harmonis, sejahtera, bahagia lahir dan batin. Sumber-sumber pendapatan negara dikelola sesuai dengan kemaslahatan negara dan masyarakatnya. Ini merupakan perwujudan dari nilai keadilan itu sendiri.  Semua undang-undang ditegakkan tanpa kecuali. Tidak ada diskriminasi dalam peraturan negara atau pemerintahan dan pelaksanaannya. Proses penegakan hukum harus benar-benar memenuhi nilai keadilan, baik pada tingkat normatif peraturan maupun dalam pelaksanaan sampai ke pengadilan. Prinsip keadilan merupakan salah satu etika yang sangat signifikan untuk diterapkan dalam berbangsa dan bernegara.           
            Bila dirujuk ke dalam teks Alquran, maka kata al-‘adl dalam Alquran menurut al-Baidhawi bermakna “pertengahan dan persamaan”.[101] Sayyid Quthb menekankan atas dasar persamaan sebagai asas kemanusiaan yang dimiliki oleh setiap orang. Keadilan baginya bersifat inklusif, tidak ekslusif untuk golongan tertentu,[102] sekalipun umpamanya yang menetapkan keadilan itu seorang Muslim untuk orang non-Muslim. Sedangkan kata qisth dalam Alquran berarti seimbang. Yusuf Ali menjelaskan bahwa al-‘adl dalam Alquran suatu istilah yang bersifat komprehensif yang mencakup semua kebaikan dan kemanusiaan.[103] Kata al-qisth ia artikan dengan persamaan dan jujur.
            Perintah menegakkan keadilan dinyatakan secara jelas dalam beberapa ayat yang berasal dari kata al-‘adl maupuan dari kata al-qisth dalam bentuk kata kerja perintah, antara lain; Q.S.an-Nisa’/4:58,135; al-Maidah/5:8,42;al-An’am/6:152; al-A’raf/7:29;Hud/11:85; asy-Syura/42:15;al-Hujurat/ 49:9 dan lainnya.
            Ayat-ayat tersebut mengandung makna bahwa menegakkan keadilan adalah kewajiban syariat bagi orang-orang yang mukmin berdasarkan iman kepada Allah Yang Maha Adil, sebagai tindakan persaksian bagi-Nya (Q.S.an-Nisa’/4:135 dan al-Maidah/5:8). Perintah wajib itu ditujukan kepada dua hal, yaitu perintah menetapkan hukum dan menyelesaikan suatu masalah. Perintah berlaku adil itu ditujukan kepada perorangan (al-Maidah/5:42), perintah kepada Nabi (al-A’raf/7:29, dan asy-Syura/42:15), perintah kepada orang-orang mukmin (an-Nisa’/4:135 dan al-Maidah/5:8), atau perintah kepada kelompok atau jamaah.
            Dalam konteks Indonesia, keadilan masih perlu terus diperjuangkan, sebab selama ini perilaku adil belum menjadi etika yang harus diterapkan pada tataran berbangsa dan bernegara. Rakyat masih terus berjuang dalam mempertahankan hak yang terkadang dirampas oleh para penguasa.Bahkan juga terkadang para pengusaha bertindak kepada para pegawai atau karyawannya dengan sewenang-wenang, padahal dalam suatu Hadis Rasul saw menegaskan bahwa kita harus memberikan upah karyawan sebelum kering keringatnya, yang berarti memberikan gaji harus tepat waktu. Serta juga memiliki makna memberikan hak-hak karyawan dengan benar sesuai dengan perjanjian (kontrak) kerjanya. Hadisnya adalah sebagai berikut :
أُعْطُوْا اْلأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَ نْ يَجِفَّ عَرَقُهُ. رواه أبو يعلى
“Berikanlah upa kepada pekerja sebelum kering keringatnya.”(H.R.Abu Ya’la)
            Untuk itulah pengaruh tasawuf dengan nilai-nilai luhurnya perlu dibangun dalam membangun hubungan yang mantap berbangsa dan bernegara. Adapun yang perlu dibangun adalah nilai-nilai universalnya, bukan pengamalan lokalnya. Nilai-nilai universal itu, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, seperti nilai keadilan, nilai persamaan, nilai musyawarah dan sebagainya.
            Bahkan hingga saat ini rakyat belum merasakan keadilan diterapkan dalam praktek kenegaraan Indonesia.Indikasinya dapat dilihat, betapa kayanya sumber daya alam, tetapi tidak dikelola dengan baik dan hasilnyapun tidak didistribusikan kepada kepentingan kemakmuran rakyat, sehingga mayoritas rakyat jauh dari sejahtera dan makmur.Yang terjadi adalah korupsi, kolusi dan nepotisme ada di mana-mana, bahkan sudah merupakan etika yang perlu diamalkan sejak era Orde Baru.Juga  perilaku kesewenangan itu hingga saat ini belum dapat dihentikan. Etika yang berprinsip pada nilai keadilan sepertinya jauh panggang dari api, serta masih perlu waktu untuk menerapkannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
            Selanjutnya dalam dunia politik, khususnya tataran partai politik di Indonesia juga masih diperlukan kedewasaan untuk menerapkan etika sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Partai politik seharusnya menjalankan fungsinya sebagai salah satu lembaga yang ikut bertanggung jawab dalam pembangunan bangsa dan Negara secara baik dan benar. Jangan sampai partai politik malah meracuni pemikiran masyarakat, membodoh-bodohi masyarakat, atau mengobok-obok Aparatur Negara demi mengharapkan kedudukan dan uang. Etika bertanggung jawab dan amanah, serta tepat janji harusnya menjadi bagian perjuangan dan perilaku partai politik. Jangan hanya ketika kampanye menebarkan berbagai janji demi mengharap suara yang banyak, namun setelah berhasil, janji-janji yang diucapkan tidak pernah direalisasikan, inilah perilaku yang tidak etis, pengkhianat atau tidak amanah. Demikian pula para abdi Negara seharusnya selaras antara kata dan perbuatan. Bila semua komponen bangsa; rakyat dan Aparatur Negara sama-sama berperilaku etis, dalam pengertian menjalankan norma-norma yang telah disepakati serta nilai-nilai yang berasal dari ajaran agama, maka dapat diharapkan bangsa kita menjadi bangsa yang besar dan disegani  dalam pergaulan internasional. Tidak seperti sekarang ini, negara Indonesia dikenal sebagai salah satu Negara yang paling korup di dunia; bangsa yang tidak disiplin, suka melanggar hukum, serta predikat kualitas pendidikan yang rendah. Suatu gambaran yang paradok dengan mayoritas rakyatnya yang beragama Islam.Semoga kita dapat merubah kondisi yang buruk ini.Tidak ada kata terlambat dalam merubah kebaikan dan kemaslahatan, semuanya terpulang kepada kita sebagai sesama anak bangsa; mau maju atau mau tertinggal.
            Padahal, dalam suatu Hadis Rasul ditegaskan bahwa kita semua adalah pemimpin, dan semua pemimpin, baik dari unit paling kecil, yakni keluarga sampai suatu Negara, akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Perhatikan Hadis berikut ini :
 حَدِيثُ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ .
Hadis riwayat Ibnu Umar ra.: Dari Nabi saw. bahwa beliau bersabda: Ketahuilah! Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpin. Seorang raja yang memimpin rakyat adalah pemimpin, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin anggota keluarganya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap mereka. Seorang istri juga pemimpin bagi rumah tangga serta anak suaminya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya. Seorang budak juga pemimpin atas harta tuannya, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Ingatlah! Masing-masing kamu adalah pemimpin dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.(H.R.Bukhari dan Muslim)
            Bila kita merujuk pada pola pengajaran dan bimbingan di Majamen Qalbu, pimpinan K.H.Gymnastiar, dan Pesantren Qalbu, versi K.H.Wahfiuddin, maka titik fokus mereka adalah bagaimana manusia yang mukmin itu memiliki jiwa, hati dan pikiran yang salim (selamat, sejahtera, dan damai). Sehingga, bila seseorang itu telah memiliki hati yang bening dan damai, maka seseorang itu tidak mungkin lagi terperosok ke dalam perilaku maksiat dan dosa; dan akan senantiasa fastabiqul khairat, berlomba-lomba dalam melakukan kebaikan; baik yang berhubungan kepada Allah swt (vertikal), maupun kepada sesama manusia (horizontal). Manusia-manusia seperti inilah yang diharapkan oleh bangsa dan Negara, karena ia akan memberikan kontribusi kemaslahatan terhadap sesama manusia.
            Paparan di atas menggambarkan, sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa pengaruh tasawuf dalam masyarakat Indonesia masih pada tatanan kesalehan individual, belum pengamalan kesalehan sosial. Padahal, tasawuf diarahkan bukan saja agar orang mengamalkan kesalehan individual, tetapi juga pengamalan kesalehan sosial, sehingga benar-benar membawa rahmat bagi semua orang, bahkan alam lingkungannya.
Wallahu a’lam.

الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ


















[1]   Muraqabah adalah merasa dekat dan diawasi oleh Allah.lihat, Simuh, Tasawuf dan perkembangan dalam Islam, Jakarta : PT.RajaGrafindo            Persada, 2002, hlm.109. dapatlah dikatakan bahwa muraqabah merupakan implementasi dari sikap dan perilaku ihsan. Pengertian ihsan     sebagaimana dipaparkan dalam Hadis Nabi saw bahwa kita menyembah Allah seorang-olah kita melihat-Nya, jika kita tidak melihatNya, maka                          yang pasti Ia melihat kita dalam situasi di mana dan kapanpun. Dengan demikian, kita akan selalu merasa dekat dan selalu diawasi-Nya.              Berdasarkan ini pula kita akan terhindar dari berbagai perbuatan maksiat.

[2]   Nafsu ammarah bi as-su’ adalah kepribadian yang cenderung pada tabiat jasad dan mengejar pada prinsip-prinsip kenikmatan (pleasure                 principle). Nafsu ini menarik qalbu manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan  yang rendah sesuai dengan naluri primitifnya, sehingga ia                      merupakan tempat dan sumber kejelekan dan akhlak yang tercela. Lihat, Abd. Ar-Razzaq al-Kalsyaniy, Mu’jamal-Isthilahat ash-Shufiyat, Kairo :              Dar al-‘Inad, 1992, hlm. 115. Tentang nafsu ammarah bi as-su’a ada disebutkan dalam Alquran pada surat Yusuf/12:53:
وَمَاأُبَرِّئُنَفْسِيإِنَّالنَّفْسََلأَمَّارَةٌبِالسُّوءِإِلامَارَحِمَرَبِّيإِنَّرَبِّيغَفُورٌرَحِيمٌ(53)
     “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang                              diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

[3]   Nafsu al-lawwamah adalah keperibadian yang telah memperoleh cahaya qalbu, lalu ia bangkit untuk memperbaiki kebimbangannya antara       dua hal, yang baik dan buruk. Dikatakan lawwamah karena sifatnya al-lawm yang berarti celaan karena meninggalkan iman, atau celaan     karena berbuat maksiat dan meninggalkan ketaatan. Perilaku kepribadian lawwamah, kemungkinan ada tiga, yaitu: Pertama, ia akan tertarik   dengan watak gelapnya, sehingga ia tetap dalam kualitas rendahnya. Kedua,  ia akan tertarik oleh nur qalbu, sehingga ia bertaubat dan                        berusaha memperbaiki kualitasnya; dan ketiga, ia berada dalam posisi netral, artinya perbuatan yang diciptakan tidak bernilai buruk atau       bernilai baik, tetapi berguna bagi kelestariannya sendiri (bersifat mubah). Tentang istilah nafsu al-lawwamah disebutkan dalam al-Quran;                      75:2/Qiyamah
وََلاأُقْسِمُبِالنَّفْسِاللَّوَّامَةِ(2)
     “Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri)”.
[4]   Asy-Syathibi, Al-Muwafaqat fi Ushul Al-Ahkam, (Beirut : Dar al-Fikr, tt), juz II, h. 21. Dalam mewujudkan kemaslahatan ini, para ulama ushul         fikih telah membuat penelitian bahwa ada lima unsur pokok yang disebut dengan “al-maqashid al-khamsah” (panca tujuan), yaitu, hifz ad-din       (memelihara agama), hifz an-nafs (memelihara jiwa),  hifz al-‘aql (memelihata akal),  hifz an-nasb (memelihara keturunan), dan hifz al-mal    (memelihara harta. Lihat, Ismail Muhammad M.Syah, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1992), h. 125. Abd al-Wahhab Khalaf, juga                  mengungkapkan lima yang harus dipelihara hanya sedikit perbedaan istilah; selengkapnya; hifzh ad-din; hifzh an-nafs; hifzh al-‘aql; hifzh al-   ‘irdh; dan hifzh al-mal. Jadi perbedaannya pada istilah an-nasb dengan al-‘irdh yang artinya kehormatan. Lihat Abd Wahhab Khalaf, dalam                    bukunya, ‘Ilm ushul al-Fqh, (T.Tp : Dar al-‘Ilm, 1978 M/1398 H), h. 200.
[5]   Husein Haikal, Hayatu Muhammad, Mesir : Maktabah nahdhah, 1965, hlm. 119-120.
[6]   Q.S.al-Ahzab/33:21:
لَقَدْكَانَلَكُمْفِيرَسُولِاللَّهِأُسْوَةٌحَسَنَةٌلِمَنْكَانَيَرْجُواللَّهَوَالْيَوْمَالْآخِرَوَذَكَرَاللَّهَكَثِيرًا(21)
     “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan      (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
    
     Q.S.al-Mumtahana/60:6:
لَقَدْكَانَلَكُمْفِيهِمْأُسْوَةٌحَسَنَةٌلِمَنْكَانَيَرْجُواللَّهَوَالْيَوْمَالْآخِرَوَمَنْيَتَوَلَّفَإِنَّاللَّهَهُوَالْغَنِيُّالْحَمِيدُ(6)
     “Sesungguhnya pada mereka itu (Ibrahim dan umatnya) ada teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap (pahala) Allah dan      (keselamatan pada) Hari kemudian. Dan barangsiapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah, Dia-lah Yang Maha Kaya lagi terpuji.”

[7]   Q.S. al-Qalam/ 68:4
وَإِنَّكَلَعَلىخُلُقٍعَظِيمٍ(4)
     “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”.
[8]   Al-Baihaqi, Dalail an-Nubuwah, Madinah : Edisi ‘Abd ar-Rahman Muhammad ‘Usman , Muhammad ‘Abd al-Muhsin al-Kutubi, 1969,  hlm. 247-    248.
[9]   Fazlur Rahman Anshari, Konsepsi Masyarakat Islam Modern, terj. Juniarso, dkk, Bandung : Risalah, 1983, hlm. 11.
[10]                    Atiyah al-Abrasyi, Azamat ar-Rasul saw,Beirut : Dar al-Qalam, 1966, hlm.171.
[11]                    Ibid. hlm. 179.
[12]                    Al-Baihaqi, op.cit, hlm. 155.
[13]                    Ibid. hlm. 247-248.
[14]                    Atiyah al-Abrasyi, op.cit, hlm. 255.
[15]                    Ibid. hlm. 256.
[16]                    Husein Haikal, op.cit, hlm.233.
[17]                    Al-Haihaqi,op.cit, hlm. 253.
[18]                    Ibid, hlm. 252.
[19]                    Ibid. hlm. 257.
[20]                    Muhammad Ridha, Muhammad Rasulullah saw, Qahirah : Dar Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyah ‘Isa Babi al-Halabi, 1966, hlm. 35.
[21]                    Al-Haihaqi,op.cit, hlm. 258.
[22]                    Husein Haikal, op.cit, hlm.232.
[23]                    Lihat Q.S.al-Baqarah/2:57;
[24]                    Lihat Q.S.al-Qashash/:77;
[25]                    Husein Haikal, op.cit, hlm.233.
[26]                    Harta rampasan disebut juga dengan ghanimah, yakni harta yang diperoleh dari orang kafir dengan melalui pertempuran, sedangkan yang      diperoleh tidak dengan perang disebut harta fa’i. pembagian ghanimah ialah seperlimanya diperuntukkan bagi Allah, rasul-Nya, kerabat Rasul,                          anak yatim, orang miskin dan ibn sabil..  Sedangkan yang empat perlimanya dibagikan kepada mereka yang ikut berperang.
[27]                    Atiyah al-Abrasyi, op.cit, hlm. 251-252
[28]                    Lihat Q.S.al-Hujurat/49:13. teks ayatnya ;
يَاأَيُّهَاالنَّاسُإِنَّاخَلَقْنَاكُمْمِنْذَكَرٍوَأُنْثَىوَجَعَلْنَاكُمْشُعُوبًاوَقَبَائِلَلِتَعَارَفُواإِنَّأَكْرَمَكُمْعِنْدَاللَّهِأَتْقَاكُمْإِنَّاللَّهَعَلِيمٌخَبِيرٌ(13)
     “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-             bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang    yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
[29]                    Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, jilid II, edisi M.Fu’ad’Abd. al-Baqi, Beirut : Dar al-Fikr, tt, hlm. 1376.
[30]                    Ibid.  hlm. 1373.
[31]                    Al-Baihaqi,op.cit, hlm. 166.
[32]                    At-Tusi, al-Luma’, Baghdad : Maktabah al-Musanna, 1960, hlm. 166.
[33]                    Ibid.
[34]                    Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz as-Sahabah, juz II, Mesir : Matba’ah as-Sa’adah, 1329 H, hlm. 76.
[35]                    Al-Amrusyi, Qisas A’lam al-Islami, jilid III,Beirut : Daral-Masyriq, tt, hlm. 42-43.
[36]                    Abbas Mahmud al-‘Aqqad, KecemerlanganKhalifah ‘Umar bin Khattab, terj. Bustami A.Gani dan Zainal AbidinAhmad, Jakarta: Bulan Bintang,           1978, hlm. 246.
[37]                    Abu al-Faid, Jamharat al-Auliya’ wa A’lam Ahl at-Tasawwuf, jilid II, Qahirah : Mu’assasah al-Halabi, 1967, hlm. 22.
[38]                    At-Tusi,op.cit, hlm.173.
[39]                    Abu al-Faid, op.cit, hlm. 20.
[40]                    At-Tusi, op.cit, hlm. 174.
[41]                    Abu al-Faid, op.cit, hlm. 21.
[42]                    Ibid. hlm, 73.
[43]                    Abbas Mahmud al-‘Aqqad, op.cit, hlm. 249.
[44]                    Fazl Ahmad, ‘UsmanKhalifah Ketiga, Jakarta : Hudaya, 1971, hlm. 10.
[45]                    At-Tusi, op.cit, hlm. 176.
[46]                    Fazl Ahmadf, op.cit,  hlm. 15.
[47]                    Ibn Hajar al-‘Asqalani, al-Isabah fi Tamyiz as-Sahabah, juz II, op.cit, hlm. 509.
[48]                    Ali ibn Abi Thalib, Nahj al-Balaghah, Syarh al-Imam asy-Syaikh Muhammad Abduh, Mesir: daral-Ma’arif, tt, hlm.130.
[49]                    Ibid. hlm. 93.
[50]                    Ibn al-Asir,  Usud al-Ghabah, Beirut : Dar al-Fikr, tt, hlm. 595.
[51]                    Al-Amrusyi, op.cit, hlm. 8-9.
[52]                    Abd al-Hakim Hasan, at-Tasawwuf fi Syi’ri al-‘Arabi, Mesir : Anjalu al-Mishriyyah, 1954, hlm. 45.
[53]                    At-Taftazani, op.cit,  hlm. 82, dan Ali  Sami’ an-Nasysyar, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi al-Islami, jilid III, Beirut : Dar al-Ma’rifah, 1977, hlm. 409.
[54]                    Ibid. hlm.416-417.
[55]                    Nicholson, fi at-Tasawwuf al-Islami wa  Tarikhi, disunting oleh abu al-A’la ‘Afifi, Beirut : Lajnah at-Ta’lif wa at-tarjamah wa an-nasyr, 1969,      hlm.3.
[56]                    Nicholson, As-Sufiyah fi al-Islam, terj. Bur ad-Din Syaibah, Mesir : Maktabah al-Khanji, 1951, hlm. 22.
[57]                    Ali  Sami’ an-Nasysyar, Nasy’ah al-Fikr al-Falsafi al-Islami, op.cit, hlm.110-111.
[58]                    Ibid. hlm. 412.
[59]                    Ibid.hlm  413.
[60]                    Ibid. hlm. 413.
[61]                    Ibrahim bin Adham memang selalu mondar-mandir antara Kufah dan Basrah, namun Kufah lebih cenderung kepada hadis dan fikih, sedangkan      Basrah kepada zuhud dan hadis. Dari hasil introspeksinya hadis bukan untuk mencapai dunia, akan tetapi untuk akhirat. Oleh karena itu dalam      mencari hadis, Ibrahim menekankan segi adab atau sopan santun. Lihat Ibid. hlm. 314-415.
[62]                    Abu Nu’aim, Hilyah al-Aulia’, Jairo ; Musthafa al-Babi akl-Halabi, tt,jilid VII. Hlm. 394.
[63]                    Ibid. hlm. 394.
[64]                    Ibid. jilid VIII,  hlm. 18.
[65]                    Ibid. hlm. 13.
[66]                    Ibid. jilid VII, hlm. 22 dan  86.
[67]                    Ziauddin Sardar, Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim, terj. Rahmani Astuti,  Bandung : Mizan, 1993, hlm. 45.
[68]                    Abdus Satar Nuwair, al-WaqtHuwal Hayat Dirasah Manhajiyyah lil Ifadah min Awqat al-‘Umr, Qatar: Dar as-Saqafah, 1488 H, hlm.86-87.
[69]                    Ajaran agama dapat ikut berperan dalam proses terbentuknya perilaku ekonomi dan aktivitas keduniaian sesuai dengan hasil penelitian      Weber, Geertz, dan Mitsuo Nakamura, lihat; Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin, Studi tentang Pergerakan      Muhammadiyah di Kota Gede, terj. Yusron Asyrafi, Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 1983, hlm.12-14. Sesuai pula dengan hasil                penelitian Robert N.Bellah, Tokugawa religion, New York: Harper and Row, 1970.
[70]                    Musa Asy’ari, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, Yogyakarta: Lesfi, 1997.,hlm. 40-43.
[71]                    Pranbudi Atmosudirdjo, Pengambilan Keputusan, Jakarta: Ghalia Indah, tt, hlm.32.
[72]                    Suma’mur, Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta : PT. Gunung Agung, 1985, hlm. 207-209.
[73]                    Djamaluddin Ancok, Nuansa Psikologi Pembangunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995, hlm. 106.
[74]                    Musa Asy’arie, op.cit, hlm. 45.
[75]                    Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada, 1997, hlm. 229.
[76]                    Musa Asy’arie, op.cit, hlm. 34-35.
[77]                    Muhammad Iqbal, Reconstruction of Religious Thought in Islam, Lahore: Syaikh Muhammad Asyraf, 1951, hlm.175.
[78]                    Musa Asy’arie, op.cit, hlm. 36.
[79]                    Fazlur rahman, Major Themes of the Quran, Chicago: Bibliotheca Islamica, 1980, hlm. 22.
[80]                    Musa Asy’arie, op.cit, hlm. 40.
[81]                    Mahmud Abu-Sa'ud, Al-Fikru-Islamiy al-Mu'asirmadmunuhu wa Mustaqbaluh, Beirut, al-Kuwait, tpn, 1978, hlm. 49.
[82]                    Ismail Raji al-Faruqiy, Ab’adul Ibadat fi al-Islam, dalam Jurnal Al-Muslim al-Mu’asir al-Qahirah, No. 10, 1977, hlm. 26.
[83]                    Mahmud Abu-Sa'ud, op.cit, hlm. 46.
[84]                    Lihat Nurchlish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta : Yayasan Wakaf  Paradiman, 1992, hlm. 415.
[85]                    M.Hasbi Ash-Shiddieqy, Al-Islam, jilid II,Jakarta : Bulan Bintang, 1977, hlm. 28-29.
[86]                    ‘Abdul  Aziz Muhammad as-Saliman, Al-Asilah wa al-Ajwibah l-Usuliyah ‘alal-‘Aqidah al-Wasitiyyah, jilid II, Riyadh : Mathba’ah al-Madinah,               1979, hlm. 113.
[87]                    Imam Muslim, Sahih Muslim, bisyarh an-Nawawiy, jilid 9, Beirut ; Dar al-Ma’rifah, t.t., hlm. 215.
[88]                    Ibrahim Anis, dkk, al-Mu’jam al-Wasit, jilid I, Beirut : dar al-Fikr, tt,  hlm. 28.
[89]                    Louis Ma’luf, Al-Munjidfi al-Lughah wa  al-A’lam,  Beirut : Dar al-Masyriq, 1985, hlm. 16.
[90]                    Elias A Elias & Ed. E. Elias, Al-Qamus al-‘Asyriy, kairo : Elias Modern Press, 1972, Ed. 9, .hlm. 39-40.
[91]                    Muhammad Aliy as-Sabuniy, Safwatut Tafasir, jilid I, Beirut : Dar al-Qur’an al-Karim, 1981, hlm. 501.
[92]                    Muhammad Ibn Aliy Ibn Muhammad asy-Syaukaniy, Fath al-Qadir al-Jami’ Baina Fanny ar-Riwayah wa ad-Dirayah min ‘Ilm at-Tafsir, Beirut :        Daral-Ma’arif, tt, hlm., 308.
[93]                    Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan      kontribusi dana (amal /expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepa katan.Lihat, Syafi`i Antonio, Syafi`i Antonio, Perbankan Syari`ah: Wacana Ulama Dan Cendikiawan (Jakarta:Tazkia Institut dan BI, 1999),               h.187. Lihat juga, Mu`amalat Ins titut, Bank Syari`ah :Perspektif Peraktisi,(Jakarta:Mu`amalat Institut, 1999), h.  77-78.
[94]                    Abu Daud, Sunan Abi Daud, (Mesir :Mustafa al-Babi al-Halabi, 1951), kitab al-Buyu`, hadis no.2936.
[95]                    Seyyed Hossein Nasr, “Pandangan Islam tehadap Etika Kerja”, terj. Ahmad Mu’azin dalam iUlumul Qur’an,I No. 6. vol II.Jakarta : LASF,      1990,hlm. 5.
[96]                    Muhammad al-Ghazali, Khuluq al-Muslim, Kuwait : Dar al-Bayan, 1970, hlm. 31.
[97]                    Jalal ad-Din as-Suyuti, al-Jami’ as-Sagir, Dar al-Fikr, Beirut,t.t., hlm. 130
[98]                    Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power Sebuah Inner Journey Melalui al-Ihsan, Jakarata : Arga, 2006, hlm. 128-129.
[99]                    Marshal G.S.Hodgson, The Venture of Islam,  Chicago: The University of Chicago Press, jilid I, 1974, hlm. 71.
[100]Max I. Dimont, The Indestructible Jews, New York: New American Library, 1973, hlm. `89.
[101]    Al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, jilid 1, Mustafa al-Halabi, Mesir, 1958, h. 191. lihat juga Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al- Manar,  jilid V, (Mesir ; Maktabah al-Qahirah, 1960), h. 174
[102]    Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur’an, jilid V. ( Beirut ; Dar Ihya’ at-Turas al-‘Arabi, 1967), h. 118
[103]    Abdullah Yusuf Ali, The Holy Qur’an, (Maryland :Amana Corporation, Brentwood,  1989), h. 661, catatan  no. 2127.