PENGERTIAN
DAN RUANG LINGKUP PEMIKIRAN ISLAM
A.
Pendahuluan
Sebuah pemikiran tidak jarang dinisbatkan kepada orang yang menyebarkan
dan mengadopsinya sehingga dinyatakan, misalnya, “pemikiran Eropa” atau “pemikiran
Rusia”; kadang-kadang juga dinisbatkan kepada peletak dasar pemikiran itu
sehingga sering dinyatakan, “pemikiran
Marxis”, “pemikiran Plato”, dan “pemikiran Hegel”.
Suatu pemikiran juga acapkali
disandarkan pada kaidah dasar (al-qâ‘idah al-asasiyyah) yang menjadi landasan pemikiran tersebut sehingga dinyatakan, misalnya,
“pemikiran Islam”. Disebut demikian
karena kaidah dasar yang membangun pemikiran tersebut adalah akidah Islam.
Akidah Islam bukan berasal dari orang Arab atau manusia lainnya. Akidah Islam
berasal dari Allah swt Dialah yang telah memberi nama bagi ideologi (mabda’) dan agama ini dengan nama Islam. Allah swt berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali Imran [3]: 19).
Pemikiran Islam, baik yang dinukil
dari orang Arab atau dari selain orang Arab, tetap dipandang sebagai pemikiran
Islam. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara pemikiran yang dinukil dari
Imam Syafi’i, Imam al-Bukhari, Muhammad Asad an-Namsawi atau Abul A’la
al-Mawdudi. Semuanya merupakan pemikiran Islam, meskipun terdapat keragaman ras
atau bahasa pada individu-individu yang melakukan ijtihad atau yang menukilnya.
Akan tetapi, pemikiran orang Arab sebelum datangnya Islam, bukanlah pemikiran
Islam. Oleh karena itu, “pemikiran Islam”
merupakan penyebutan sebuah pemikiran dengan sebuah sebutan yang sempurna,
tanpa ada penambahan ataupun pengurangan. Dengan demikian, semua pemikiran yang
bersumber dari Islam, disebut dengan “pemikiran
Islam.”
Saya menyatakan demikian karena saya telah melihat hubungan yang kuat
antara orang Arab dan Islam serta antara bahasa Arab dan Islam. Allah swt telah
berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ
Dialah Yang telah mengutus kepada kaum yang ummi (buta huruf) seorang
rasul di antara mereka. (QS al-Jumu‘ah [62]: 2).
Mengenai Al Quran, Allah telah berfirman:
وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
Ini (al-Quran) adalah dalam bahasa Arab yang terang. (QS an-Nahl
[16]: 103).
فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Kami telah memudahkan al-Quran itu dengan bahasamu
(Muhammad) agar mereka mendapatkan pelajaran. (QS
ad-Dukhan [44]: 58).
Saya menyadari bahwa nash-nash
al-Quran dan as-Sunnah tidak mungkin dipahami dengan pemahaman yang benar dan
mendalam, kecuali dengan bahasa Arab; tidak mungkin pula berijtihad, yakni
melakukan penggalian (istinbâth) hukum-hukum
syariat, kecuali dengan bahasa Arab. Atas dasar ini, potensi Arab (orang Arab
dan bahasa mereka) dan Islam adalah ibarat saudara kembar yang tidak bisa
dipisahkan. Tatkala potensi Arab dipisahkan dari Islam, Daulah Islamiyah
menjadi lemah, dan kemudian hancur.
Suatu definisi yang
benar haruslah memenuhi kriteria jaami'an dan maani'an. Maksudnya menyeluruh (jaami'an) bagi seluruh
bagian-bagian dan sifat-sifat dari sesuatu yang didefinisikan, dan mencegah (maani'an) masuknya makna asing ke dalam sesuatu yang didefinisikan. Berdasarkan hal
itu maka dipilihiah pengertian berikut untuk pemikiran Islam, yakni bahwa
pemikiran Islam adalah al hukmu 'alaa al waaqi' min
wijhati nazhar il islaam (hukum/penilaian terhadap suatu fakta berdasarkan sudut pandang Islam).
Unsur-unsur pemikiran
Islam itu ada tiga, yakni fakta (al waaqi'), hukum (al hukmu), dan hubungan antara
fakta dengan hukum. Fakta itu sendiri dapat berupa suatu benda dan dapat berupa
perbuatan. Jika fakta itu berupa benda maka hukumnya ada dua macam, yakni mubah
(halal) dan haram. Misalnya buah anggur yang hukumnya mubah dan khamer yang
hukumnya haram. Ada sebuah kaidah syara' yang diambil dari nash-nash Alquran
dan al hadits: “Hukum asal setiap benda adalah
mubah, sampai datang dalil yang mengharamkannya”.
Sedangkan jika fakta itu berupa perbuatan, maka hukumnya ada lima, yakni fardhu
(wajib), mandub (sunnah), mubah, makruh dan haram. Misalnya puasa Ramadhan
hukumnya wajib, shadaqah hukumnya sunnah (mandub), makan roti mubah, berbicara
di WC makruh dan riba itu haram.
Kaidah syara'
yang dinisbatkan dengan perbuatan adalah: “Hukum asal setiap
perbuatan adalah terikat dengan hukum syara.
Hukum atas fakta haruslah diambil dari dalil-dalil syara’ yaitu Kitabullah dan
Sunnah Rasul, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh kitabullah dan sunnah Rasul
yakni ijma’ sahabat dan Qiyas.
B. Pengertian
Pemikiran Islam
Secara etimologis, pemikiran berasal dari kata dasar
pikir, yang berarti akal budi, ingatan,
angan-angan. Dan ketika kata dasar tersebut mendapatkan imbuhan awalan ber-, maka akan mempunyai makna
menggunakan akal budi untuk
mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, atau menimbang-nimbang dalam ingatan. Adapun kata pemikiran sendiri
mempunyai pengertian proses, cara
atau perbuatan memikir.[1]
Sedangkan kata
Islam secara etimologi
berasal dari bahasa
Arab, didefinisikan dari
“salima” yang berarti selamat dari bahaya atau aslama yang berarti yang lebih selamat, aman. Adapun islam
dalam bentuk noun atau kata benda berarti
ketundukan, kepatuhan, agama
Islam yang dibawa
Nabi Muhammad SAW.[2]
Dari kata “aslama”
tersebut yang berarti “memelihara dalam
keadaan yang selamat sentosa”. Dan juga berarti “menyerahkan diri, tunduk,
patuh dan taat”. Kata aslama itulah yang
menjadi kata pokok dalam “Islam”. Mengandung segala arti yang ada dalam arti
pokoknya. Sesungguhnya Islam itu adalah agama sepanjang sejarah
kehidupan manusia, agama yang diseru oleh Nabi dan Rasul yang pernah di utus oleh Allah SWT kepada
bangsa-bangsa dan kelompokkelompok
manusia.[3]
Dengan demikian pengertian Islam
dapat diambil dari ungkapan Dawam
Rahardjo sebagaimana yang dikutip oleh Amin Syukur[4], bahwa Islam dalam
wujudnya memiliki dua bentuk. Pertama, Islam sebagai sistem keagamaan yang
bersifat transendental yang ideal. Yaitu sebagaimana tertuang dalam berbagai ilmu keislaman yang merupakan hasil interpretasi atau pemahaman secara kontekstual para ulama’ terhadap Al-Qur’an dan keteladanan Rasulullah SAW. Kedua, Islam yang tercermin dalam realitas sejarah kebudayaan, peradaban dan masyarakat muslim.
Rahardjo sebagaimana yang dikutip oleh Amin Syukur[4], bahwa Islam dalam
wujudnya memiliki dua bentuk. Pertama, Islam sebagai sistem keagamaan yang
bersifat transendental yang ideal. Yaitu sebagaimana tertuang dalam berbagai ilmu keislaman yang merupakan hasil interpretasi atau pemahaman secara kontekstual para ulama’ terhadap Al-Qur’an dan keteladanan Rasulullah SAW. Kedua, Islam yang tercermin dalam realitas sejarah kebudayaan, peradaban dan masyarakat muslim.
Ini artinya bagaimana Islam sebagai agama yang memuat
ajaran-ajaran
Ilahi dapat dibahasakan dan dilaksanakan oleh manusia, sehingga untuk dapat
menerjemahkan pesan Tuhan yang disabdakan melaui Al-Qur’an sebagai kitab
tuntunan umat Islam, maka perlu adanya suatu pemikiran atau kajian ilmu untuk
memahami pesan yang disampaikan Al-Qur’an, sehingga Al-Qur’an dapat
membumi di masing-masing hati sanubari umat Islam. Oleh karena itu semua
pemikiran umat Islam tentang agama, sudah barang tentu adalah Al-Qur’an.[5]
Ilahi dapat dibahasakan dan dilaksanakan oleh manusia, sehingga untuk dapat
menerjemahkan pesan Tuhan yang disabdakan melaui Al-Qur’an sebagai kitab
tuntunan umat Islam, maka perlu adanya suatu pemikiran atau kajian ilmu untuk
memahami pesan yang disampaikan Al-Qur’an, sehingga Al-Qur’an dapat
membumi di masing-masing hati sanubari umat Islam. Oleh karena itu semua
pemikiran umat Islam tentang agama, sudah barang tentu adalah Al-Qur’an.[5]
Ketika ilmu pengetahuan dan
teknologi modern memasuki dunia Islam,
terutama setelah pemukaan abad kesembilan belas, yang dalam sejarah Islam
dipandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat
selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme,
nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-
persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islampun mulai memikirkan cara
mengatasi persoalan-persoalan baru itu. Dengan jalan tersebut diharapkan akan
dapat melepaskan umat islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa
kepada kemajuan.[6]
terutama setelah pemukaan abad kesembilan belas, yang dalam sejarah Islam
dipandang sebagai permulaan periode modern. Kontak dengan dunia Barat
selanjutnya membawa ide-ide baru ke dunia Islam seperti rasionalisme,
nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-
persoalan baru, dan pemimpin-pemimpin Islampun mulai memikirkan cara
mengatasi persoalan-persoalan baru itu. Dengan jalan tersebut diharapkan akan
dapat melepaskan umat islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa
kepada kemajuan.[6]
Untuk mengetahui
dan melihat perkembangan
maju mundurnya umat Islam yang terjadi dalam sejarah pemikiran,
akan diuraikan di bawah ini.
C.
Ruang Lingkup Pemikiran Islam
Berbicara ruang lingkup pemikiran
Islam, maka tidak terlepas dari mana
Islam tersebut lahir. Tanah Arab adalah cikal bakal tumbuh dan berkembangnya
agama Islam, sehingga untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pemikiran
Islam, maka perlu kiranya menelisik sumber aslinya hingga masa sekarang.
Islam tersebut lahir. Tanah Arab adalah cikal bakal tumbuh dan berkembangnya
agama Islam, sehingga untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pemikiran
Islam, maka perlu kiranya menelisik sumber aslinya hingga masa sekarang.
Ketika masa
Nabi Muhammad masih
hidup, penggunaan penalaran
rasional dalam memahami ajaran Islam belum banyak dilakukan, karena wahyu masih belum berhenti diturunkan. Masalah-masalah yang timbul di kalangan
masyarakat diselesaikan oleh wahyu, atau oleh Nabi Muhammad sebagai orang
yang memperoleh “otoritas tasyri’” (menetapkan hukum). Bahkan dalam akidah
terdapat kecenderungan agar tidak umat Islam tidak mempertanyakan hal-hal
yang memang bukan jangkauan atau otoritas akal untuk membahasnya, misalnya
seperti masalah takdir. Hal tersebut dikarenakan umat Islam pada masa Nabi baru
saja dialihkan dari keyakinan syirik (politeisme) kepada keyakinan tauhid (monoteisme), dan situasinya memang belum memerlukan penggunaan nalar rasional.[7]
rasional dalam memahami ajaran Islam belum banyak dilakukan, karena wahyu masih belum berhenti diturunkan. Masalah-masalah yang timbul di kalangan
masyarakat diselesaikan oleh wahyu, atau oleh Nabi Muhammad sebagai orang
yang memperoleh “otoritas tasyri’” (menetapkan hukum). Bahkan dalam akidah
terdapat kecenderungan agar tidak umat Islam tidak mempertanyakan hal-hal
yang memang bukan jangkauan atau otoritas akal untuk membahasnya, misalnya
seperti masalah takdir. Hal tersebut dikarenakan umat Islam pada masa Nabi baru
saja dialihkan dari keyakinan syirik (politeisme) kepada keyakinan tauhid (monoteisme), dan situasinya memang belum memerlukan penggunaan nalar rasional.[7]
Dengan bergulirnya
waktu sejarah umat
Islam mewarisi sebuah peradaban kuno yang besar di abad ke-20 dalam
beberapa dekade sekarang, dunia Arab sedang
melakukan modernisasi berbagai
aspek kemasyarakatan. Proses perubahan ke arah modernitas
ini tidak terjadi secara bersamaan atau meliputi seluruh bagian dunia Arab. Di
beberapa bagian terjadi perubahan yang lebih
mendalam dibandingkan dengan
bagian lainnya, dan
modernisasi memperlebar jangkaunnya hingga merambah ke dalam
beberapa struktur sosial Arab,
serta mulai menjebol institusi-institusi mapan yang mempengaruhi nilainilai tradisional, pola-pola perilaku dan sikap.
Kekuatan perubahan pada dasarnya
didorong oleh model kebudayaan
Barat modern, khususnya yang terjadi hegemoni kolonial. Bahkan setelah
kemerdekaan politik, negara-negara Arab terus melakukan modernisasi dengan
berusaha melampaui paradigma Barat. Seluruh perubahan ke arah modernitas ini
bukan tanpa tantangan, kadang ringan dan kadang berat, yang terus menerus
menghambat pertumbuhan, meskipun tidak menghentikan proses modernisasi
secara total.[8]
Barat modern, khususnya yang terjadi hegemoni kolonial. Bahkan setelah
kemerdekaan politik, negara-negara Arab terus melakukan modernisasi dengan
berusaha melampaui paradigma Barat. Seluruh perubahan ke arah modernitas ini
bukan tanpa tantangan, kadang ringan dan kadang berat, yang terus menerus
menghambat pertumbuhan, meskipun tidak menghentikan proses modernisasi
secara total.[8]
Dalam dunia Islam tradisional,
subjek dan objek pengetahuan dipandang
bersifat hierarkis. Realitas objek bukan hanya dunia spasio-temporal (ruang-waktu) yang tersedia yang bagi alat-alat indra saja. Yang pertama adalah Realitas
Mutlak, Allah. Dia sendirilah Yang Ada dalam pengertian mutlak kata itu.
Kemudian terdapat alam malakut, alam khayal yang dekat (‘alam al-khayal), dunia jin dan manusia, dan akhirnya dunia alami. Al-Qur’an secara konstan
menyebut realitas-realitas ini sebagai langit dan bumi. Langit, perlu digaris
bawahi, selalu dalam bentuk jamak. Dari sudut Islam jelas bahwa ilmu yang
berhubungan dengan Tuhan tidak mempunyai pijakan yang sama dengan ilmu
tentang jiwa manusia ataupun dengan ilmu tentang mineral. Ini kontras sekali
dengan sistem pendidikan modern di mana teologi, psikologi dan geologi
ditempatkan secara horisontal satu sama lain, sebagaimana laci-laci dalam sebuah
lemari kabinet yang masing-masing berisi sejumlah informasi.
bersifat hierarkis. Realitas objek bukan hanya dunia spasio-temporal (ruang-waktu) yang tersedia yang bagi alat-alat indra saja. Yang pertama adalah Realitas
Mutlak, Allah. Dia sendirilah Yang Ada dalam pengertian mutlak kata itu.
Kemudian terdapat alam malakut, alam khayal yang dekat (‘alam al-khayal), dunia jin dan manusia, dan akhirnya dunia alami. Al-Qur’an secara konstan
menyebut realitas-realitas ini sebagai langit dan bumi. Langit, perlu digaris
bawahi, selalu dalam bentuk jamak. Dari sudut Islam jelas bahwa ilmu yang
berhubungan dengan Tuhan tidak mempunyai pijakan yang sama dengan ilmu
tentang jiwa manusia ataupun dengan ilmu tentang mineral. Ini kontras sekali
dengan sistem pendidikan modern di mana teologi, psikologi dan geologi
ditempatkan secara horisontal satu sama lain, sebagaimana laci-laci dalam sebuah
lemari kabinet yang masing-masing berisi sejumlah informasi.
Selanjutnya, dalam perspektif Islam terdapat hierarki
dalam diri subjek yang mengetahui.
Manusia bukan hanya
subjek Cartesian cogito
yang “mengetahui” pada satu dataran tunggal dari apa yang disebut
dengan pikiran. Manusia dapat mengetahui
melalui indra, melalui daya khayal, melalui akal budi yang begitu sering disinggung dalam Al-Qur’an dan
akhirnya melalui wahyu yang
merupakan mitra objektif pengintelekan (inteleksi) melalui mata hati (‘ain al-qulub). Sebagai wahyu pemungkas Kalam Tuhan,
Al-Qur’an memuat segenap prinsip pengetahuan
karena ia berada
pada puncak hierarki
dalam cara dan sumber ‘untuk mengetahui’ yang
kemudian disusul secara hierarkis oleh caracara
‘untuk mengetahui’ yang lain.
Otoritas-otoritas intelektual
Islam sepenuhnya sadar akan hierarki objek
dan subjek pengetahuan. Berdasarkan realitas-realitas ini mereka mencoba
mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang dijabarkan hukan hanya dari Al-Qur’an dan
hadits, tetapi juga yang diwarisi oleh para ilmuan dan sarjana muslim dari
peradaban-peradaban terdahulu seperti, Yunani, Persia, dan India. Mereka
mengembangkan skema-skema klasifikasi ini menurut perspektif intlektual
mereka sendiri, bukan berdasarkan ulah atau khayalan individual, karena dalam
tradisi Islam apa yang diucapkan (maa qaala) selalu lebih didahulukan daripada
siapa yang mengucapkan (man qaala). Ini merupakan tradisi-tradisi intelektual
utama yang amat penting dalam menentukan sisi-sisi pemikiran Islam mengenai
subjek tertentu.[9]
dan subjek pengetahuan. Berdasarkan realitas-realitas ini mereka mencoba
mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang dijabarkan hukan hanya dari Al-Qur’an dan
hadits, tetapi juga yang diwarisi oleh para ilmuan dan sarjana muslim dari
peradaban-peradaban terdahulu seperti, Yunani, Persia, dan India. Mereka
mengembangkan skema-skema klasifikasi ini menurut perspektif intlektual
mereka sendiri, bukan berdasarkan ulah atau khayalan individual, karena dalam
tradisi Islam apa yang diucapkan (maa qaala) selalu lebih didahulukan daripada
siapa yang mengucapkan (man qaala). Ini merupakan tradisi-tradisi intelektual
utama yang amat penting dalam menentukan sisi-sisi pemikiran Islam mengenai
subjek tertentu.[9]
Dari perkembangan pemikiran Islam dari masa ke masa
inilah, muncul
pemikaran atau gerakan Islam yang sangat bervariatif, sehingga di era modern ini Islam memiliki madzhab (aliran) pemikiran yang banyak sekali. Akan tetapi kita
tidak ingin menyoroti madzhab dan aliran pemikiran tersebut kecuali dari sudut
peranan dan sejauh mana keterkaitan dengan dua sistem, yaitu elitisme
(nakhbawiyah) dan populisme (jamahariyah), sebagaimana kajian ini juga tidak
ingin memasukkan pembahasan tentang madzhab-madzhab dan aliran-aliran
pemikiran lain yang tidak membawa ‘misi perubahan’ secara sempurna.
pemikaran atau gerakan Islam yang sangat bervariatif, sehingga di era modern ini Islam memiliki madzhab (aliran) pemikiran yang banyak sekali. Akan tetapi kita
tidak ingin menyoroti madzhab dan aliran pemikiran tersebut kecuali dari sudut
peranan dan sejauh mana keterkaitan dengan dua sistem, yaitu elitisme
(nakhbawiyah) dan populisme (jamahariyah), sebagaimana kajian ini juga tidak
ingin memasukkan pembahasan tentang madzhab-madzhab dan aliran-aliran
pemikiran lain yang tidak membawa ‘misi perubahan’ secara sempurna.
Berdasarkan hal itu ada tiga
madzhab pemikiran yang berkembang di Dunia Islam secara Internasional.
1. Madzhab Pemikiran Pertama
Madzhab pemikiran ini menyatukan
sistem-sistem elitisme, bunyawiyyah (strukturalasime) serta populisme. Didirikan oleh oleh Imam Hasan
Al-Banna pada tahun empat puluhan sejak
bermunculan beberapa madzhab pemikiran lain yang mempunyai misi untuk memperbaiki kondisi umat (Islam) pada saat itu.
Seperti yang
paling terkenal madzhab-madzhab Jamaluddin
Al-Afghani, Muhammad Abduh
dan Syaid Rasyid Ridha.
2. Madzhab Pemikiran Kedua
Madzhab ini
bercirikan ishthifaiyyatu al-munha
(selektifitas misi) dan nukhbawiyyatu at-tasykil (kaderisasi golongan elit)
yang dilandasi dengan pemikiran radikal (al-fikr al-
mistaly).
Pencetusnya adalah As-Syahid
Sayid Quthb pada tahun enam
puluhan. Gerakan Islam ini telah mengalami tekanantekanan sangat kejam yang dilakukan oleh para penguasa Mesir dan
dibantu oleh badan-badan militer
Inggris.
3. Madzhab Pemikiran Ketiga
Madzhab
pemikiran ini bercirikan
ulamiyyah-jamahariyyah (dimotori oleh kaum cendekia dan rakyat) dam terbentuk oleh pemikiran serta
pengaruh Revolusi Islam di
Iran khususnya pemikiran-pemikiran pemimpin
revolusi tersebut yaitu Imam
Khomaini. Aliran ini menuntut pentingnya peran aktif dari rakyat dalam mewujudkan suatu perubahan yang Islam
di mana para ulama (kaum
cendekia)-nya juga dituntut untuk mampu memikul tanggung jawab dalam memimpin
rakyat serta sebagai
motor penggerak proses
perubahan tersebut secara keseluruhan.
Imam Hasan Al-Banna mempunyai
satu keyakinan kuat akan pentingnya ‘Gerakan Islamisasi’ yang mana ia sendiri
telah menetapkan langkah-langkah serta menyerukan keada segenap umat Islam untuk merealisasikannya.
Namun beliau berpendapat bahwa suatu gerakan perubahan pertama kali harus
melalui satu fase yang
mana di situ
dibentuk satu generasi
muslim yang mampu menghadapi
konsekwensi-konsekwensi yang terjadi sebelum dan sesudah proses perubahan tersebut.
Beliau juga menekankan akan
pentingnya kualitas (anggota pergerakan)
dalam menghadapi sistem jahiliyah dan menetapkan syarat-syarat khusus yang
tidak ringan yang harus dipenuhi oleh siapa saja yang disiapkan untuk
kepentingan tersebut. Hal itu tampak jelas berdasarkan pandangan beliau tentang
‘komunitas yang berkualitas’ sebagaimana yang beliau sampaikan kepada
generasi pertama dari para aktifis: “anda sekalian merupakan spirit baru yang
mengalir dalam qalbu umat Islam untuk membangkitkan kembali dengan Al-
Qur’an. Dan merupakan cahaya baru yang memancarkan untuk menghancurkan
kegelapan materialisme dengan ma’rifatullah. Serta merupakan suara yang
menggema dan senantiasa menyerukan dakwah Rasulullah SAW”.[10]
dalam menghadapi sistem jahiliyah dan menetapkan syarat-syarat khusus yang
tidak ringan yang harus dipenuhi oleh siapa saja yang disiapkan untuk
kepentingan tersebut. Hal itu tampak jelas berdasarkan pandangan beliau tentang
‘komunitas yang berkualitas’ sebagaimana yang beliau sampaikan kepada
generasi pertama dari para aktifis: “anda sekalian merupakan spirit baru yang
mengalir dalam qalbu umat Islam untuk membangkitkan kembali dengan Al-
Qur’an. Dan merupakan cahaya baru yang memancarkan untuk menghancurkan
kegelapan materialisme dengan ma’rifatullah. Serta merupakan suara yang
menggema dan senantiasa menyerukan dakwah Rasulullah SAW”.[10]
Dengan demikian dengan keragaman pemikiran Islam yang
muncul ke permukaan diharapkan akan membawa
Islam mencapai Renaisans yang pada akhirnya
akan mencapai kejayaan umat Islam (Aufklarung).
C. Jenis-Jenis Pemikiran Islam
Secara
historis pemikiran Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Pertumbuan kajian terhadap teologi (ilmu
kalam), tasawuf dan kebahasaan.
2. Kajian terhadap filsafat, sains, dan sejarah.
3. Kurun waktu kebekuan, kemunduran, dan
kebangkitan.
Secara detail pembagian di atas dapat dijelaskan bahwa
segera setelah wafatnya Nabi Muhammad, kebutuhan
mendesak yang dirasakan
adalah bagaimana memelihara
dan menyebarluaskan naskah
Al-Qur’an yang mendapatkan
prioritas utama dari Nabi Muhammad sendiri selama hayatnya. Pengajaran Al-Qur’an, tajwid,
hifdh Al-Qur’an dan bahkan pengajaran penulisan bahasa Arab mendapatkan perhatian utama. Tugas untuk mengumpulkan
hadits Nabi yang dimulai sejak masa hayat
beliau juga mendapatkan perhatian.
Akan tetapi dengan perkembangan Islam ke negara-negara lain yang
memiliki peradaban dan budaya sendiri, menyebabkan bangsa Arab terpaksa
menghadapi tantangan-tantangan baru dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip
ajaran agama mereka terhadap persoalan-persoalan hidup sehari-hari.
Hal ini mendorong perkembangan ilmu fiqih (hukum) yang paling
Akan tetapi dengan perkembangan Islam ke negara-negara lain yang
memiliki peradaban dan budaya sendiri, menyebabkan bangsa Arab terpaksa
menghadapi tantangan-tantangan baru dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip
ajaran agama mereka terhadap persoalan-persoalan hidup sehari-hari.
Hal ini mendorong perkembangan ilmu fiqih (hukum) yang paling
penting pada saat itu. Ilmu ini
memerlukan ilmu pengetahuan tentang Al-Qur’an
dan Sunnah dan juga memerlukan intelejensi untuk memberikan suatu ketetapan
hukum berdasarkan ajaran-ajaran pokok dan jiwa Islam. Dalam kenyataannya,
semenjak dahulu umat Islam sendiri menyadari betapa pentingnya fiqh tersebut
dalam semua hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari.[11]
dan Sunnah dan juga memerlukan intelejensi untuk memberikan suatu ketetapan
hukum berdasarkan ajaran-ajaran pokok dan jiwa Islam. Dalam kenyataannya,
semenjak dahulu umat Islam sendiri menyadari betapa pentingnya fiqh tersebut
dalam semua hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari.[11]
Fiqh, menurut pendapat Al-Ghazali, menjadi makanan
sehari-hari bagi
setiap muslim. Ia memberikan penjelasan terinci bukan hanya tentang ibadah
tetapi juga juga tentang berbagai transaksi atau perjanjian, hukuman, hukum
perundang-undangan, status perorangan, waris-mewaris, perkawinan, perceraian,
dan sebagainya, yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits tersebut.
setiap muslim. Ia memberikan penjelasan terinci bukan hanya tentang ibadah
tetapi juga juga tentang berbagai transaksi atau perjanjian, hukuman, hukum
perundang-undangan, status perorangan, waris-mewaris, perkawinan, perceraian,
dan sebagainya, yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits tersebut.
Imam-imam besar ini adalah Imam
Abu Hanifah (w. 767/ 768 M), Imam
Malik (w. 795 M), Imam Syafi’i (w. 820 M), dan Imam Hanbal (w. 855 M). Semuanya adalah ahli-ahli yang berbobot dalam bidang teologi Islam. Pemahaman mereka yang sempurna terhadap Al-Qur’an, hadits-hadits dan persepsi-persepsi yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad serta takwa mereka menyebabkan menjadi bintang-bintang yang senantiasa bercahaya di atas cakrawala Islam.
Malik (w. 795 M), Imam Syafi’i (w. 820 M), dan Imam Hanbal (w. 855 M). Semuanya adalah ahli-ahli yang berbobot dalam bidang teologi Islam. Pemahaman mereka yang sempurna terhadap Al-Qur’an, hadits-hadits dan persepsi-persepsi yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad serta takwa mereka menyebabkan menjadi bintang-bintang yang senantiasa bercahaya di atas cakrawala Islam.
Secara detail perkembangan
pemikiran Islam atau ilmu pengetahun Islam terbagi dalam empat tahap:
Tahap I: Kajian kebahasaan (masa
Khulafaurrasyidin 40 H dan masa
Khilafah Bani Umayah 134 H)
Bahasa Arab adalah bidang studi
pertama yang banyak ditulis orang pada
masa-masa sebelum Islam yang dikenal dengan masa Jahiliyah. Mereka selalu
mencari kenikmatan khusus dengan bahasa ini karena kekayaan kosa katanya, bentuk-bentuknya, padanan katanya, kemampuannya untuk menunjukkan maknamakna kiasan yang terbaik serta keindahan dan kefasihannya. Sehingga tidak mengherankan jika dalam rangka memahami Al-Qur’an secara tepat, maka perhatian yang cukup besar dicurahkan kepada kajian tata bahasa yang langkah pertama dirintis oleh Ali.
masa-masa sebelum Islam yang dikenal dengan masa Jahiliyah. Mereka selalu
mencari kenikmatan khusus dengan bahasa ini karena kekayaan kosa katanya, bentuk-bentuknya, padanan katanya, kemampuannya untuk menunjukkan maknamakna kiasan yang terbaik serta keindahan dan kefasihannya. Sehingga tidak mengherankan jika dalam rangka memahami Al-Qur’an secara tepat, maka perhatian yang cukup besar dicurahkan kepada kajian tata bahasa yang langkah pertama dirintis oleh Ali.
Pada masa-masa Khalifah Abbasiyah,
para Imam mengikuti jejak para
khalifah yang saleh dengan memperlakukan teologi dan ilmu kalam sebagai
cabang dari fiqih. Namun para cendikiwan muslim di belakang hari menganggap
teologi skolastik atau ilmu kalam dan ilmu hukum (fiqh) merupakan studi yang
terpisah.
khalifah yang saleh dengan memperlakukan teologi dan ilmu kalam sebagai
cabang dari fiqih. Namun para cendikiwan muslim di belakang hari menganggap
teologi skolastik atau ilmu kalam dan ilmu hukum (fiqh) merupakan studi yang
terpisah.
Kemajuan pemikiran (ilmu pengetahuan) Islam pada tahap
pertama ini mendapatkan
keberhasilan-keberhasilan sebagai berikut:
1.
Al-Qur’an
adalah prioritas dalam
kajian pemikiran Islam,
yang meliputi bacaan, makna,
hafalan, serta pengklasifikasian ayat-ayat
muhkamat dan mustasyabihat.
2.
Ilmu hadits diformulasikan dan dikembangkan secara ilmiah, metode
untuk menetapkan kesahihan
dan ketidak sahihan
hadits ditetapkan secara meyakinkan,
koleksi-koleksi hadits dibuat
dan penelitian lebih
lanjut digerakkan.
3.
Ilmu fiqh termasuk ilmu ushul fiqh dirumuskan
secara baik.
4.
Ilmu tasawuf mulai dikembangkan, yaitu ilmu tentang penyucian
batin dan kedisplinan pribadi
atau ilmu untuk
menyadari adanya Allah
melalui kesadaran terhadap
diri pribadi dan latihan untuk berserah diri secara mutlak kepada-Nya berdasarkan syariah.
5.
Cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya
seperti kedokteran, astronomi dan semua keterampilan yang diperlukan untuk
kepentingan jihad tidak diabaikan (sudah mulai berkembang).[12]
Tahap II: kajian-kajian terhadap
filsafat, sains dan sejarah, dan dampaknya terhadap kurikulum (masa khalifah Abbasiyah
tahun 132 H).
Pada masa ini budaya dan
pendidikan Islam sudah mulai dikembangkan.
Penekanannya bergeser dari ilmu-ilmu bertingkat tinggi dan bersifat spritiual keapda ilmu-ilmu filsafat dan kealaman tanpa meninggalkan konsep-konsep ilmu pengetahuan yang lebih luas menurut Islam.
Penekanannya bergeser dari ilmu-ilmu bertingkat tinggi dan bersifat spritiual keapda ilmu-ilmu filsafat dan kealaman tanpa meninggalkan konsep-konsep ilmu pengetahuan yang lebih luas menurut Islam.
Hal ini disebabkan dua faktor penting; pertama;
pengaruh Persia (Iran)
dan kedua: pemindahan ibukota dari Damaskus ke Bagdad pada tahun 763 M.
Ibukota yang baru ini dihuni oleh orang-orang yang berbeda-beda agama dan
kebudayaannya. Para pemeluk agama-agama Kristen dan Zoroaster membawa
peradaban Persia dan berbagai unsur budaya Yunani (Hellenisme). Karena bahasa Persia merupakan bahasa yang paling dominan, maka bahasa tersebut
diajarkan di sekolah-sekolah, universitas dan digunakan dalam penulisan buku-
buku.
dan kedua: pemindahan ibukota dari Damaskus ke Bagdad pada tahun 763 M.
Ibukota yang baru ini dihuni oleh orang-orang yang berbeda-beda agama dan
kebudayaannya. Para pemeluk agama-agama Kristen dan Zoroaster membawa
peradaban Persia dan berbagai unsur budaya Yunani (Hellenisme). Karena bahasa Persia merupakan bahasa yang paling dominan, maka bahasa tersebut
diajarkan di sekolah-sekolah, universitas dan digunakan dalam penulisan buku-
buku.
Masa inilah
merupakan masa kajayaan
bagi bangsa-bangsa muslim (saracens) di timur, karena masa penaklukan telah lewat dan peradaban
mulai dibangun. Bagdad
sebagai kota terindah sepanjang
masa juga telah
berubah menjadi pusat berbagai
kegiatan ilmiah dan intelektual.
Penerjemahan buku-buku filsafat dan warisan pemikiran
Yunani mulai digiatkan oleh apra khalifah.
Hal tersebut dibuktikan dengan dibentuknya Baitul Hikmat (dewan Ilmu
Pengetahuan) yang mempunyai fungsi menerjemahkan dan menyalin
berbagai macam naskah dan manuskrip, di samping itu juga dijadikan sebagai
perpustakaan. Dari terjemahan-terjemahan ini
selain menampilkan dimensi-dimensi baru dalam ilmu pengetahuan kepada
para cendekiwan muslim, juga
menampilkan tantangan-tantangan baru.
Pada masa ini, pemanfaatan
kemampuan intelek dan penalaran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dirintis oleh Islam benar-benar
mencapai puncaknya pada
tahap kedua ini.
Akan tetapi kecenderunagn-kecenderungan rasional dalam
Islam telah mendorong kebangkitan spekulasi teologik yang tidak selalu didasarkan atas ajaran Qur’ani dan
semangat Islam yang benar. Sehingga muncullah banyak sekte, di antaranya adalah
Mu’tazilah yang dijadikan sebagai ideologi
negara pada masa khalifah al-Ma’mun.
Begitu berartinya masa ini, terutama pada bidang-bidang
kajian filsaafti
dan rasionalnya. Yang paling penting adalah filsafat yang diakui menempati
posisi sentaral dan dianggal sebagai induk dari segala macam ilmu. Dengan
terjemahan-terjemahan berbagai karya para filsuf Yunani, terutama karya Plato dan Aristoteles, menempatkan filsafat itu sebagai pusat perhatian para cendikiawan muslim pada saat itu.
dan rasionalnya. Yang paling penting adalah filsafat yang diakui menempati
posisi sentaral dan dianggal sebagai induk dari segala macam ilmu. Dengan
terjemahan-terjemahan berbagai karya para filsuf Yunani, terutama karya Plato dan Aristoteles, menempatkan filsafat itu sebagai pusat perhatian para cendikiawan muslim pada saat itu.
Oleh karenanya semenjak Al-Kindi,
filsafat mulai dikembangkan. Para filsuf Arab kenamaan
dan para pemikirnya tidak
hanya menguasai berbagai macam
cabang ilmu pengetahuan tetapi juga memberikan sumbangan-sumbangan istimewa
dengan mengislamisasikan ilmu-ilmu Yunani itu dengan memberikan penjelasan tentang
berbagai konsep dasar
pendidikan. Di antara
para filsuf tersebut adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicennna), Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd
(Averos) dan Ibnu Khaldun.
Kecuali
pemikiran kefilsafatan rasional
seperti disajikan para
filosof
muslim untuk mempertemukan filsafat Yunani dengan ajaran Islam, muncul pula
pemikiran tasawuf sebagai reaksi terhadap kemewahan-kemewahan hidup dan
ketidakpastian nilai. Dalam perkembangannya, muncul tarekat-tarekat sufi yang
menjauhkan kemajuan Islam dari dari kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan
(science) dan kehidupan dunia yang diperlukan bagi kesejahteraan hidup umat
manusia. Pengaruh mistik luar pun (dari Cina, India, dan Persia) tidak dapat
terelakkan. Paham panteisme masuk ke dalam dunia tasawuf. Namun demikian
masih ada tokoh sufi yang masih bertahan pada ajaran Islam murni, termasuk di
dalamnya al-Ghazali.[13]
muslim untuk mempertemukan filsafat Yunani dengan ajaran Islam, muncul pula
pemikiran tasawuf sebagai reaksi terhadap kemewahan-kemewahan hidup dan
ketidakpastian nilai. Dalam perkembangannya, muncul tarekat-tarekat sufi yang
menjauhkan kemajuan Islam dari dari kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan
(science) dan kehidupan dunia yang diperlukan bagi kesejahteraan hidup umat
manusia. Pengaruh mistik luar pun (dari Cina, India, dan Persia) tidak dapat
terelakkan. Paham panteisme masuk ke dalam dunia tasawuf. Namun demikian
masih ada tokoh sufi yang masih bertahan pada ajaran Islam murni, termasuk di
dalamnya al-Ghazali.[13]
Tahap III: Kurun waktu kebekuan
dan kemunduran
Hal tersebut terjadai pasca
jatuhnya Baghdad dan penghancurannya oleh
bangsa Tartar, walaupun di lain tempat, yaitu Spanyol Islam bangkit, akan tetapi
itupun tidak berlangsung lama. Dengan tumbangnya pusat peradaban dan
pendidikan umat Islam, maka para ulama’, sejak itu merasa khawatir jika Islam
sendiri lantas ditafsirkan bermacam-macam, karena itu mereka mengambil
keputusan bahwa pintu ijtihad harus ditutup dan umat muslim diberitahu bahwa
pintu taqlid (mengikuti madzhab-madzhab yang sudah ada, yang dicetuskan oleh
tokoh-tokoh pemikir di masa lampau) adalah satu-satunya jalan yang dapat
mereka lalui.
bangsa Tartar, walaupun di lain tempat, yaitu Spanyol Islam bangkit, akan tetapi
itupun tidak berlangsung lama. Dengan tumbangnya pusat peradaban dan
pendidikan umat Islam, maka para ulama’, sejak itu merasa khawatir jika Islam
sendiri lantas ditafsirkan bermacam-macam, karena itu mereka mengambil
keputusan bahwa pintu ijtihad harus ditutup dan umat muslim diberitahu bahwa
pintu taqlid (mengikuti madzhab-madzhab yang sudah ada, yang dicetuskan oleh
tokoh-tokoh pemikir di masa lampau) adalah satu-satunya jalan yang dapat
mereka lalui.
Di
samping itu, setelah
pusat pendidikan Islam di
Cordova, Spanyol
benar-benar runtuh, kepicikan dalam berpikir pun mulai timbul. Walaupun khilafah Islam masih ada, tetapi ia tidak memandang perlu untuk mengamati perkembangan-perkembangan baru di bidang keilmuan di Barat dan tidak mau mengetahui filsafat barat yang baru serta munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang baru pula.
benar-benar runtuh, kepicikan dalam berpikir pun mulai timbul. Walaupun khilafah Islam masih ada, tetapi ia tidak memandang perlu untuk mengamati perkembangan-perkembangan baru di bidang keilmuan di Barat dan tidak mau mengetahui filsafat barat yang baru serta munculnya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang baru pula.
Akibatnya kelompok
ulama’ pada waktu
itu hanya memusatkan
perhatiannya pada semua yang telah ada sebelumnya dan mencoba
menggunakannya untuk mengatasi tantangan baru. Dengan demikian ilmu
pengetahuan itu dibatasi perkembangannya hanya sampai pada apa yang telah
mereka pelajari sebelumnya. Bahkan semakin lama penekannya semakin
ditujukan pada ilmu pengetahuan yang bersumber pada wahyu semata.
perhatiannya pada semua yang telah ada sebelumnya dan mencoba
menggunakannya untuk mengatasi tantangan baru. Dengan demikian ilmu
pengetahuan itu dibatasi perkembangannya hanya sampai pada apa yang telah
mereka pelajari sebelumnya. Bahkan semakin lama penekannya semakin
ditujukan pada ilmu pengetahuan yang bersumber pada wahyu semata.
Kurun waktu itu berlangsung hingga abad ke-19, walaupun
Turki pada awal abad ke-19 menyadari akan pentingnya ilmu pengetahuan baru,
terutama kepentingan kekuatan militernya dan Mesir pasca ditaklukkan Napoleon.
Akan tetapi perkembangannya amat lamban.
Di samping itu juga sejarah telah
berbicara bahwa jatuhnya kebesaran AlIslam (dalam arti sosial empiris) bertepatan
dengan munculnya dikotomi pikiran antara fundamentalisme Ghazali dengan
rasionalisme Ibnu Rusyd. Karena itu hakekat pertentangan atau antoginisme ini
harus kita pelajari dengan teliti, agar kita bisa belajar dari sejarah, dan mencoba
untuk kembali menemukan jalan lurus yang diridhai Allah.
Kaum penguasa di jaman Ibnu Rusyd
menganggap pertentangan itu harus
segera diatasi demi menjamin “ketahanan nasional” atau konsistensi ajaran
segera diatasi demi menjamin “ketahanan nasional” atau konsistensi ajaran
agama. Tanpa pikiran panjang mereka
melihat bahwa rasionalisme itu adalah lawan
fundamentalisme, dan Islam
mengajarkan hanya bisa
menerima fundamentalisme. Karena itu rasionalisme Ibnu Rusyd
harus dibunuh !. Ya itulah bukti bahwa manusia tidak mengerti makna ciptaan Allah
yang berpasangan secara
harmonis. Mustahil Allah menciptakan permusuhan. Permusuhan antara rasionalisme dengan fundamentalisme pasti
bersumber pada kedunguan manusia yang
tidak mampu menghayati dunia yang serba kompleks.
Tahap IV: Kebangkitan kembali dan
tantangannya Jatuhnya
Baghdad ke tangan Hulagu dari Tartar mengakibatkan umat Islam mengalami kemunduran. Gerakan tarekat berkembang,
mungkin sebagai kompensasi dan pelipur lara. Pada saat keadaan demikian,
muncullah gerakan purifikasi (pemurnian)
yang mengajak umat Islam kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Filsafat
dan Tasawuf ditentang, karena dirasakan telah mengantarkan umat Islam
menjauhi ajaran Islam yang benar. Tokoh utama gerakan ini adalah Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah, yang kemudian
dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul
Wahab.
Di Afrika Utara muncul pemikir
besar Ibnu Khaldun yang kemudian
terkenal sebagai “bapak sosiologi” dunia. Perhatian dunia barat terhadap
terkenal sebagai “bapak sosiologi” dunia. Perhatian dunia barat terhadap
pemikiran Ibnu Khaldun sangat besar. Kitabnya yang amat
monumental adalah Muqaddimah, yang
telah diterjemahkan ke
dalam berbagai bahasa.
Kecuali sebagai bapak
sosiologi, Ibnu Khaldun juga dikenal sebagai bapak filsafat sejarah yang sangat mengagumkan.
Sejaman dengan Ibnu Khaldun, di
Granada muncul seorang filsuf hukum Islam
bernama Ali Sathibi
yang mewariskan karya
yang sangat bermanfaat kepada umat Islam, yaitu al-Muwafaqat.
Kurun waktu setelah
Ibnu Khaldun, sejarah
pemikiran Islam tidak
mencatat pemikiran yang menonjol, hinga akhir abad ke-19 Masehi. Pada akhir
abad ke-19 Masehi, muncul kembali gerakan pembaharuan pemikiran Islam di
banyak negara wilayah Dunia Islam, di Mesir, Syam, India yang sangat besar
pengaruhnya terhadap pembaharuan alam pemikiran Islam di Indonesia. Nama-
nama Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha,
Muhammad Iqbal, Abdurrahman Al-Kawakibi, dan lain-lain dapat dipandang
sebagai tokoh dan pionir yang tercatat dalam “cetak biru” sejarah filsafat Islam.[14]
mencatat pemikiran yang menonjol, hinga akhir abad ke-19 Masehi. Pada akhir
abad ke-19 Masehi, muncul kembali gerakan pembaharuan pemikiran Islam di
banyak negara wilayah Dunia Islam, di Mesir, Syam, India yang sangat besar
pengaruhnya terhadap pembaharuan alam pemikiran Islam di Indonesia. Nama-
nama Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha,
Muhammad Iqbal, Abdurrahman Al-Kawakibi, dan lain-lain dapat dipandang
sebagai tokoh dan pionir yang tercatat dalam “cetak biru” sejarah filsafat Islam.[14]
Dalam kaitannya
dengan masalah pendidikan,
pada abada ke-20
ini
pemerintah-pemerintah Islam dan umat muslim pada umumnya menyadari akan
adanya keterbatasan-keterbatasan dalam jangkauan ilmu pengetahuannya. Akan
tetapi untuk menghindari terjadinya benturan-benturan dengan orang-orang yang
memiliki otoritas di bidang agama, perlu ditampilkan sistem pendidikan yang
lain, terutama pendidikan sistem barat yang sekuler. Akan tetapi hal tersebut
mempunyai tantangan berat, karena antara ilmu pengetahuan dan ilmu
pengetahuan sekular berjalan pada dua jalur yang sama sekali terpisah. Inilah
tantangannya, apakah sistem pendidikan yang dikembangkan di dunia Islam telah sejalan dengan perkembanagn konsep ilmu pengetahuan ?. artinya peran apakah yang seharusnya dimainkan oleh universitas-universitas tersebut saat ini ?[15]
pemerintah-pemerintah Islam dan umat muslim pada umumnya menyadari akan
adanya keterbatasan-keterbatasan dalam jangkauan ilmu pengetahuannya. Akan
tetapi untuk menghindari terjadinya benturan-benturan dengan orang-orang yang
memiliki otoritas di bidang agama, perlu ditampilkan sistem pendidikan yang
lain, terutama pendidikan sistem barat yang sekuler. Akan tetapi hal tersebut
mempunyai tantangan berat, karena antara ilmu pengetahuan dan ilmu
pengetahuan sekular berjalan pada dua jalur yang sama sekali terpisah. Inilah
tantangannya, apakah sistem pendidikan yang dikembangkan di dunia Islam telah sejalan dengan perkembanagn konsep ilmu pengetahuan ?. artinya peran apakah yang seharusnya dimainkan oleh universitas-universitas tersebut saat ini ?[15]
Pada perkembangan
selanjutnya pemikiran Islam
mengalami masa
kebangkitan. Hal ini perlu dilakukan karena Islam memiliki peran penting
historis bagi kita semua, tetapi pada saat yang sama, pemahaman kita terhadap
fenomena ini sangat tidak memadai. Ada kebutuhan untuk mendorong dan
memprakarsai pemikiran yang berani, bebas, dan produktif tentang Islam
sekarang. Apa yang disebut dengan revivalisme Islam telah memonopoli wacana
tentang Islam, para ilmuan sosial, lebih-lebih, tidak memberikan perhatian
terhadap apa yang disebut “Islam yang diam” (the silent Islam), yaitu Islam dari
kaum mukminin sejati yang lebih mementingkan hubungan religius dengan
Tuhan Yang Absolut ketimbang dengan demonstrasi-demonstrasi gerakan politik
yang berapi-api. Dengan merujuk pada para pemikir Islam dan kaum intelektual
yang mengalami banyak kesulitan besar dalam memasukkan pendekatan kritis
mereka ke dalam wilayah sosial dan kultural yang, pada saat ini, sepenuhnya
didominasi oleh ideologi-ideologi militan.
kebangkitan. Hal ini perlu dilakukan karena Islam memiliki peran penting
historis bagi kita semua, tetapi pada saat yang sama, pemahaman kita terhadap
fenomena ini sangat tidak memadai. Ada kebutuhan untuk mendorong dan
memprakarsai pemikiran yang berani, bebas, dan produktif tentang Islam
sekarang. Apa yang disebut dengan revivalisme Islam telah memonopoli wacana
tentang Islam, para ilmuan sosial, lebih-lebih, tidak memberikan perhatian
terhadap apa yang disebut “Islam yang diam” (the silent Islam), yaitu Islam dari
kaum mukminin sejati yang lebih mementingkan hubungan religius dengan
Tuhan Yang Absolut ketimbang dengan demonstrasi-demonstrasi gerakan politik
yang berapi-api. Dengan merujuk pada para pemikir Islam dan kaum intelektual
yang mengalami banyak kesulitan besar dalam memasukkan pendekatan kritis
mereka ke dalam wilayah sosial dan kultural yang, pada saat ini, sepenuhnya
didominasi oleh ideologi-ideologi militan.
Inilah mengapa Arkoun yang hidup
di Aljazair, yang mana pernah dijajah oleh Perancis sebagai
kolonial, merasa tergugah
untuk melakukan ijtihad terhadap pemikiran Islam. Ia
dikejutkan oleh konfrontasi yang tajam dan keras antara budaya dan bahasa Perancis sebagai penjajah.
Ia berusaha memikirkan kembali
(rethinking) Islam. Dengan pendekatan
historis, dengan kuriositas modernnya yang luas. Sekarang adalah waktu yang
tepat untuk menghentikan konfrontasi yang tidak relevan antara dua sikap
dogmatis ini, yaitu klaim teologis kaum beriman dan postulat-postulat ideologis
rasionlisme positivis. Studi agama-agama, masih dirintangi oleh definisi-definisi
dan metode-metode yang kaku, yang diwarisi dari teologi dan metafisika klasik.
Sejarah agama telah mengumpulkan banyak fakta dan deskripsi mengenai
berbagai agama, tapi agama sebagai sebuah dimensi universal eksistensi manusia
tidak didekati dari perspektif epistimologis yang relevan. Kelemahan dalam
pemikiran modern ini lebih jelas digambarkan oleh literatur yang miskin, konformis, dan kadang-kadang polemis mengenai agama-agama Kitab, seperti akan kita lihat nanti.
historis, dengan kuriositas modernnya yang luas. Sekarang adalah waktu yang
tepat untuk menghentikan konfrontasi yang tidak relevan antara dua sikap
dogmatis ini, yaitu klaim teologis kaum beriman dan postulat-postulat ideologis
rasionlisme positivis. Studi agama-agama, masih dirintangi oleh definisi-definisi
dan metode-metode yang kaku, yang diwarisi dari teologi dan metafisika klasik.
Sejarah agama telah mengumpulkan banyak fakta dan deskripsi mengenai
berbagai agama, tapi agama sebagai sebuah dimensi universal eksistensi manusia
tidak didekati dari perspektif epistimologis yang relevan. Kelemahan dalam
pemikiran modern ini lebih jelas digambarkan oleh literatur yang miskin, konformis, dan kadang-kadang polemis mengenai agama-agama Kitab, seperti akan kita lihat nanti.
Karena alasan-alasan inilah, maka
penting untuk menyingkirkan berbagai hambatan yang ditemukan dalam literatur Islam
sebagaimana dalam literatur orientalis mengenai
Islam dan mencurahkan perhatian
yang lebih banyak di universitas-universitas kita untuk
mengajarkan dan mempelajari sejarah sebagai sebuah
antropologi masa lalu dan bukan hanya sebagai sebuah catatan naratif mengenai fakta-fakta.
Arkoun
bersikeras menggunakan pendekatan
historis, sosiologis, dan
antropologis bukan untuk menyangkal pentingnya pendekatan teologis dan
filosofis, tapi untuk untuk memperkaya pendekatan itu dengan inklusi dari
kondisi-kondisi historis dan sosial yang kongkrit di mana Islam selalu
dipraktikkan.[16] Dengan demikian jika umat Islam tidak ingin ketinggalan dari bangsa Barat, maka kemauan keras untuk bangkit dari kemalasan spritual dan
intelektual harus dikikis habis, sehingga sendi-sendi keilmuan yang telah
dibangun dan dikembangkan oleh founding father hirarki keilmuan dalam dunia
Islam akan kembali tercipa, sehingga umat Islam akan berjaya kembali.
antropologis bukan untuk menyangkal pentingnya pendekatan teologis dan
filosofis, tapi untuk untuk memperkaya pendekatan itu dengan inklusi dari
kondisi-kondisi historis dan sosial yang kongkrit di mana Islam selalu
dipraktikkan.[16] Dengan demikian jika umat Islam tidak ingin ketinggalan dari bangsa Barat, maka kemauan keras untuk bangkit dari kemalasan spritual dan
intelektual harus dikikis habis, sehingga sendi-sendi keilmuan yang telah
dibangun dan dikembangkan oleh founding father hirarki keilmuan dalam dunia
Islam akan kembali tercipa, sehingga umat Islam akan berjaya kembali.
D. Kesimpulan
Pemikiran Islam mengandung tiga
hal, yakni: (1) fakta (al-wâqi‘);
(2) hukum (justifikasi); (3)
keterkaitan fakta dengan hukum.
Fakta dapat berupa benda maupun
perbuatan. Fakta berupa benda hanya memiliki dua macam hukum, yakni mubah
(halal) dan haram. Buah anggur, misalnya, hukumnya mubah, sedangkan khamar
hukumnya haram. Dalam konteks benda ini, ada sebuah kaidah syariat yang diambil
dari nash-nash al-Quran dan al-Hadis:
اْلأَصْلُ فِي اْلأَشْياَءِ اْلإِباَحَةُ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ
التَّحْرِيْمِ
Hukum asal setiap benda adalah mubah, kecuali ada
dalil yang mengharamkannya.
Sedangkan jika fakta itu berupa
perbuatan, maka hukumnya ada lima, yakni fardhu (wajib), mandub (sunnah),
mubah, makruh dan haram. Misalnya, puasa Ramadhan hukumnya wajib, shadaqah
hukumnya sunnah (mandub), makan roti mubah, berbicara di WC makruh, dan riba
itu haram.
Kaidah syara yang dinisbahkan kepada perbuatan adalah:
اْلأَصْلُ فِي اْلأَفْعاَلِ التَّقَيَّدُ
Hukum asal setiap perbuatan adalah terikat (dengan
hukum syara).
Hukum atas fakta harus
diambil dari dalil-dalil syara yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan apa-apa
yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul, yaitu Ijma’ Sahabat dan
Qiyas.
Pemikiran Islam ada dua
macam, yaitu pemikiran yang berkaitan dengan aqidah, seperti keimanan kepada
Allah, kepada Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari akhir. Dan pemikiran
yang berkaitan dengan hukum syara yang bersifat praktis, seperti jihad dan
shalat.
Asas-asas pemikiran Islam
yaitu:
1. Akal
2. Syara’
Ciri khas
Pemikiran Islam yaitu:
1.
Kekomprehensifan pemikiran Islam
2.
Keluasan pemikiran Islam
3.
Pemikiran Islam merupakan pemikiran
yang bersifat praktis (‘Amaliy)
4.
Pemikiran Islam
merupakan pemikiran bersifat manusiawi.
REFERENSI
A. Hanafi, 1979, Theologi
Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, , cet III.
A.W.
Munawir. 1997. Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya : Pustaka Progressif.
Abuddin
Nata. 2004, Metodologi Studi Islam. Jakarta, PT Rajagrafindo Persada.
Ahmad Azhar Basyir. 1993. Refleksi Atas Persoalan Keislaman
Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, Bandung: Mizan.
Ahmadi,Abu.
1982. Filsafat Islam. Semarang: Toha Putra.
Amin Syukur. 2000. Pengantar Study Islam.
Semarang : CV. Bima Sejati.
Didin
Saefuddin Buchori. 2005, Metodologi Studi Islam. Bogor, Granada Sarana
Pustaka.
Fathi
Yakan. 1996. Islam Era Global (Kajian Proyek Islamisasi Ideal). Yogyakarta:
Ababil.
H.A.R. Gibb. 1992. Aliran-Aliran Modern
Dalam Islam. Jakarta : Rajawali Pers.
Hamid
Hasan Bilgrami & Sayid Ali Asyraf. 1989. Konsep Universitas Islam, Tiara
Wacana.
Harun
Nasution. 1994. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta : Bulan Bintang.
Husain bin Muhammad
al-Jasar, al-Hushun al-Hamidiyah li al-muhadzah ‘ala-al’Aqaid al Islamiyah, Bandung
: Sa\yirkah al Manaf.
Issa
J. Boullata. 2001. Dekonstruksi Tradisi Pemikiran Arab Islam. Yogyakarta:
LKiS.
John
L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, 2000.
M.
Ali Hasan. 2000. Studi Islam. Jakarta, Rajagrafindo Persada.
Mohammed
Arkoun. 2001. Islam
Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama. Terj. Rusalani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun.1978. Falsafah dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Osman
Bakar. 1997. Hierarki Ilmu Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Pen.
Purwanto. Bandung: Mizan,.
Sayyed Hossen Nasr, 1988,
Knowledge and The Sacred, Lahore: Suhail Academy.
Syahrin
Harahap, Islam dan Modernitas Dari Teori Modernisasi Hingga Penegakan
Kesolehan Modern, 2015, Jakarta: Kencana
Syaikh Muhammad Abduh,
1975, Risalah Tauhid, Jakarta: Bulan Bintang, cet I.
Tariq
Ramadan. 2003. Menjadi Modern Bersama Islam. Jakarta, Teraju.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
[2] A.W. Munawir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka
Progressif, Surabaya, 1997, h. 656-656.
[6] Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan
Bintang, Jakarta: 1994, h. 12.
[7]Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar
Filsafat, Hukum, Politik, dan
Ekonomi, Mizan, Bandung, 1993, h. 20.
[8] Issa J.
Boullata, Dekonstruksi Tradisi Pemikiran Arab Islam, LKiS, Yogyakarta,
2001, h. 1.
[9] Osman Bakar, Hierarki
Ilmu Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Pen. Purwanto, Mizan, Bandung,
1997, h. 12.
[10] Fathi Yakan, Islam
Era Global (Kajian Proyek Islamisasi Ideal), Ababil, Yogyakarta, 1996, h.
63-65.
[11] Hamid Hasan
Bilgrami & Sayid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam, Tiara Wacana,
1989, h. 6-7.
[12] Ibid., h.
13-14.
[13] Ahmad Azhar
Basyir., h. 23.
[14] Ibid., h.
23-24.
[15] Hamid Hasan
Bilgrami & Sayid Ali Asyraf., h. 12-23.
[16] Mohammed
Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, Terj. Rusalani,
Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2001, h. 4.
No comments:
Post a Comment