Monday 6 March 2017

RUANG LINGKUP PEMIKIRAN ISLAM



PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PEMIKIRAN ISLAM

A.    Pendahuluan

Sebuah pemikiran tidak jarang dinisbatkan kepada orang yang menyebarkan dan mengadopsinya sehingga dinyatakan, misalnya, “pemikiran Eropa” atau “pemikiran Rusia”; kadang-kadang juga dinisbatkan kepada peletak dasar pemikiran itu sehingga sering dinyatakan, “pemikiran Marxis”, “pemikiran Plato”, dan “pemikiran Hegel”.
            Suatu pemikiran juga acapkali disandarkan pada kaidah dasar (al-qâ‘idah al-asasiyyah) yang menjadi landasan pemikiran tersebut sehingga dinyatakan, misalnya, “pemikiran Islam”. Disebut demikian karena kaidah dasar yang membangun pemikiran tersebut adalah akidah Islam. Akidah Islam bukan berasal dari orang Arab atau manusia lainnya. Akidah Islam berasal dari Allah swt Dialah yang telah memberi nama bagi ideologi (mabda’) dan agama ini dengan nama Islam. Allah swt berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمُ
Sesungguhnya agama yang diridhai di sisi Allah hanyalah Islam. (QS Ali Imran [3]: 19).
            Pemikiran Islam, baik yang dinukil dari orang Arab atau dari selain orang Arab, tetap dipandang sebagai pemikiran Islam. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara pemikiran yang dinukil dari Imam Syafi’i, Imam al-Bukhari, Muhammad Asad an-Namsawi atau Abul A’la al-Mawdudi. Semuanya merupakan pemikiran Islam, meskipun terdapat keragaman ras atau bahasa pada individu-individu yang melakukan ijtihad atau yang menukilnya. Akan tetapi, pemikiran orang Arab sebelum datangnya Islam, bukanlah pemikiran Islam. Oleh karena itu, “pemikiran Islam” merupakan penyebutan sebuah pemikiran dengan sebuah sebutan yang sempurna, tanpa ada penambahan ataupun pengurangan. Dengan demikian, semua pemikiran yang bersumber dari Islam, disebut dengan “pemikiran Islam.”
Saya menyatakan demikian karena saya telah melihat hubungan yang kuat antara orang Arab dan Islam serta antara bahasa Arab dan Islam. Allah swt telah berfirman:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي اْلأُمِّيِّينَ رَسُولاً مِنْهُمْ
Dialah Yang telah mengutus kepada kaum yang ummi (buta huruf) seorang rasul di antara mereka. (QS al-Jumu‘ah [62]: 2).


Mengenai Al Quran, Allah telah berfirman:
وَهَذَا لِسَانٌ عَرَبِيٌّ مُبِينٌ
Ini (al-Quran) adalah dalam bahasa Arab yang terang. (QS an-Nahl [16]: 103).
فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Kami telah memudahkan al-Quran itu dengan bahasamu (Muhammad) agar mereka mendapatkan pelajaran. (QS ad-Dukhan [44]: 58).
            Saya menyadari bahwa nash-nash al-Quran dan as-Sunnah tidak mungkin dipahami dengan pemahaman yang benar dan mendalam, kecuali dengan bahasa Arab; tidak mungkin pula berijtihad, yakni melakukan penggalian (istinbâth) hukum-hukum syariat, kecuali dengan bahasa Arab. Atas dasar ini, potensi Arab (orang Arab dan bahasa mereka) dan Islam adalah ibarat saudara kembar yang tidak bisa dipisahkan. Tatkala potensi Arab dipisahkan dari Islam, Daulah Islamiyah menjadi lemah, dan kemudian hancur.
Suatu definisi yang benar haruslah memenuhi kriteria jaami'an dan maani'an. Maksudnya menyeluruh (jaami'an) bagi seluruh bagian-bagian dan sifat-sifat dari sesuatu yang didefinisikan, dan mencegah (maani'an) masuknya makna asing ke dalam sesuatu yang didefinisikan. Berdasarkan hal itu maka dipilihiah pengertian berikut untuk pemikiran Islam, yakni bahwa pemikiran Islam adalah al hukmu 'alaa al waaqi' min wijhati nazhar il islaam (hukum/penilaian terhadap suatu fakta berdasarkan sudut pandang Islam).
Unsur-unsur pemikiran Islam itu ada tiga, yakni fakta (al waaqi'), hukum (al hukmu), dan hubungan antara fakta dengan hukum. Fakta itu sendiri dapat berupa suatu benda dan dapat berupa perbuatan. Jika fakta itu berupa benda maka hukumnya ada dua macam, yakni mubah (halal) dan haram. Misalnya buah anggur yang hukumnya mubah dan khamer yang hukumnya haram. Ada sebuah kaidah syara' yang diambil dari nash-nash Alquran dan al hadits: “Hukum asal setiap benda adalah mubah, sampai datang dalil yang mengharamkannya”. Sedangkan jika fakta itu berupa perbuatan, maka hukumnya ada lima, yakni fardhu (wajib), mandub (sunnah), mubah, makruh dan haram. Misalnya puasa Ramadhan hukumnya wajib, shadaqah hukumnya sunnah (mandub), makan roti mubah, berbicara di WC makruh dan riba itu haram.
Kaidah syara' yang dinisbatkan dengan perbuatan adalah: “Hukum asal setiap perbuatan adalah terikat dengan hukum syara. Hukum atas fakta haruslah diambil dari dalil-dalil syara’ yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh kitabullah dan sunnah Rasul yakni ijma’ sahabat dan Qiyas.

B.     Pengertian Pemikiran Islam
Secara etimologis, pemikiran berasal dari kata dasar pikir, yang berarti akal budi, ingatan, angan-angan. Dan ketika kata dasar tersebut mendapatkan imbuhan awalan ber-, maka akan mempunyai makna menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu, atau menimbang-nimbang dalam ingatan. Adapun kata pemikiran sendiri mempunyai pengertian proses, cara atau perbuatan memikir.[1]
Sedangkan  kata  Islam  secara  etimologi  berasal  dari  bahasa  Arab, didefinisikan dari “salima” yang berarti selamat dari bahaya atau aslama yang berarti yang lebih selamat, aman. Adapun islam dalam bentuk noun atau kata benda  berarti  ketundukan,  kepatuhan,  agama  Islam  yang  dibawa  Nabi Muhammad SAW.[2]
Dari kata  “aslama” tersebut yang berarti  “memelihara dalam keadaan yang selamat sentosa”. Dan juga berarti “menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat”. Kata aslama itulah yang menjadi kata pokok dalam “Islam”. Mengandung segala arti yang ada dalam arti pokoknya. Sesungguhnya Islam itu adalah agama sepanjang sejarah kehidupan manusia, agama yang diseru oleh Nabi dan Rasul yang pernah di utus oleh Allah SWT kepada bangsa-bangsa dan kelompokkelompok manusia.[3]
Dengan demikian pengertian Islam dapat diambil dari ungkapan Dawam
Rahardjo sebagaimana yang dikutip oleh Amin Syukur[4], bahwa Islam dalam
wujudnya memiliki dua bentuk. Pertama, Islam sebagai sistem keagamaan yang
bersifat transendental yang ideal. Yaitu sebagaimana tertuang dalam berbagai
ilmu  keislaman  yang  merupakan  hasil  interpretasi  atau  pemahaman  secara kontekstual para ulama’ terhadap Al-Qur’an dan keteladanan Rasulullah SAW. Kedua, Islam yang tercermin dalam realitas sejarah kebudayaan, peradaban dan masyarakat muslim.
Ini artinya bagaimana Islam sebagai agama yang memuat ajaran-ajaran
Ilahi dapat dibahasakan dan dilaksanakan oleh manusia, sehingga untuk dapat
menerjemahkan pesan Tuhan yang disabdakan melaui Al-Qur’an sebagai kitab
tuntunan umat Islam, maka perlu adanya suatu pemikiran atau kajian ilmu untuk
memahami  pesan  yang  disampaikan  Al-Qur’an,  sehingga  Al-Qur’an  dapat
membumi di masing-masing hati sanubari umat Islam. Oleh karena itu semua
pemikiran umat Islam tentang agama, sudah barang tentu adalah Al-Qur’an.[5]
Ketika ilmu pengetahuan dan teknologi modern memasuki dunia Islam,
terutama setelah pemukaan abad kesembilan belas, yang dalam sejarah Islam
dipandang  sebagai  permulaan  periode  modern.  Kontak  dengan  dunia  Barat
selanjutnya  membawa  ide-ide  baru  ke  dunia  Islam  seperti     rasionalisme,
nasionalisme, demokrasi dan sebagainya. Semua ini menimbulkan persoalan-
persoalan  baru,  dan  pemimpin-pemimpin  Islampun  mulai  memikirkan  cara
mengatasi persoalan-persoalan baru itu. Dengan jalan tersebut diharapkan akan
dapat melepaskan umat islam dari suasana kemunduran untuk selanjutnya dibawa
kepada kemajuan.[6]
Untuk  mengetahui  dan  melihat  perkembangan  maju  mundurnya  umat Islam yang terjadi dalam sejarah pemikiran, akan diuraikan di bawah ini.

C.    Ruang Lingkup Pemikiran Islam
Berbicara ruang lingkup pemikiran Islam, maka tidak terlepas dari mana
Islam tersebut lahir. Tanah Arab adalah cikal bakal tumbuh dan berkembangnya
agama Islam, sehingga untuk mengetahui sejauh mana perkembangan pemikiran
Islam, maka perlu kiranya menelisik sumber aslinya hingga masa sekarang.
Ketika  masa  Nabi  Muhammad  masih  hidup,  penggunaan  penalaran
rasional dalam memahami ajaran Islam belum banyak dilakukan, karena wahyu
masih belum berhenti diturunkan. Masalah-masalah yang timbul di kalangan
masyarakat diselesaikan oleh wahyu, atau oleh Nabi Muhammad sebagai orang
yang memperoleh “otoritas tasyri’” (menetapkan hukum). Bahkan dalam akidah
terdapat kecenderungan agar tidak umat Islam tidak mempertanyakan hal-hal
yang memang bukan jangkauan atau otoritas akal untuk membahasnya, misalnya
seperti masalah takdir. Hal tersebut dikarenakan umat Islam pada masa Nabi baru
saja  dialihkan  dari  keyakinan  syirik (politeisme)  kepada  keyakinan  tauhid (monoteisme),  dan  situasinya  memang  belum  memerlukan  penggunaan  nalar rasional.[7]
Dengan  bergulirnya  waktu  sejarah  umat  Islam  mewarisi  sebuah peradaban kuno yang besar di abad ke-20 dalam beberapa dekade sekarang, dunia  Arab  sedang  melakukan  modernisasi  berbagai  aspek  kemasyarakatan. Proses perubahan ke arah modernitas ini tidak terjadi secara bersamaan atau meliputi seluruh bagian dunia Arab. Di beberapa bagian terjadi perubahan yang lebih  mendalam  dibandingkan  dengan  bagian  lainnya,  dan  modernisasi memperlebar jangkaunnya hingga merambah ke dalam beberapa struktur sosial Arab, serta mulai menjebol institusi-institusi mapan yang mempengaruhi nilainilai tradisional, pola-pola perilaku dan sikap.
Kekuatan perubahan  pada dasarnya  didorong  oleh  model kebudayaan
Barat  modern,  khususnya  yang  terjadi  hegemoni  kolonial.  Bahkan  setelah
kemerdekaan politik, negara-negara Arab terus melakukan modernisasi dengan
berusaha melampaui paradigma Barat. Seluruh perubahan ke arah modernitas ini
bukan tanpa tantangan, kadang ringan dan kadang berat, yang terus menerus
menghambat pertumbuhan,  meskipun tidak  menghentikan proses modernisasi
secara total.[8]
Dalam dunia Islam tradisional, subjek dan objek pengetahuan dipandang
bersifat hierarkis. Realitas objek  bukan hanya dunia spasio-temporal
(ruang-waktu) yang tersedia yang bagi alat-alat indra saja. Yang pertama adalah Realitas
Mutlak,  Allah.  Dia  sendirilah  Yang  Ada  dalam  pengertian  mutlak  kata  itu.
Kemudian terdapat alam malakut, alam khayal yang dekat  (‘alam al-khayal),
dunia jin dan manusia, dan akhirnya dunia alami. Al-Qur’an secara konstan
menyebut  realitas-realitas  ini  sebagai  langit  dan  bumi.  Langit,  perlu  digaris
bawahi, selalu dalam bentuk jamak. Dari sudut Islam jelas bahwa ilmu yang
berhubungan dengan Tuhan tidak mempunyai pijakan yang sama dengan ilmu
tentang jiwa manusia ataupun dengan ilmu tentang mineral. Ini kontras sekali
dengan  sistem  pendidikan  modern  di  mana  teologi,  psikologi  dan  geologi
ditempatkan secara horisontal satu sama lain, sebagaimana laci-laci dalam sebuah
lemari kabinet yang masing-masing berisi sejumlah informasi.
Selanjutnya, dalam perspektif Islam terdapat hierarki dalam diri subjek yang  mengetahui.  Manusia  bukan  hanya  subjek  Cartesian  cogito  yang “mengetahui” pada satu dataran tunggal dari apa yang disebut dengan pikiran. Manusia dapat mengetahui melalui indra, melalui daya khayal, melalui akal budi yang begitu sering disinggung dalam Al-Qur’an dan akhirnya melalui wahyu yang merupakan mitra objektif pengintelekan (inteleksi) melalui mata hati (‘ain al-qulub). Sebagai wahyu pemungkas Kalam Tuhan, Al-Qur’an memuat segenap prinsip  pengetahuan  karena  ia  berada  pada  puncak  hierarki  dalam  cara  dan sumber ‘untuk mengetahui’ yang kemudian disusul secara hierarkis oleh caracara ‘untuk mengetahui’ yang lain.
Otoritas-otoritas intelektual Islam sepenuhnya sadar akan hierarki objek
dan  subjek  pengetahuan.  Berdasarkan  realitas-realitas  ini  mereka  mencoba
mengklasifikasikan ilmu-ilmu yang dijabarkan hukan hanya dari Al-Qur’an dan
hadits,  tetapi  juga  yang  diwarisi  oleh  para  ilmuan  dan  sarjana  muslim  dari
peradaban-peradaban  terdahulu  seperti,  Yunani,  Persia,  dan  India.  Mereka
mengembangkan  skema-skema  klasifikasi  ini  menurut  perspektif  intlektual
mereka sendiri, bukan berdasarkan ulah atau khayalan individual, karena dalam
tradisi Islam apa yang diucapkan (
maa qaala) selalu lebih didahulukan daripada
siapa yang mengucapkan (man qaala). Ini merupakan tradisi-tradisi intelektual
utama yang amat penting dalam menentukan sisi-sisi pemikiran Islam mengenai
subjek tertentu.[9]
Dari perkembangan pemikiran Islam dari masa ke masa inilah, muncul
pemikaran atau gerakan Islam yang sangat bervariatif, sehingga di era modern ini Islam memiliki madzhab (aliran) pemikiran yang banyak sekali. Akan tetapi kita
tidak ingin menyoroti madzhab dan aliran pemikiran tersebut kecuali dari sudut
peranan  dan  sejauh  mana  keterkaitan  dengan  dua  sistem,  yaitu  elitisme
(
nakhbawiyah) dan populisme (jamahariyah), sebagaimana kajian ini juga tidak
ingin  memasukkan  pembahasan  tentang  madzhab-madzhab  dan  aliran-aliran
pemikiran lain yang tidak membawa ‘misi perubahan’ secara sempurna.
Berdasarkan hal itu ada tiga madzhab pemikiran yang berkembang di Dunia Islam secara Internasional.
1.  Madzhab Pemikiran Pertama
Madzhab pemikiran ini menyatukan sistem-sistem elitisme, bunyawiyyah (strukturalasime) serta populisme. Didirikan oleh oleh Imam Hasan Al-Banna pada tahun empat puluhan sejak bermunculan beberapa madzhab pemikiran lain yang mempunyai misi untuk memperbaiki kondisi umat (Islam) pada saat itu. Seperti  yang  paling  terkenal  madzhab-madzhab  Jamaluddin  Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Syaid Rasyid Ridha.
2.  Madzhab Pemikiran Kedua
Madzhab ini bercirikan ishthifaiyyatu al-munha  (selektifitas misi) dan nukhbawiyyatu  at-tasykil (kaderisasi  golongan  elit)  yang  dilandasi  dengan pemikiran  radikal   (al-fikr  al-
mistaly).  Pencetusnya  adalah  As-Syahid  Sayid Quthb pada tahun enam puluhan. Gerakan Islam ini telah mengalami tekanantekanan sangat kejam yang dilakukan oleh para penguasa Mesir dan dibantu oleh badan-badan militer Inggris.

3.  Madzhab Pemikiran Ketiga
Madzhab  pemikiran  ini  bercirikan  ulamiyyah-jamahariyyah (dimotori oleh kaum cendekia dan rakyat) dam terbentuk oleh pemikiran serta pengaruh Revolusi  Islam  di  Iran  khususnya  pemikiran-pemikiran  pemimpin  revolusi tersebut yaitu Imam Khomaini. Aliran ini menuntut pentingnya peran aktif dari rakyat dalam mewujudkan suatu perubahan yang Islam di mana para ulama (kaum cendekia)-nya juga dituntut untuk mampu memikul tanggung jawab dalam memimpin  rakyat  serta  sebagai  motor  penggerak  proses  perubahan  tersebut secara keseluruhan.
Imam Hasan Al-Banna mempunyai satu keyakinan kuat akan pentingnya ‘Gerakan Islamisasi’ yang mana ia sendiri telah menetapkan langkah-langkah serta menyerukan keada segenap umat Islam untuk merealisasikannya. Namun beliau berpendapat bahwa suatu gerakan perubahan pertama kali harus melalui satu  fase  yang  mana  di  situ  dibentuk  satu  generasi  muslim  yang  mampu menghadapi konsekwensi-konsekwensi yang terjadi sebelum dan sesudah proses perubahan tersebut.
Beliau juga menekankan akan pentingnya kualitas (anggota pergerakan)
dalam menghadapi sistem jahiliyah dan menetapkan syarat-syarat khusus yang
tidak  ringan  yang  harus  dipenuhi  oleh  siapa  saja  yang  disiapkan  untuk
kepentingan tersebut. Hal itu tampak jelas berdasarkan pandangan beliau tentang
‘komunitas  yang  berkualitas’  sebagaimana  yang  beliau  sampaikan  kepada
generasi pertama dari para aktifis: “anda sekalian merupakan spirit baru yang
mengalir dalam qalbu umat Islam untuk membangkitkan kembali dengan Al-
Qur’an. Dan merupakan cahaya baru yang memancarkan untuk menghancurkan
kegelapan  materialisme  dengan  ma’rifatullah.  Serta  merupakan  suara  yang
menggema dan senantiasa menyerukan dakwah Rasulullah SAW”.[10]
Dengan demikian dengan keragaman pemikiran Islam yang muncul ke permukaan diharapkan akan membawa Islam mencapai Renaisans yang pada akhirnya akan mencapai kejayaan umat Islam (Aufklarung).
C. Jenis-Jenis Pemikiran Islam
Secara historis pemikiran Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
1.  Pertumbuan kajian terhadap teologi (ilmu kalam), tasawuf dan kebahasaan.
2.  Kajian terhadap filsafat, sains, dan sejarah.
3.  Kurun waktu kebekuan, kemunduran, dan kebangkitan.
Secara detail pembagian di atas dapat dijelaskan bahwa segera setelah wafatnya  Nabi Muhammad,  kebutuhan  mendesak  yang  dirasakan  adalah bagaimana   memelihara   dan   menyebarluaskan   naskah   Al-Qur’an   yang mendapatkan prioritas utama dari Nabi Muhammad sendiri selama hayatnya. Pengajaran Al-Qur’an, tajwid, hifdh Al-Qur’an dan bahkan pengajaran penulisan bahasa Arab mendapatkan perhatian utama. Tugas untuk mengumpulkan hadits Nabi yang dimulai sejak masa hayat beliau juga mendapatkan perhatian.
           
Akan  tetapi  dengan  perkembangan  Islam ke  negara-negara  lain  yang
memiliki peradaban dan budaya sendiri, menyebabkan bangsa Arab terpaksa
menghadapi tantangan-tantangan baru dalam kaitannya dengan prinsip-prinsip
ajaran agama mereka terhadap persoalan-persoalan hidup sehari-hari.
            Hal  ini  mendorong  perkembangan  ilmu  fiqih (hukum)  yang  paling
penting pada saat itu. Ilmu ini memerlukan ilmu pengetahuan tentang Al-Qur’an
dan Sunnah dan juga memerlukan intelejensi untuk memberikan suatu ketetapan
hukum berdasarkan ajaran-ajaran pokok dan jiwa Islam. Dalam kenyataannya,
semenjak dahulu umat Islam sendiri menyadari betapa pentingnya fiqh tersebut
dalam semua hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka sehari-hari.[11]
Fiqh, menurut pendapat Al-Ghazali, menjadi makanan sehari-hari bagi
setiap muslim. Ia memberikan penjelasan terinci bukan hanya tentang ibadah
tetapi juga juga tentang berbagai transaksi atau perjanjian, hukuman, hukum
perundang-undangan, status perorangan, waris-mewaris, perkawinan, perceraian,
dan sebagainya, yang didasarkan pada Al-Qur’an dan Hadits tersebut.
Imam-imam besar ini adalah Imam Abu Hanifah (w. 767/ 768 M), Imam
Malik (w. 795 M), Imam Syafi’i (w. 820 M), dan Imam Hanbal (w. 855 M). Semuanya  adalah  ahli-ahli  yang  berbobot  dalam  bidang  teologi  Islam. Pemahaman  mereka  yang  sempurna  terhadap  Al-Qur’an,  hadits-hadits  dan persepsi-persepsi yang dikemukakan oleh Nabi Muhammad serta takwa mereka menyebabkan  menjadi  bintang-bintang  yang  senantiasa  bercahaya  di  atas cakrawala Islam.
Secara detail perkembangan pemikiran Islam atau ilmu pengetahun Islam terbagi dalam empat tahap:
Tahap I: Kajian kebahasaan (masa Khulafaurrasyidin 40 H dan masa   Khilafah Bani Umayah 134 H)
Bahasa Arab adalah bidang studi pertama yang banyak ditulis orang pada
masa-masa sebelum Islam yang dikenal dengan masa Jahiliyah. Mereka selalu
mencari kenikmatan khusus dengan bahasa ini karena kekayaan kosa katanya, bentuk-bentuknya, padanan katanya, kemampuannya untuk menunjukkan maknamakna kiasan yang terbaik serta keindahan dan kefasihannya. Sehingga tidak mengherankan  jika  dalam  rangka  memahami  Al-Qur’an  secara  tepat,  maka perhatian yang cukup besar dicurahkan kepada kajian tata bahasa yang langkah pertama dirintis oleh Ali.
Pada masa-masa Khalifah Abbasiyah, para Imam mengikuti jejak para
khalifah yang saleh dengan memperlakukan teologi dan ilmu kalam sebagai
cabang dari fiqih. Namun para cendikiwan muslim di belakang hari menganggap
teologi skolastik atau ilmu kalam dan ilmu hukum (fiqh) merupakan studi yang
terpisah.
Kemajuan pemikiran (ilmu pengetahuan) Islam pada tahap pertama ini mendapatkan keberhasilan-keberhasilan sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an  adalah  prioritas  dalam  kajian  pemikiran  Islam,  yang  meliputi bacaan,  makna,  hafalan,  serta  pengklasifikasian  ayat-ayat  muhkamat  dan mustasyabihat.
2.      Ilmu hadits diformulasikan dan dikembangkan secara ilmiah, metode untuk menetapkan  kesahihan  dan  ketidak  sahihan  hadits  ditetapkan  secara meyakinkan,  koleksi-koleksi  hadits  dibuat  dan  penelitian  lebih  lanjut digerakkan.
3.      Ilmu fiqh termasuk ilmu ushul fiqh dirumuskan secara baik.
4.      Ilmu tasawuf mulai dikembangkan, yaitu ilmu tentang penyucian batin dan kedisplinan  pribadi  atau  ilmu  untuk  menyadari  adanya  Allah  melalui kesadaran terhadap diri pribadi dan latihan untuk berserah diri secara mutlak kepada-Nya berdasarkan syariah.
5.      Cabang-cabang ilmu pengetahuan lainnya seperti kedokteran, astronomi dan semua keterampilan yang diperlukan untuk kepentingan jihad tidak diabaikan (sudah mulai berkembang).[12]
Tahap II: kajian-kajian terhadap filsafat, sains dan sejarah, dan dampaknya terhadap kurikulum (masa khalifah Abbasiyah tahun 132 H).
Pada masa ini budaya dan pendidikan Islam sudah mulai dikembangkan.
Penekanannya bergeser dari ilmu-ilmu bertingkat tinggi dan bersifat spritiual keapda ilmu-ilmu filsafat dan kealaman tanpa meninggalkan konsep-konsep ilmu pengetahuan yang lebih luas menurut Islam.
Hal ini disebabkan dua faktor penting; pertama; pengaruh Persia (Iran)
dan kedua: pemindahan ibukota dari Damaskus ke Bagdad pada tahun 763 M.
Ibukota yang baru ini dihuni oleh orang-orang yang berbeda-beda agama dan
kebudayaannya. Para pemeluk agama-agama Kristen dan Zoroaster membawa
peradaban  Persia  dan  berbagai  unsur  budaya  Yunani (Hellenisme).  Karena bahasa Persia merupakan bahasa yang paling dominan, maka bahasa tersebut
diajarkan di sekolah-sekolah, universitas dan digunakan dalam penulisan buku-
buku.
Masa  inilah  merupakan  masa  kajayaan  bagi  bangsa-bangsa  muslim (saracens) di timur, karena masa penaklukan telah lewat dan peradaban mulai dibangun.  Bagdad  sebagai kota  terindah  sepanjang  masa  juga  telah  berubah menjadi pusat berbagai kegiatan ilmiah dan intelektual.
Penerjemahan buku-buku filsafat dan warisan pemikiran Yunani mulai digiatkan oleh apra khalifah. Hal tersebut dibuktikan dengan dibentuknya Baitul Hikmat (dewan Ilmu Pengetahuan) yang mempunyai fungsi menerjemahkan dan menyalin   berbagai macam naskah dan manuskrip, di samping itu juga dijadikan sebagai  perpustakaan.  Dari  terjemahan-terjemahan    ini  selain  menampilkan dimensi-dimensi baru dalam ilmu pengetahuan kepada para cendekiwan muslim, juga menampilkan tantangan-tantangan  baru.
Pada masa ini, pemanfaatan kemampuan intelek dan penalaran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan yang dirintis oleh Islam benar-benar mencapai puncaknya  pada  tahap  kedua  ini.  Akan  tetapi  kecenderunagn-kecenderungan rasional dalam Islam telah mendorong kebangkitan spekulasi teologik yang tidak selalu didasarkan atas ajaran Qur’ani dan semangat Islam yang benar. Sehingga muncullah banyak sekte, di antaranya adalah Mu’tazilah yang dijadikan sebagai ideologi negara pada masa khalifah al-Ma’mun.
Begitu berartinya masa ini, terutama pada bidang-bidang kajian filsaafti
dan rasionalnya. Yang paling penting adalah filsafat yang diakui menempati
posisi sentaral dan dianggal sebagai induk dari segala macam ilmu. Dengan
terjemahan-terjemahan berbagai karya para filsuf Yunani, terutama karya Plato dan  Aristoteles,  menempatkan  filsafat  itu  sebagai  pusat  perhatian  para cendikiawan muslim pada saat itu.
Oleh karenanya semenjak Al-Kindi, filsafat mulai dikembangkan. Para filsuf  Arab  kenamaan  dan  para pemikirnya  tidak  hanya  menguasai  berbagai macam cabang ilmu pengetahuan tetapi juga memberikan sumbangan-sumbangan istimewa dengan mengislamisasikan ilmu-ilmu Yunani itu dengan memberikan penjelasan  tentang  berbagai  konsep  dasar  pendidikan.  Di  antara  para  filsuf tersebut adalah Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina  (Avicennna), Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd   (Averos) dan Ibnu Khaldun.
Kecuali  pemikiran  kefilsafatan  rasional  seperti  disajikan  para  filosof
muslim untuk mempertemukan filsafat Yunani dengan ajaran Islam, muncul pula
pemikiran tasawuf sebagai reaksi terhadap kemewahan-kemewahan hidup dan
ketidakpastian nilai. Dalam perkembangannya, muncul tarekat-tarekat sufi yang
menjauhkan kemajuan Islam dari dari kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan
(science) dan kehidupan dunia yang diperlukan bagi kesejahteraan hidup umat
manusia. Pengaruh mistik luar pun  (dari Cina, India, dan Persia) tidak dapat
terelakkan. Paham panteisme masuk ke dalam dunia tasawuf. Namun demikian
masih ada tokoh sufi yang masih bertahan pada ajaran Islam murni, termasuk di
dalamnya al-Ghazali.[13]
Tahap III: Kurun waktu kebekuan dan kemunduran
Hal tersebut terjadai pasca jatuhnya Baghdad dan penghancurannya oleh
bangsa Tartar, walaupun di lain tempat, yaitu Spanyol Islam bangkit, akan tetapi
itupun  tidak  berlangsung  lama.  Dengan  tumbangnya  pusat  peradaban  dan
pendidikan umat Islam, maka para ulama’, sejak itu merasa khawatir jika Islam
sendiri  lantas  ditafsirkan  bermacam-macam,  karena  itu  mereka  mengambil
keputusan bahwa pintu ijtihad harus ditutup dan umat muslim diberitahu bahwa
pintu taqlid (mengikuti madzhab-madzhab yang sudah ada, yang dicetuskan oleh
tokoh-tokoh  pemikir  di  masa  lampau)  adalah  satu-satunya  jalan  yang  dapat
mereka lalui.
Di  samping  itu,  setelah  pusat  pendidikan  Islam di  Cordova,  Spanyol
benar-benar  runtuh,  kepicikan  dalam  berpikir  pun  mulai  timbul.  Walaupun
khilafah Islam masih ada, tetapi ia tidak memandang perlu untuk mengamati perkembangan-perkembangan baru di bidang keilmuan di Barat dan tidak mau mengetahui  filsafat  barat  yang  baru  serta  munculnya  cabang-cabang  ilmu pengetahuan yang baru pula.
Akibatnya  kelompok  ulama’  pada  waktu  itu  hanya  memusatkan
perhatiannya   pada   semua   yang   telah   ada   sebelumnya   dan   mencoba
menggunakannya  untuk  mengatasi  tantangan  baru.  Dengan  demikian  ilmu
pengetahuan itu dibatasi perkembangannya hanya sampai pada apa yang telah
mereka  pelajari  sebelumnya.  Bahkan  semakin  lama  penekannya  semakin
ditujukan pada ilmu pengetahuan yang bersumber pada wahyu semata.
Kurun waktu itu berlangsung hingga abad ke-19, walaupun Turki pada awal abad ke-19 menyadari akan pentingnya ilmu pengetahuan baru, terutama kepentingan kekuatan militernya dan Mesir pasca ditaklukkan Napoleon. Akan tetapi perkembangannya amat lamban.
Di samping itu juga sejarah telah berbicara bahwa jatuhnya kebesaran AlIslam (dalam arti sosial empiris) bertepatan dengan munculnya dikotomi pikiran antara fundamentalisme Ghazali dengan rasionalisme Ibnu Rusyd. Karena itu hakekat pertentangan atau antoginisme ini harus kita pelajari dengan teliti, agar kita bisa belajar dari sejarah, dan mencoba untuk kembali menemukan jalan lurus yang diridhai Allah.
Kaum penguasa di jaman Ibnu Rusyd menganggap pertentangan itu harus
segera  diatasi  demi  menjamin “ketahanan  nasional”  atau  konsistensi  ajaran
agama. Tanpa pikiran panjang mereka melihat bahwa rasionalisme itu adalah lawan  fundamentalisme,  dan  Islam  mengajarkan  hanya  bisa   menerima fundamentalisme. Karena itu rasionalisme Ibnu Rusyd harus dibunuh !. Ya itulah bukti bahwa manusia tidak mengerti makna ciptaan Allah yang berpasangan secara harmonis. Mustahil Allah menciptakan permusuhan. Permusuhan antara rasionalisme dengan fundamentalisme pasti bersumber pada kedunguan manusia yang tidak mampu menghayati dunia yang serba kompleks.
Tahap IV: Kebangkitan kembali dan tantangannya Jatuhnya Baghdad ke tangan Hulagu dari Tartar mengakibatkan umat Islam mengalami kemunduran. Gerakan tarekat berkembang, mungkin sebagai kompensasi dan pelipur lara. Pada saat keadaan demikian, muncullah gerakan purifikasi (pemurnian) yang mengajak umat Islam kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Filsafat dan Tasawuf ditentang, karena dirasakan telah mengantarkan umat Islam menjauhi ajaran Islam yang benar. Tokoh utama gerakan ini adalah Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah, yang kemudian dilanjutkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab.
Di Afrika Utara muncul pemikir besar Ibnu Khaldun yang kemudian
terkenal  sebagai “bapak  sosiologi”  dunia.  Perhatian  dunia  barat  terhadap
pemikiran Ibnu Khaldun sangat besar. Kitabnya yang amat monumental adalah Muqaddimah,  yang  telah  diterjemahkan  ke  dalam  berbagai  bahasa.  Kecuali sebagai bapak sosiologi, Ibnu Khaldun juga dikenal sebagai bapak filsafat sejarah yang sangat mengagumkan.
Sejaman dengan Ibnu Khaldun, di Granada muncul seorang filsuf hukum Islam  bernama  Ali  Sathibi  yang  mewariskan  karya  yang  sangat  bermanfaat kepada umat Islam, yaitu al-Muwafaqat.
Kurun  waktu  setelah  Ibnu  Khaldun,  sejarah  pemikiran  Islam  tidak
mencatat pemikiran yang menonjol, hinga akhir abad ke-19 Masehi. Pada akhir
abad ke-19 Masehi, muncul kembali gerakan pembaharuan pemikiran Islam di
banyak negara wilayah Dunia Islam, di Mesir, Syam, India yang sangat besar
pengaruhnya terhadap pembaharuan alam pemikiran Islam di Indonesia. Nama-
nama Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha,
Muhammad Iqbal, Abdurrahman Al-Kawakibi, dan lain-lain dapat dipandang
sebagai tokoh dan pionir yang tercatat dalam “cetak biru” sejarah filsafat Islam.[14]
Dalam  kaitannya  dengan  masalah  pendidikan,  pada  abada  ke-20  ini
pemerintah-pemerintah Islam dan umat muslim pada umumnya menyadari akan
adanya keterbatasan-keterbatasan dalam jangkauan ilmu pengetahuannya. Akan
tetapi untuk menghindari terjadinya benturan-benturan dengan orang-orang yang
memiliki otoritas di bidang agama, perlu ditampilkan sistem pendidikan yang
lain, terutama pendidikan sistem barat yang sekuler. Akan tetapi hal tersebut
mempunyai  tantangan  berat,  karena  antara  ilmu  pengetahuan  dan  ilmu
pengetahuan sekular berjalan pada dua jalur yang sama sekali terpisah. Inilah
tantangannya, apakah sistem pendidikan yang dikembangkan di dunia Islam telah sejalan dengan perkembanagn konsep ilmu pengetahuan ?. artinya peran apakah yang seharusnya dimainkan oleh universitas-universitas tersebut saat ini ?[15]
Pada  perkembangan  selanjutnya  pemikiran  Islam  mengalami  masa
kebangkitan.  Hal  ini  perlu  dilakukan  karena  Islam  memiliki  peran  penting
historis bagi kita semua, tetapi pada saat yang sama, pemahaman kita terhadap
fenomena  ini  sangat  tidak  memadai.  Ada  kebutuhan  untuk  mendorong  dan
memprakarsai  pemikiran  yang  berani,  bebas,  dan  produktif  tentang  Islam
sekarang. Apa yang disebut dengan revivalisme Islam telah memonopoli wacana
tentang  Islam,  para  ilmuan  sosial,  lebih-lebih,  tidak  memberikan  perhatian
terhadap apa yang disebut “Islam yang diam” (the silent Islam), yaitu Islam dari
kaum  mukminin  sejati  yang  lebih  mementingkan  hubungan  religius  dengan
Tuhan Yang Absolut ketimbang dengan demonstrasi-demonstrasi gerakan politik
yang berapi-api. Dengan merujuk pada para pemikir Islam dan kaum intelektual
yang mengalami banyak kesulitan besar dalam memasukkan pendekatan kritis
mereka ke dalam wilayah sosial dan kultural yang, pada saat ini, sepenuhnya
didominasi oleh ideologi-ideologi militan.
Inilah mengapa Arkoun yang hidup di Aljazair, yang mana pernah dijajah oleh  Perancis  sebagai  kolonial,  merasa  tergugah  untuk  melakukan  ijtihad terhadap pemikiran Islam. Ia dikejutkan oleh konfrontasi yang tajam dan keras antara budaya dan bahasa Perancis sebagai penjajah.
Ia berusaha memikirkan kembali (rethinking) Islam. Dengan pendekatan
historis, dengan kuriositas modernnya yang luas. Sekarang adalah waktu yang
tepat  untuk  menghentikan  konfrontasi  yang  tidak  relevan  antara  dua  sikap
dogmatis ini, yaitu klaim teologis kaum beriman dan postulat-postulat ideologis
rasionlisme positivis. Studi agama-agama, masih dirintangi oleh definisi-definisi
dan metode-metode yang kaku, yang diwarisi dari teologi dan metafisika klasik.
Sejarah  agama  telah  mengumpulkan  banyak  fakta  dan  deskripsi  mengenai
berbagai agama, tapi agama sebagai sebuah dimensi universal eksistensi manusia
tidak  didekati  dari  perspektif  epistimologis  yang  relevan.  Kelemahan  dalam
pemikiran  modern  ini  lebih  jelas  digambarkan    oleh  literatur  yang  miskin,
konformis, dan kadang-kadang polemis mengenai agama-agama Kitab, seperti akan kita lihat nanti.
Karena alasan-alasan inilah, maka penting untuk menyingkirkan berbagai hambatan yang ditemukan dalam literatur Islam sebagaimana dalam literatur orientalis  mengenai  Islam dan  mencurahkan  perhatian  yang lebih  banyak  di universitas-universitas kita untuk mengajarkan dan mempelajari sejarah sebagai sebuah antropologi masa lalu dan bukan hanya sebagai sebuah catatan naratif mengenai fakta-fakta.
Arkoun  bersikeras  menggunakan  pendekatan  historis,  sosiologis,  dan
antropologis  bukan  untuk  menyangkal  pentingnya  pendekatan  teologis  dan
filosofis,  tapi  untuk  untuk  memperkaya  pendekatan  itu  dengan  inklusi  dari
kondisi-kondisi  historis  dan  sosial  yang  kongkrit  di  mana  Islam  selalu
dipraktikkan.[16] Dengan demikian jika umat Islam tidak ingin ketinggalan dari bangsa Barat, maka kemauan keras untuk bangkit dari kemalasan spritual dan
intelektual  harus  dikikis  habis,  sehingga  sendi-sendi  keilmuan  yang  telah
dibangun dan dikembangkan oleh founding father hirarki keilmuan dalam dunia
Islam akan kembali tercipa, sehingga umat Islam akan berjaya kembali.

D.    Kesimpulan
Pemikiran Islam mengandung tiga hal, yakni: (1) fakta (al-wâqi‘); (2) hukum (justifikasi); (3) keterkaitan fakta dengan hukum.
Fakta dapat berupa benda maupun perbuatan. Fakta berupa benda hanya memiliki dua macam hukum, yakni mubah (halal) dan haram. Buah anggur, misalnya, hukumnya mubah, sedangkan khamar hukumnya haram. Dalam konteks benda ini, ada sebuah kaidah syariat yang diambil dari nash-nash al-Quran dan al-Hadis:
اْلأَصْلُ فِي اْلأَشْياَءِ اْلإِباَحَةُ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّحْرِيْمِ
Hukum asal setiap benda adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Sedangkan jika fakta itu berupa perbuatan, maka hukumnya ada lima, yakni fardhu (wajib), mandub (sunnah), mubah, makruh dan haram. Misalnya, puasa Ramadhan hukumnya wajib, shadaqah hukumnya sunnah (mandub), makan roti mubah, berbicara di WC makruh, dan riba itu haram.
            Kaidah syara yang dinisbahkan kepada perbuatan adalah:
اْلأَصْلُ فِي اْلأَفْعاَلِ التَّقَيَّدُ
Hukum asal setiap perbuatan adalah terikat (dengan hukum syara).

Hukum atas fakta harus diambil dari dalil-dalil syara yaitu Kitabullah dan Sunnah Rasul, dan apa-apa yang ditunjukkan oleh Kitabullah dan Sunnah Rasul, yaitu Ijma’ Sahabat dan Qiyas.
Pemikiran Islam ada dua macam, yaitu pemikiran yang berkaitan dengan aqidah, seperti keimanan kepada Allah, kepada Rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan hari akhir. Dan pemikiran yang berkaitan dengan hukum syara yang bersifat praktis, seperti jihad dan shalat.
Asas-asas pemikiran Islam yaitu:
1.      Akal
2.      Syara’
Ciri khas Pemikiran Islam yaitu:
1.      Kekomprehensifan pemikiran Islam
2.      Keluasan pemikiran Islam
3.      Pemikiran Islam merupakan pemikiran yang bersifat praktis (Amaliy)
4.      Pemikiran Islam merupakan pemikiran bersifat manusiawi.




















REFERENSI


A. Hanafi, 1979, Theologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, , cet III.
A.W.  Munawir. 1997. Kamus  Al-Munawwir  Arab-Indonesia  Terlengkap,  Surabaya : Pustaka  Progressif.
Abuddin Nata. 2004, Metodologi Studi Islam. Jakarta, PT Rajagrafindo Persada.
Ahmad Azhar Basyir. 1993. Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, Bandung: Mizan.
Ahmadi,Abu. 1982. Filsafat Islam. Semarang: Toha Putra.
Amin Syukur. 2000. Pengantar Study Islam. Semarang : CV. Bima Sejati.
Didin Saefuddin Buchori. 2005, Metodologi Studi Islam. Bogor, Granada Sarana Pustaka.
Fathi Yakan. 1996. Islam Era Global (Kajian Proyek Islamisasi Ideal). Yogyakarta: Ababil.
H.A.R. Gibb. 1992. Aliran-Aliran Modern Dalam Islam. Jakarta : Rajawali Pers.
Hamid Hasan Bilgrami & Sayid Ali Asyraf. 1989. Konsep Universitas Islam, Tiara Wacana.
Harun Nasution. 1994. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta : Bulan Bintang.
Husain bin Muhammad al-Jasar, al-Hushun al-Hamidiyah li al-muhadzah ‘ala-al’Aqaid al Islamiyah, Bandung : Sa\yirkah al Manaf.
Issa J. Boullata. 2001. Dekonstruksi Tradisi Pemikiran Arab Islam. Yogyakarta: LKiS.
John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford, Dunia Islam Modern, 2000.
M. Ali Hasan. 2000. Studi Islam. Jakarta, Rajagrafindo Persada.
Mohammed Arkoun. 2001. Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama. Terj. Rusalani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nasution, Harun.1978. Falsafah dan Misticisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Osman Bakar. 1997. Hierarki Ilmu Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Pen. Purwanto. Bandung: Mizan,.
Sayyed Hossen Nasr, 1988, Knowledge and The Sacred, Lahore: Suhail Academy.
Syahrin Harahap, Islam dan Modernitas Dari Teori Modernisasi Hingga Penegakan Kesolehan Modern, 2015, Jakarta: Kencana
Syaikh Muhammad Abduh, 1975, Risalah Tauhid, Jakarta: Bulan Bintang, cet I.
Tariq Ramadan. 2003. Menjadi Modern Bersama Islam. Jakarta, Teraju.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.



1Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1990,  h. 682-683.
[2] A.W.  Munawir,  Kamus  Al-Munawwir  Arab-Indonesia  Terlengkap,  Pustaka  Progressif, Surabaya, 1997, h. 656-656.
[3] Amin Syukur, Pengantar Study Islam., CV. Bima Sejati, Semarang, 2000, h. 27 – 28.
[4]Ibid., h. 5.

[5]Baca H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 1992, h.1-3.
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta: 1994, h. 12.
[7]Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman Seputar Filsafat, Hukum, Politik, dan Ekonomi, Mizan, Bandung, 1993, h. 20.

[8] Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi Pemikiran Arab Islam, LKiS, Yogyakarta, 2001, h. 1.
[9] Osman Bakar, Hierarki Ilmu Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu, Pen. Purwanto, Mizan, Bandung, 1997, h. 12.
[10] Fathi Yakan, Islam Era Global (Kajian Proyek Islamisasi Ideal), Ababil, Yogyakarta, 1996, h. 63-65.
[11] Hamid Hasan Bilgrami & Sayid Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam, Tiara Wacana, 1989, h. 6-7.
[12] Ibid., h. 13-14.
[13] Ahmad Azhar Basyir., h. 23.
[14] Ibid., h. 23-24.
[15] Hamid Hasan Bilgrami & Sayid Ali Asyraf., h. 12-23.
[16] Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, Terj. Rusalani, Pustaka Pelajar. Yogyakarta, 2001, h. 4.

No comments:

Post a Comment