Anggun Dalam Moral Unggul Dalam Intelektualnya
Mahasiswa Zaman Now
Oleh: Syamsul Amri Siregar
Pendahuluan
Sejatinya mahasiswa memiliki
potensi yang besar, tantangan dan juga tanggung jawab di jamannya. Tantangan
mahasiswa adalah menjaga generasinya tetap baik dan lebih baik dari yang dulu.
Mahasiswa sebagai agent of change
dituntut untuk mengambil peran didalam tantangan yang berupa perubahan sosial.
Perubahan tersebut mengikuti zamannya seperti globalisasi dan modernisasi
sehingga menimbulkan kekhawatiran masyarakat
yaitu krisis moral.
Mahasiswa pada era globalisasi sekarang ini
seperti kehilangan arah dan tujuan. Mahasiswa terjebak pada lingkaran dampak
globalisasi yang lebih mengedepankan corak hedonisme dan apatisme. Mahasiswa
bersifat anarkisme dalam menyuarakan kepentingan rakyat merupakan corak dan
stigma negative yang seakan-akan menyudutkan posisi mereka. Bahkan banyak masyarakat
yang menganggap mahasiswa sekarang disibukkan oleh tawuran antar sesama dan bentrokan
terhadap aparat penegak hukum. Sehingga
pada akhirnya keamanan masyarakat menjadi terganggu dan kehidupan pembelajaran
di kampus tidak kondusif.
Itulah kekhawatiran adanya krisis moral
mahasiswa yang seharusnya menjadi agen perubahan social lebih baik tetapi
terhalang oleh kebahagiaan dunia semata. Maka dari itu Anggun
Dalam Moral Unggul Dalam Intelektual adalah jargon dari aktifis kampus yang ada
dalam lingkaran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah menjadi penyemangat hidup untuk
menjalankan roda organisasi kemahaisswaan.
Moralitas dan Mahasiswa
Moral menjadi
tema pembicaraan yang hangat dalam ranah sosial yang kompleks, setidaknya di
zaman kontemporer ini. Pembicaraan karakter dan moral mulai mencuat dengan cara
pandang orang muda untuk mendobrak tatanan yang sudah ada, runtuhnya kebudayaan
lama dan munculnya budaya massa, tindak kejahatan yang meningkat, perebutan
arena kekuasaan, serta ruang kebebasan yang disalahartikan. Selain itu, respon
cepat anak muda yang tidak memiliki filter
terhadap pengaruh asing juga menjadi pemicu krisis moral dalam globalisasi
karena terjadi begitu cepat dan seolah serentak dalam trend dan mode yang tidak
berdasar pada nilai-nilai.
Dalam memahami
moral, memang menjadi susah untuk membedakan antara perubahan dan kebimbangan
zaman.[1] Beberapa anak
muda dengan jenjang pendidikan tinggi, namun nyatanya juga terperosok dalam
tindak kejahatan telah menandai perubahan pada institusi pendidikan yang
dianggap kurang maksimal. Begitu juga dengan semakin banyaknya terungkap kasus
korupsi yang merugikan negara, yang senyatanya dilakukan oleh orang-orang
terpilih. Mereka adalah orang-orang yang mengalami pembelajaran panjang, namun
juga mengalami perubahan karakter dengan berbagai usaha pemenuhan hasrat. Hal
ini justru menjadi temuan baru dalam zaman kontemporer. Oleh karena itu,
membicarakan moral adalah berbicara kompleksitas yang ada dalam kehidupan tanpa
pernah mencapai titik batas.
Dalam kondisi
mutakhir ini, pembicaraan moral lebih diarahkan dalam bentuk-bentuk
penyimpangan. Moral berbicara mengenai baik dan buruk dalam diri seseorang dan
masyarakat di sekitarnya terkait dengan perbuatan dan tingkah laku.[2]
Moral menjadi acuan atas kehidupan seseorang dalam berdasarkan sudut pandang
pola-pola yang telah terbentuk sebagai wujud interaksi. Moral muncul dalam
bentuk kesesuaian dan keharmonian seseorang dalam beraktivitas terkait dengan
norma-norma seperti norma kesopanan, norma adat, norma tradisi, dan norma
sosial. Semua itu terwujud dalam bentuk prilaku agar senantiasa berada dalam
kebijakan terkait yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Berkait
dengan hal tersebut, Hazlitt mengemukakan:
Etika kebijaksanaan merupakan bagian terbesar dari
seluruh etika. Namun seluruh etika itu bersandar pada dasar yang sama. Karena
manusia mendapati bahwa etika tersebut memperkembangkan kepentingannya sendiri
dalam jangka panjang bukan hanya karena menahan diri untuk melukai sesama
manusia, melainkan karena mendorong kerjasama antarmanusia. Kerjasama sosial
merupakan sarana paling utama yang dengan itu kebanyakan di antara kita mencapai sebagian
besar tujuan kita. Kesadaran implisit, jika bukan eksplisit, atas kerjasama
sosial inilah yang pada akhirnya menjadi dasar bagi kode moral maupun aturan
prilaku kita. “Keadilan” itu sendiri mengandung makna kepatuhan pada aturan
atau prinsip yang banyak menjaga dan mendorong kerjasama sosial.[3]
Dari pandangan
tersebut, dapat dipahami bahwa lingkup sosial (sebagai kumpulan individu)
membutuhkan etika kebijaksanaan untuk bisa hidup harmonis. Tiap-tiap individu
sebenarnya membutuhkan kehidupan yang harmonis. Pertemuan antarmanusia telah
menyebabkan gesekan sosial yang bercampur dengan keinginan dan kebutuhan individu.
Etika kebijaksanaan tidak bisa bekerja optimal dalam lingkungan yang telah
dipenuhi dengan kekacauan. Etika kebijaksanaan adalah persoalan individu dalam
memandang hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan,
dan manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu, etika kebijaksanaan dalam masyarakat
arkaik dibungkus dengan rapi dalam
kitab dan ajaran agama yang masih dipatuhi oleh masyarakat yang bersangkutan.
Adapun yang menjadi persoalan adalah memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap
kitab dan ajaran agama. Pengetahuan- pengetahuan yang ada di dalamnya seolah
dianggap tidak rasional di era modern.
Hanry Hazlitt
pernah mengungkapkan hal yang menarik terkait merosotnya moral dalam zaman
kontemporer ini. Ia mengatakan “kini kemerosotan dalam moralitas kontemporer
setidaknya sebagian disebabkan oleh kemerosotan dalam agama.”[4]
Peranan agama di zaman kontemporer itu sendiri seolah tak mampu menjawab
kebutuhan sehari-hari dari segi ekonomi. Keyakinan pun menjadi hilang dengan
kesenjangan sosial yang begitu jauh, sementara rincian materi seolah bisa
dicapai seiring tingkat pendidikan dan kerja. Orang lebih memandang untuk
materi yang terlihat dengan berbagai tawaran fantasi dan imajinasi untuk
pemenuhan hasrat. Selain itu, ruang sosial
yang makin padat dan makin individual juga telah menjadikan orang tidak lagi
memandang hak dan kewajiban antara yang satu dengan lainnya.
Sayangnya,
dalam proses pembelajaran masa kini di Indonesia tak lagi banyak ditemukan
ajaran mengenai etika dan moral kebijaksanaan. Pembelajaran moral yang ada di
sekolah-sekolah dimunculkan dalam pendidikan konseling yang dalam praktiknya
adalah menangani permasalahan atas tindak kenakalan. Adapun bentuk-bentuk
ajaran moral yang ditanamkan tidak disertai dengan konsensus dari peraturan
atau perundang-undangan sebagai titik dasar etika. Selain itu, kata- kata di
dalam peraturan atau perundang-undangan yang selalu bisa ditafsirkan membuat
hukum jadi lemah sehingga berbagai tindak kenakalan tetap menjadi keseharian.
Secara khusus,
bila sebuah komunitas ingin menumbuhkan kembali moral yang dimiliki individu di
dalamnya adalah dengan membangkitkan kembali kepercayaan di dalam agama. Agama
berisikan konsep kejujuran dan membentuk hak dan kewajiban setiap individu.
Sekarang ini, manusia sudah sangat sulit mengandalkan budaya yang dianggap
memiliki nilai-nilai adiluhung karena budaya yang ada sekarang ini sudah
menjadi artefek. Budaya yang ada sekarang ini adalah pola dari reproduksi
sosial yang terbentuk secara praktis. Oleh karena itu, ketika konsep
pembelajaran karakter dirancang sebagai acuan pembelajaran di sekolah-sekolah,
maka elemen-elemen di masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan agama juga
harus dibangun. Proses pembelajaran itu sendiri tidak dapat berjalan sendiri.
Keterkaitan antara keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan harus bersatu.
Pembelajaran
moral dapat dimunculkan dalam kehidupan tokoh tertentu yang dihidupkan kembali.
Boleh dikatakan bahwa tokoh tersebut dimunculkan dalam dunia simulasi. Dalam
hal ini, strutuktur narasi memungkinkan terjadinya simulasi dengan keadaan
lebih baik. Menurut Erianto,[5]
“narasi tidak identik dengan peristiwa aktual yang sebenarnya,
karena pembuat narasi bukan hanya memilih peristiwa yang dianggap penting,
tetapi juga menyusun peristiwa tersebut ke dalam babak atau tahapan tertentu”.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa cerita yang bagus mampu
memuat kompleksitas dengan daya tarik yang unik. Adapun kehadiran tokoh dalam
setiap fragmen cerita membawa peranan yang sangat penting, yang muncul dalam
kekuatan sejati untuk memberi inspirasi jalan hidup. Oleh karena itu, untuk
memulai membentuk moral seseorang adalah sejak kecil dengan memberikan banyak
inspirasi melalui berbagai macam kisah yang ia dengar untuk direfleksikan dalam
hidup.
Anggun Dalam Moral, Unggul Dalam Intelektual
Motto Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah
Anggun Dalam Moral, Unggul Dalam Intelektual, ini menjadi sebuah landasan
pergerakan yang diharapkan para kader persayrikatan bisa menjadi terdepan dalam
beragama dan bernegara yang dilandasi oleh nilai-nilai etika dan moralitas.
Berbicara tentang moralitas berarti berbicara tentang sikap dan akhlak,
Alquran banyak memberi isyarat tentang itu semua, diantaranya yaitu tentang
kejujuran. Allah berfirman dalam Alquran surat Al Ahzab ayat 70 yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً
سَدِيداً
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah
kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS.al-Ahzab:70)
Nilai-nilai kejujuran dikalangan mahasiswa sudah
meluntur, apakah karena efek zaman now, dimana telekomuniasi dan informasi
semakin terbuka, sehingga para generasi muda atau mahasiswa sulit untuk
membentengi diri dari akselerasi perubahan zaman. Ini menjadi tantangan bagi
kaum intelektual agar dapat menerapkan nilai-nilai kejujuran dalam diri.
Ayat Alquran diatas menjadi sebuah landasan bagi
mahasiswa, karena tidak ada gunanya jika memiliki intelektual yang cerdas akan
tetapi tidak menerapkan nilai-nilai kejujuran. Maka dari itu, diharapkan bagi
mahasiswa dapat menjadikan dirinya selain unggul dalam intelektualnya tetapi
anggun moralnya. Yakinlah dengan kejujuran akan menghasilkan kebahagiaan.
Kesimpulan
Mahasiswa Zaman Now sepertinya lebih cendrung kepada
hal-hal negatif, dimana nilai-nilai moralitas pada diri mahasiswa sudah mulai
kendur dan luntur. Melihat dari beberapa kasus yang terjadi di negeri ini yaitu
ada mahasiswa yang membunuh dosen, ada mahasiwa yang menganiaya dosen, ada
mahasiswa yang terjerumus narkoba. Oleh karena itu dengan tawaran motto dari
Anggun Dalam Moral, Unggul Dalam Intelektual menjadikan diri di zaman now
diharapkan tidak hanya sebagai motto saja, akan tetapi dapat diaplikasikan dan
diaktualisasikan dalam kehidupan bernegara dan beragama.
Alquran menjadi landasan sebagai generasi muda, karena
dengan menerapkan nilai-nilai moralitas yang digambarkan dalam Alquran dapat
menjadi solusi dan dipraktikan dalam berkehidupan sehari-hari. Mulai dari
Mahasiwa Muhammadiyah menjadi role model bagi mahasiswa lainnya. Tidak adalagi
mahasiwa yang telat wisuda, tidak ada lagi mahasiswa yang aktifitasnya
disbukkan dengan hal-hal negatif. Mulailah merubah diri, banyak melakukan
hal-hal positif yang bermanfaat bagi masyarakat. Karena mahasiswa adalah “Agen
of Change”. Agen perubahan harus dimulai dari hal-hal yang kecil yang dapat
mengangkat martabat bangsa dan negara.
[5]Erianto, Analisis
Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media (Jakarta:
Kencan Prenada Media Group, 2013), h. 45.
No comments:
Post a Comment