Thursday 10 January 2019

Anggun Dalam Moral Unggul Dalam Intelektualnya Mahasiswa Zaman Now


Anggun Dalam Moral Unggul Dalam Intelektualnya Mahasiswa Zaman Now
Oleh: Syamsul Amri Siregar

Pendahuluan
Sejatinya mahasiswa memiliki potensi yang besar, tantangan dan juga tanggung jawab di jamannya. Tantangan mahasiswa adalah menjaga generasinya tetap baik dan lebih baik dari yang dulu. Mahasiswa sebagai agent of change dituntut untuk mengambil peran didalam tantangan yang berupa perubahan sosial. Perubahan tersebut mengikuti zamannya seperti globalisasi dan modernisasi sehingga menimbulkan kekhawatiran masyarakat  yaitu krisis moral.
Mahasiswa pada era globalisasi sekarang ini seperti kehilangan arah dan tujuan. Mahasiswa terjebak pada lingkaran dampak globalisasi yang lebih mengedepankan corak hedonisme dan apatisme. Mahasiswa bersifat anarkisme dalam menyuarakan kepentingan rakyat merupakan corak dan stigma negative yang seakan-akan menyudutkan posisi mereka. Bahkan banyak masyarakat yang menganggap mahasiswa sekarang disibukkan oleh tawuran antar sesama dan bentrokan terhadap aparat penegak hukum. Sehingga pada akhirnya keamanan masyarakat menjadi terganggu dan kehidupan pembelajaran di kampus tidak kondusif.
Itulah kekhawatiran adanya krisis moral mahasiswa yang seharusnya menjadi agen perubahan social lebih baik tetapi terhalang oleh kebahagiaan dunia semata. Maka dari itu Anggun Dalam Moral Unggul Dalam Intelektual adalah jargon dari aktifis kampus yang ada dalam lingkaran Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah menjadi penyemangat hidup untuk menjalankan roda organisasi kemahaisswaan.
Moralitas dan Mahasiswa
Moral menjadi tema pembicaraan yang hangat dalam ranah sosial yang kompleks, setidaknya di zaman kontemporer ini. Pembicaraan karakter dan moral mulai mencuat dengan cara pandang orang muda untuk mendobrak tatanan yang sudah ada, runtuhnya kebudayaan lama dan munculnya budaya massa, tindak kejahatan yang meningkat, perebutan arena kekuasaan, serta ruang kebebasan yang disalahartikan. Selain itu, respon cepat anak muda yang tidak memiliki filter terhadap pengaruh asing juga menjadi pemicu krisis moral dalam globalisasi karena terjadi begitu cepat dan seolah serentak dalam trend dan mode yang tidak berdasar pada nilai-nilai.
Dalam memahami moral, memang menjadi susah untuk membedakan antara perubahan dan kebimbangan zaman.[1] Beberapa anak muda dengan jenjang pendidikan tinggi, namun nyatanya juga terperosok dalam tindak kejahatan telah menandai perubahan pada institusi pendidikan yang dianggap kurang maksimal. Begitu juga dengan semakin banyaknya terungkap kasus korupsi yang merugikan negara, yang senyatanya dilakukan oleh orang-orang terpilih. Mereka adalah orang-orang yang mengalami pembelajaran panjang, namun juga mengalami perubahan karakter dengan berbagai usaha pemenuhan hasrat. Hal ini justru menjadi temuan baru dalam zaman kontemporer. Oleh karena itu, membicarakan moral adalah berbicara kompleksitas yang ada dalam kehidupan tanpa pernah mencapai titik batas.
Dalam kondisi mutakhir ini, pembicaraan moral lebih diarahkan dalam bentuk-bentuk penyimpangan. Moral berbicara mengenai baik dan buruk dalam diri seseorang dan masyarakat di sekitarnya terkait dengan perbuatan dan tingkah laku.[2] Moral menjadi acuan atas kehidupan seseorang dalam berdasarkan sudut pandang pola-pola yang telah terbentuk sebagai wujud interaksi. Moral muncul dalam bentuk kesesuaian dan keharmonian seseorang dalam beraktivitas terkait dengan norma-norma seperti norma kesopanan, norma adat, norma tradisi, dan norma sosial. Semua itu terwujud dalam bentuk prilaku agar senantiasa berada dalam kebijakan terkait yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Berkait dengan hal tersebut, Hazlitt mengemukakan:
Etika kebijaksanaan merupakan bagian terbesar dari seluruh etika. Namun seluruh etika itu bersandar pada dasar yang sama. Karena manusia mendapati bahwa etika tersebut memperkembangkan kepentingannya sendiri dalam jangka panjang bukan hanya karena menahan diri untuk melukai sesama manusia, melainkan karena mendorong kerjasama antarmanusia. Kerjasama sosial merupakan sarana paling utama yang dengan itu kebanyakan di antara kita mencapai sebagian besar tujuan kita. Kesadaran implisit, jika bukan eksplisit, atas kerjasama sosial inilah yang pada akhirnya menjadi dasar bagi kode moral maupun aturan prilaku kita. “Keadilan” itu sendiri mengandung makna kepatuhan pada aturan atau prinsip yang banyak menjaga dan mendorong kerjasama sosial.[3]

Dari pandangan tersebut, dapat dipahami bahwa lingkup sosial (sebagai kumpulan individu) membutuhkan etika kebijaksanaan untuk bisa hidup harmonis. Tiap-tiap individu sebenarnya membutuhkan kehidupan yang harmonis. Pertemuan antarmanusia telah menyebabkan gesekan sosial yang bercampur dengan keinginan dan kebutuhan individu. Etika kebijaksanaan tidak bisa bekerja optimal dalam lingkungan yang telah dipenuhi dengan kekacauan. Etika kebijaksanaan adalah persoalan individu dalam memandang hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan lingkungan, dan manusia dengan Tuhan. Oleh karena itu, etika kebijaksanaan dalam masyarakat arkaik dibungkus dengan rapi dalam kitab dan ajaran agama yang masih dipatuhi oleh masyarakat yang bersangkutan. Adapun yang menjadi persoalan adalah memudarnya kepercayaan masyarakat terhadap kitab dan ajaran agama. Pengetahuan- pengetahuan yang ada di dalamnya seolah dianggap tidak rasional di era modern.
Hanry Hazlitt pernah mengungkapkan hal yang menarik terkait merosotnya moral dalam zaman kontemporer ini. Ia mengatakan “kini kemerosotan dalam moralitas kontemporer setidaknya sebagian disebabkan oleh kemerosotan dalam agama.”[4] Peranan agama di zaman kontemporer itu sendiri seolah tak mampu menjawab kebutuhan sehari-hari dari segi ekonomi. Keyakinan pun menjadi hilang dengan kesenjangan sosial yang begitu jauh, sementara rincian materi seolah bisa dicapai seiring tingkat pendidikan dan kerja. Orang lebih memandang untuk materi yang terlihat dengan berbagai tawaran fantasi dan imajinasi untuk pemenuhan hasrat. Selain itu, ruang sosial yang makin padat dan makin individual juga telah menjadikan orang tidak lagi memandang hak dan kewajiban antara yang satu dengan lainnya.
Sayangnya, dalam proses pembelajaran masa kini di Indonesia tak lagi banyak ditemukan ajaran mengenai etika dan moral kebijaksanaan. Pembelajaran moral yang ada di sekolah-sekolah dimunculkan dalam pendidikan konseling yang dalam praktiknya adalah menangani permasalahan atas tindak kenakalan. Adapun bentuk-bentuk ajaran moral yang ditanamkan tidak disertai dengan konsensus dari peraturan atau perundang-undangan sebagai titik dasar etika. Selain itu, kata- kata di dalam peraturan atau perundang-undangan yang selalu bisa ditafsirkan membuat hukum jadi lemah sehingga berbagai tindak kenakalan tetap menjadi keseharian.
Secara khusus, bila sebuah komunitas ingin menumbuhkan kembali moral yang dimiliki individu di dalamnya adalah dengan membangkitkan kembali kepercayaan di dalam agama. Agama berisikan konsep kejujuran dan membentuk hak dan kewajiban setiap individu. Sekarang ini, manusia sudah sangat sulit mengandalkan budaya yang dianggap memiliki nilai-nilai adiluhung karena budaya yang ada sekarang ini sudah menjadi artefek. Budaya yang ada sekarang ini adalah pola dari reproduksi sosial yang terbentuk secara praktis. Oleh karena itu, ketika konsep pembelajaran karakter dirancang sebagai acuan pembelajaran di sekolah-sekolah, maka elemen-elemen di masyarakat yang memiliki keterkaitan dengan agama juga harus dibangun. Proses pembelajaran itu sendiri tidak dapat berjalan sendiri. Keterkaitan antara keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan harus bersatu.
Pembelajaran moral dapat dimunculkan dalam kehidupan tokoh tertentu yang dihidupkan kembali. Boleh dikatakan bahwa tokoh tersebut dimunculkan dalam dunia simulasi. Dalam hal ini, strutuktur narasi memungkinkan terjadinya simulasi dengan keadaan lebih baik. Menurut Erianto,[5] “narasi tidak identik dengan peristiwa aktual yang sebenarnya, karena pembuat narasi bukan hanya memilih peristiwa yang dianggap penting, tetapi juga menyusun peristiwa tersebut ke dalam babak atau tahapan tertentu”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa cerita yang bagus mampu memuat kompleksitas dengan daya tarik yang unik. Adapun kehadiran tokoh dalam setiap fragmen cerita membawa peranan yang sangat penting, yang muncul dalam kekuatan sejati untuk memberi inspirasi jalan hidup. Oleh karena itu, untuk memulai membentuk moral seseorang adalah sejak kecil dengan memberikan banyak inspirasi melalui berbagai macam kisah yang ia dengar untuk direfleksikan dalam hidup.
Anggun Dalam Moral, Unggul Dalam Intelektual
Motto Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah adalah Anggun Dalam Moral, Unggul Dalam Intelektual, ini menjadi sebuah landasan pergerakan yang diharapkan para kader persayrikatan bisa menjadi terdepan dalam beragama dan bernegara yang dilandasi oleh nilai-nilai etika dan moralitas.
Berbicara tentang moralitas berarti berbicara tentang sikap dan akhlak, Alquran banyak memberi isyarat tentang itu semua, diantaranya yaitu tentang kejujuran. Allah berfirman dalam Alquran surat Al Ahzab ayat 70 yaitu:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيداً
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kamu kepada Allah dan ucapkanlah perkataan yang benar.” (QS.al-Ahzab:70)
Nilai-nilai kejujuran dikalangan mahasiswa sudah meluntur, apakah karena efek zaman now, dimana telekomuniasi dan informasi semakin terbuka, sehingga para generasi muda atau mahasiswa sulit untuk membentengi diri dari akselerasi perubahan zaman. Ini menjadi tantangan bagi kaum intelektual agar dapat menerapkan nilai-nilai kejujuran dalam diri.
Ayat Alquran diatas menjadi sebuah landasan bagi mahasiswa, karena tidak ada gunanya jika memiliki intelektual yang cerdas akan tetapi tidak menerapkan nilai-nilai kejujuran. Maka dari itu, diharapkan bagi mahasiswa dapat menjadikan dirinya selain unggul dalam intelektualnya tetapi anggun moralnya. Yakinlah dengan kejujuran akan menghasilkan kebahagiaan.
Kesimpulan
Mahasiswa Zaman Now sepertinya lebih cendrung kepada hal-hal negatif, dimana nilai-nilai moralitas pada diri mahasiswa sudah mulai kendur dan luntur. Melihat dari beberapa kasus yang terjadi di negeri ini yaitu ada mahasiswa yang membunuh dosen, ada mahasiwa yang menganiaya dosen, ada mahasiswa yang terjerumus narkoba. Oleh karena itu dengan tawaran motto dari Anggun Dalam Moral, Unggul Dalam Intelektual menjadikan diri di zaman now diharapkan tidak hanya sebagai motto saja, akan tetapi dapat diaplikasikan dan diaktualisasikan dalam kehidupan bernegara dan beragama.
Alquran menjadi landasan sebagai generasi muda, karena dengan menerapkan nilai-nilai moralitas yang digambarkan dalam Alquran dapat menjadi solusi dan dipraktikan dalam berkehidupan sehari-hari. Mulai dari Mahasiwa Muhammadiyah menjadi role model bagi mahasiswa lainnya. Tidak adalagi mahasiwa yang telat wisuda, tidak ada lagi mahasiswa yang aktifitasnya disbukkan dengan hal-hal negatif. Mulailah merubah diri, banyak melakukan hal-hal positif yang bermanfaat bagi masyarakat. Karena mahasiswa adalah “Agen of Change”. Agen perubahan harus dimulai dari hal-hal yang kecil yang dapat mengangkat martabat bangsa dan negara.


[1]Henryk Skolimowski, Filsafat Lingkungan, terj. Saut Pasaribu (Yogyakarta: Bentang, 2004), h. 9
[2]Henry Hazlitt, Dasar-dasar Moralitas, (Yogyakata: Pustaka Pelajar, 2003), h. 10.
[3]Ibid., h. 18-19
[4] Ibid., h. 2.
[5]Erianto, Analisis Naratif: Dasar-dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media (Jakarta: Kencan Prenada Media Group, 2013), h. 45.

No comments:

Post a Comment