Nilai-Nilai Tasawuf Yang Relevan Bagi
Pembinaan Karakter Kaum Profesional
Oleh Prof. Dr. H. Muzakkir, MA
A. PENDAHULUAN
Membicarakan tasawuf Islam sepertinya
tidak begitu relevan bagi kalangan masyarakat modern yang sedang memasuki
suasana globalisasi dan kompetisi berbagai kemajuan dibidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Tasawuf seperti terasing ditengah-tengah lalu lalangnya manusia
yang sedang dikejar waktu untuk mencari nilai tambah pada hari-harinya yang
kesemuanya berorientasi kepada nilai ekonomi. Kajian terhadap tasawuf terasa
seperti menampilkan barang antik yang mempertahankan seseorang untuk tidak
terlepas dari sikap fatalistik dan asketis.
Faktor yang menyebabkan
munculnya kenyataan seperti itu, antara lain berpangkal dari kecenderungan
memahami tasawuf dalam ruang lingkup gejala semantik semata tanpa melihat ia
sebagai produk kebudayaan yang terkait dengan sejarah perkembangan keagamaan
masyarakat. Pemahaman yang sempit menyebabkan tasawuf digambarkan bersimpuhnya
seorang murid dihadapan para mursyid dengan pakaian yang sangat sederhana dan
selalu pasrah dalam hidupnya, sebagai manifestasi dari sikap mencintai akhirat
dan membenci dunia.
Faktor penyebab yang lain
adalah disebabkan pula oleh posisi tasawuf yang terasa tidak populer
ditengah-tengah ilmu keislaman yang lainnya yang menjadi kebutuhan mendesak
seperti fiqh, teknologi dan aqidah. Disini, tasawuf hanya menjadi pelengkap
saja dari keragaman dalam Islam meskipun oleh pengikutnya dipandang sebagai unsur
esensial yang dapat menjadikan berkualitasnya amalan keberagamaan seseorang.
Kelompok-kelompok
sufi (the sufi orders) yang melembaga dalam wadah tarekat (Arab, thoriqoh,
jalan atau aliran tasawuf) begitu besar dalam membangun dan mengembangkan
kehidupan Islam secara mendalam (esoteric). Tanpa lembaga seperti
ini, nampaknya dunia umat Islam akan kehilangan keseimbangan dalam memenuhi dan
menjawab aspek batin keagamaannya. Sekalipun demikian sulitnya orang memahami
tradisi yang satu ini sehingga akibat ketidaktahuannya mereka selalu mengecam
kehidupan komunitas yang satu ini.Para pengamat sosial (antropolog, sosiolog
dan sejarawan) banyak mencoba untuk “menjinakkan” lahan kajian kehidupan mereka
yang rumit ini. Kerumitan itu justru bagi sebagian ilmuwan merupakan lahan kajian yang unik dan menarik,
semakin masuk kedalamnya semakin terbuai. “Ia laksana kebun mawar” kata Schimmel, “aku enggan keluar…, setiap
kuamati perilaku mawar itu semerbak baunya semakin membuat aku betah di
dalamnya sehingga menimbulkan rangsangan-rangsangan pertanyaan yang tak pernah
ada habisnya”.[1]
Seyyed Hossain Nasr
mengatakan; “tariqoh is the most subtle ... aspect of Islam ... at the same
time that is external effect is to be seen in many manifestation of islamic
society and civilization”, bahwa tarekat sufi bukan hanya aspek terpenting
dari Islam, tapi juga dalam panggung sejarah, mereka telah terbukti memberikan
manifestasi yang sangat besar bagi pengembangan masyarakat dan peradaban Islam
secara nyata.[2]
Kelompok
puritanis dan awam yang hanya banyak mengenal Islam dari aspek exoteris
(syari’at, lahiriyah, legal dan formal) sering kali mendeskriditkan keberadaan
kelompok-kelompok sufidengan berbagai lembaga tarekatnya. Ketegangan itu
semakin melebar akibat yang satu lebih banyak menekankan lahiriyah semata,
sementara yang lain lebih cenderung ke arah hakikat batiniyah dalam melakukan
amalan-amalan Islam.
Sekalipun
sebenarnya kelompok terakhir ini selalu berangkat dari tonggak-tonggak
syari’ah, kecuali hanya orang-orang kebatinan murni saja.Simbolisme kehidupan
dalam pengetahuan dan pengalaman beragama antara keduanya, yang satu lebih pada
pengembangan potensi Nabi Hidlir as, yang satu lagi pada pengembangan potensi
Nabi Musa as.Perilaku Nabi Musa as sebagai simbol exoterisme, seringkali
terjebak oleh perilaku Nabi Hidlir as, yang lebih menonjolkan esoterisme-nya.
Kedua potensi syari’at (exoterisme) dan hakikat (esoterisme) ini,
pada akhirnya telah dipadukan oleh Nabi Muhammad saw.
Pendalaman
untuk menempuh dan mencapai nilai-nilai hakikat beragama (Islam) sebagaimana
yang diajarkan oleh Rasulullah saw ini, kemudian dikembangkan dan dilakukan
secara intensif oleh para sahabatnya, tabiin dan salaf as shalihin,
mereka yang terakhir ini sering disebut sebagai kelompok-kelompok sufi. Namun
demikian, untuk mencapai nilai-nilai hakikat ini memang memerlukan kesungguhan
orang untuk mendapatkannya, sehingga jumlah mereka yang tertarikpun sangat
terbatas. Mayoritas umat memandang sufi sebagai jalan yang pelik dan cukup
rumit. Sehingga akibat kerumitan orang untuk memahami perilaku dan sikap
hakikat mereka, masih saja disebut mistik (gelap), bahkan tidak
sampai disitu mereka katakan, bahwa sufisme adalah paham kelompok jumud, bid’ah
dimana di dalamnya terdapat warna pasif dan anti intelektual. Padahal mereka
itu sebaliknya kata Nasr:“Sufism
is an active participan in a spiritual path and is intellectual in the veal
meanning of this word. Contemplation in Sufism the higest form activity and in
fact Sufism has always integrated the active and contemplative lives. That is
why many Sufism have been teachers and scholars, artists and scientifists, and
eve statesmen and soldiers.[3]
Tasawuf sebenarnya memiliki
nilai-nilai yang indah serta mampu mengarahkan evolusi pengalaman keagamaan
seseorang dalam Islam dan sangat relevan bagi pembinaan karakter para kaum
profesional di era modern ini.Kita menginginkan tasawuf dapat menjadi
sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di era digital sekarang. Dengan
demikian, maka jalan yang ditempuh adalah dengan mengaktualisasikan ajaran
tasawuf tersebut dalam konteks kebudayaan masyarakat yang selalu berkembang.
Tulisan berikut
akan memaparkan tentang nilai-nilai tasawuf yang relevan bagi pembinaan
karakter kaum profesional.
B.
PROBLEMATIKA ASAL-USUL TASAWUF
Pembicaraan mengenai asal-usul
tasawuf tidak dimaksudkan untuk mengulangi kembali tradisi yang dikemukakan
oleh para penulis buku-buku tentang tasawuf, tetapi untuk menempatkannya
sebagai persoalan yang menjadi salah satu di antara sekian banyak penyebab
kemerdekaan.[4]
Beberapa penulis tasawuf,
baik dari kalangan Islam atau Barat memulai uraiannya dengan penjelasan
mengenai asal-usul kata atau istilah dan dari situlah kemudian tasawuf diberi
pengertian. Dengan pola uraian seperti itu, maka tasawuf tidak lagi dapat
menyentuh esensinya sebagai pengalaman keagamaan yang cenderung bersifat
kondisional, menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat.[5]Sarjana
Barat seperti Nicholson memulai
uraiannya tentang mistik Islam dengan paparan tentang asal usul istilah tasawuf
yang macam-macam. Mengikuti kelaziman para pendahulunya ia akhirnya berkesimpulan
bahwa pandangan yang mendekati kebenaran tentang istilah tasawuf adalah yang
menyatakan bahwa tasawuf berasal dari shuf, yang berarti bulu domba.[6]
Pertimbangannya adalah karena kesesuaian makna istilah ini dengan perilaku
kebanyakan para sufi yang menampilkan diri sebagai manifestasi dari kebencian
mereka kepada dunia materi serta kecintaan mereka kepada akhirat.
Kalangan muslim sendiri
seperti Ibrahim Basyuni memberikan
penjelasan mengenai asal-usul tasawuf dengan uraian tersendiri ketika
menyatakan bahwa untuk memahami tasawuf harus berpangkal pada tiga elemen
dasarnya, yaitu al-Bidayah, al-Mujahadah, dan al-Mazaqat.[7]Elemen
pertama mengandung arti bahwa secara dasar manusia mengakui bahwa semua hal
yang ada ini memiliki peluang yang sama untuk dekat dengan-Nya. Semakin dekat
dengan-Nya maka semakin sedikit tabir pemisah yang menghalangi antara ia dengan
Yang Maha Agung tersebut. Apa yang dikatakan oleh Makruf al Karkhy, bahwa tasawuf adalah mengambil hakekat dan
bersikap acuh tak acuh terhadap apa saja yang ada ditengah makhluk, merupakan
contoh dari pengertian elemen dasar yang pertama ini.[8]
Elemen kedua mengandung
arti bahwa dalam mendekati Yang Maha Agung, Tuhan, manusia memerlukan
kesungguhan dan perjuangan, yakni harus dilalui dengan mujahadah. Atas
dasar ini seorang sufi sangat terlihat sebagai seorang yang sedang terikat dan
menghindarkan diri dari kesenangan, agar dapat berkonsentrasi sepenuhnya kepada
Tuhan. Bahkan banyak hal dapat dijumpai dalam cerita-cerita kehidupan sufi,
misalnya dalam buku tazkirat al-Auliya’ karya Faridudin Attar
dijelaskan bahwa betapa mereka sengaja menjalani kehidupan ini dengan penuh
penderitaan agar dapat memisahkan diri dengan keterpautan dan keterpakuan pada
kehidupan dunia yang mereka anggap dapat mengganggu hubungan cintanya dengan
Tuhan.[9]
Secara teknis lagi, mereka
juga membuat semacam tatanan teknis yang harus dilalui dengan usaha yang sangat
keras lagi susah, untuk sampai kepada Tuhan. Misalnya jalan atau fase-fase
ibadah yang dibuat oleh al-Ghazali
mulai dari tingkatan terendah, aqabah al-‘ilm wa al-Ma’rifat, sampai
tingkat tertinggi, yakni aqabah al-hamd wa al-syukur.[10] Demikian pula, tahapan-tahapan suluk yang
dibuat oleh para sufi mulai dari tahapan terendah, yakni tahapan taubat, sampai
tahapan tertinggi seperti ma’rifat atau ittihad, merupakan suatu tahapan yang
terasa asing bagi suatu masyarakat yang sedang terpacu oleh ideologi materialistis
dan pragmatis. Atau masyarakat yang sedang berupaya memenuhi tuntutan-tuntutan
ekonomis. Tetapi jika dilihat dari fenomena kehidupan keberagaman manusia dalam
berbagai agama yang ada, hal itu memang merupakan suatu usaha yang lumrah bagi
pengikut kehidupan mistik baik dalam Islam, Hindu, Kristen atau Budha, serta
agama-agama yang lain.
Elemen ketiga mengandung
arti manakala seorang penempuh jalan sufi telah melalui usaha keras dan susah
tersebut, maka ia akan dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan dan kelezatan
rohani yang tiada tara. Seperti ungkapan al-Junaid bahwa tasawuf adalah
suatu keadaan bersama dengan Tuhan tanpa adanya pemisah antara keduanya.[11]
Jika memahami tasawuf
berangkat dari apa yang dipaparkan oleh Ibrahim
Basyuni tersebut, maka paling tidak akan didapatkan cara untuk mengatasi
kesulitan dalam memahami pengalaman orang yang cenderung tidak dapat diobjektifkan.
Dengan kata lain dapat sedikit mengatasi kesulitan, seperti yang dirasakan oleh
Schimmel yang mengambarkan seseorang yang memahami tasawuf ibarat
memasuki kawasan perbukitan yang maha luas sebagai gambaran sulitnya memahami
secara utuh representatif.[12]
Kata shuf yang
dianggap paling tepat oleh kebanyakan penulis Barat dianggap sebagai anak
korelatif dengan tradisi mistikus Kristen yang memakai pakaian terbuat dari
bulu domba kasar sebagai bukti pertaubatan mereka kepada Tuhan dan keinginan
untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Carra de Vaux misalnya,
memberikan penjelasan mengenai pakaian para sufi meniru kebiasaan rahib
Kristen. Dari sinilah nantinya akan muncul anggapan bahwa tasawuf Islam muncul sebagai akibat
adanya kontak dengan dunia luar Islam bukanlah produk pemikiran orisinil Islam.
Dengan keterjebakan pada
pengertian semantik ini maka tasawuf Islam dalam perkembangannya harus selalu
dituntut memiliki karakter sebagaimana yang diperlihatkan oleh perilaku
lahiriyah para sufi yang meninggalkan kehidupan materi dan selanjutnya menuju
kehidupan rohani. Ini berarti harus menolak segala bentuk asimilasi dengan
kebudayaan yang selalu berkembang dalam suatu masyarakat. Atau dengan kata
lain, mengikuti pola kehidupan dalam ajaran tasawuf selalu tampak tidak
kontekstual.[13]Oleh
karena itulah tasawuf selalu tampak terlihat ketinggalan zaman dan kurang
relevan bila dibicarakan ditengah-tengah kesibukan manusia yang sedang
disibukkan mengejar dunia, materi. Selain itu, penampilannya sering dicurigai
sebagai bentuk penyimpangan agama yang tak pernah diajarkan oleh nabi dan
karena itu hanya beberapa kalangan saja yang mengamalkannya.
Anggapan bahwa tasawuf
merupakan fenomena mistik yang memiliki watak universal sebenarnya mengandung
implikasi bahwa kemunculannya bisa saja terjadi tanpa adanya pengaruh dari
tradisi diluar satu agama. Terlebih bila dilihat dari kecenderungan pemeluk
suatu agama untuk mengadakan suatu tanggapan, respon, terhadap adanya panggilan
yang datang dari dunia non-empiris. Maka sebenarnya dari masing-masing agama
dapat saja tumbuh dan berkembang suatu usaha untuk melaksanakan ajaran agamanya
secara ekstrem sebagai wujud penunaian panggilan tersebut. Dan apabila dilihat
dari perkembangannya yang bersinggungan dengan protes terhadap suasana yang
tidak menguntungkan untuk kehidupan kerohanian yakni tatkala muncul sikap
berfoya-foya dari kalangan penguasa Umayyah, maka tasawuf muncul dengan warna
yang menonjolkan corak apokaliptik.[14]Disinilah
sebenarnya tasawuf muncul untuk menjawab tantangan zamannya, dan dengan begitu
sebenarnya dan seharusnya ia juga dapat memberikan jawaban terhadap persoalan
yang muncul dalam masyarakat sekarang, sudah barang tentu pola dan bentuk
perilaku gerakan ditampilkan jelas berbeda dengan kemunculannya dimasa-masa yang
lalu. Pola berpikir seperti itu yang juga dipakai oleh orang seperti Iqbal, kiranya dapat juga dijadikan
sebagai landasan untuk mengaktualisasikan tasawuf dalam konteks masa kini atau
masa yang akan datang, atau mungkin dalam konteks Indonesia, yang dipelopori
oleh Hamka dengan konsep tasawuf
modernnya.[15]
C.KARAKTERISTIK MASYARAKAT
MODERN
Masyarakat
atau manusia modern yang sering dikonotasikan sebagai suatu masyarakat yang
telah memiliki kesadaran pragmatis-materialistis, rasional, dan sering
diidentifikasikan sebagai masyarakat yang telah mencapai kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, ternyata dalam perkembangannya menjadi terbelenggu
oleh bias kemajuan yang dicapai.[16]
Namun, harus diakui pula bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh kemajuan
tersebut telah membentuk konstruk pemikiran masyarakat modern dan telah
menghasilkan suatu bentuk kebudayaan dan peradaban yang semakin maju.
Nilai-nilai tersebut adalah :
1.
Daya kreatif dan inovatif,
akibat revolusi teknologi yang kemudian dibarengi dengan pola perekonomian
pasar bebas maka terjadilah kondisi persaingan yang amat ketat dalam
perekonomian antar bangsa. Dalam suasana demikian ini maka ada semacam tuntutan
dari sejumlah lapisan masyarakat, khususnya negara-negara berkembang, untuk
menumbuhkan nilai-nilai kreatif dan inovatif yang dapat menghasilkan kualitas
produksi yang mampu bersaing dengan negara-negara lain.
2.
Orientasi waktu yang selalu
kedepan.
Orientasi yang demikian ini berbeda dengan apa terjadi pada masyarakat agraris
yang pandangannya tentang waktu tidak membedakan antara kemarin, kini dan yang
akan datang. Dengan kata lain, waktu menurut mereka adalah waktu siklus dalam
arti waktu sekarang adalah pengulangan belaka dari apa yang terjadi dimasa
lampau dan akan terjadi pula dimasa-masa mendatang.[17]
Manusia yang berada ditengah-tengah suasana modern atau kontemporer seperti itu
akan memiliki kecenderungan untuk selalu tidak penah merasa cukup mengkonsumsi
waktu yang tersedia. Dan ia selalu berusaha untuk menggunakan waktu yang
tersedia itu seefisien dan seproduktif mungkin.
3.
Peningkatan kecerdasan,
karena jumlah manusia semakin bertambah dan pertambahannya tidak berimbang
dengan kesempatan kerja yang tersedia, maka akan menimbulkan suatu persaingan
yang amat ketat dalam berbagai sektor kehidupan. Terlebih khusus peluang untuk
memperoleh kehidupan yang layak. Suasana yang demikian itu akan menimbulkan
kehendak masyarakat untuk berusaha mencerdaskan generasi berikutnya. Akibatnya,
kecerdasan masyarakat tersebut akan menimbulkan sikap kritis dalam berbagai
hal, yang juga akan membangkitkan sikap kritis terhadap agamanya. Hal mana,
kenyataan kemajuan yang telah dicapai oleh Barat membuktikan sikap ini.
Eric
Fromm
mengatakan bahwa, karakter masyarakat modern diwarnai oleh orientasi pasar, di mana
keberhasilan seseorang tergantung kepada sejauh mana nilai jualnya di pasar.Masyarakat
modern bagaikan penjual dirinya sekaligus sebagai komunitas yang siap dijual di
pasar.Oleh karena itu penghargaan atas diri manusia itu ditentukan oleh nilai
jualnya di pasar, akibatnya setiap orang termotivasi untuk berjuang keras
menjadi pekerja sukses dan kaya, demi penegasan atas keberhasilannya.Kemakmuran
melambangkan tingginya nilai jual, sementara kemiskinan dimaknai
sebaliknya.
Kebaikan, kejujuran,
kesetiaan pada kebenaran dan keadilan sudah bagai tidak bernilai jika tidak
memberikan manfaat untuk kesuksesan dan kemakmuran.Jika kondisi ekonomi
seseorang tidak makmur, maka dinilai sebagai orang yang belum sukses, bahkan
gagal dalam kehidupan. Keadaan seperti ini menandakan masyarakat modern,
masyarakat yang mengalami keterasingan (aliensi), mereka tidak lagi berpijak
kepada kualitas kemanusiaan, melainkan berpatokan kepada keberhasilan dalam
mencapai kekayaan materi.
Kondisi ini memalingkan
kesadaran manusia sebagai makhluk termulia.Keutamaan dan kemuliaan menyatu
dengan kekuatan kepribadian, tidak bergantung pada sesuatu yang ada di luar
dirinya.Oleh karena itu masyarakat modern mengalami depersonilisasi kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup.Keberadaannya
tergantung kepada pemilikan dan pengasaan symbol kekayaan, keinginan
mendapatkan harta yang berlimpah melampaui komitmennya terhadap solidaritas
sosial.Hal ini didorong oleh pandangan bahwa orang yang banyak harta merupakan
manusia unggul.
D. APLIKASI NILAI-NILAI TASAWUF DALAM KAITANNYA
DENGAN ETOS KERJA DAN PROFESIONALISME
KERJA
Etos kerjaadalah merupakan pancaran
dari sikap hidup mendasar pemiliknya terhadap kerja, yang dipengaruhi oleh
dimensi individual, sosial dan lingkungan alam sehingga mempengaruhi dinamika (gairah/semangat) kerjanya. Etos kerja
manusia berkaitan dengan dimensi individual bila dilatarbelakangi oleh motif
yang bersifat pribadi. Jika dimensi sosial yang memotivasi aktivitas kerjanya
seperti dorongan meraih status dan penghargaan masyarakat, maka ketika itu etos
kerja orang tersebut sudah mendapat pengaruh kuat dan tidak terpisahkan dari
dimensi sosial. Faktor lingkungan alam berperan bila keadaan alam, iklim dan
sebagainya berpengaruh terhadap sikap kerja orang tersebut. Pada kenyataannya, manusia adalah
makhluk yang sangat kompleks, ia memiliki rasa suka, benci, marah, gembira,
sedih, berani, takut, jenuh, letih, dan lain sebagainya. Ia juga mempunyai
kebutuhan, kemauan, cita-cita dan angan-angan. Selain itu, ia mempunyai
lingkungan pergaulan di rumah atau tempat kerjanya. Rasa benci yang terdapat
pada seorang pekerja, ketidakcocokan terhadap atasan atau teman satu tim,
kehidupan keluarga yang kurang harmonis, keadaan sosio-kultural, sosio-ekonomi
dan kesehatan yang kurang baik dapat berpengaruh negative terhadap kegairahan
dan aktivitas kerjanya.
Bagi orang yang beragama, adalah
sangat memungkinkan etos kerjanya memperoleh dukungan kuat dari dimensi trancendental (termasuk di dalamnya
pengaruh tasawuf), yaitu dimensi yang melampaui batas-batas nilai materi yang
mendasari etos kerja manusia, hingga pada dimensi ini kerja dipandang sebagai
ibadah. Namun harus ditegaskan bahwa pemahaman parsial terhadap ajaran agama
(Islam) juga dapat berpengaruh negative terhadap etos kerja.
Dari pemaparan di atas, dapatlah
dikatakan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam proses terbentuknya etos
kerja ternyata tidak tunggal, melainkan lebih dari satu dan bahkan bisa banyak
dan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Sistem keimanan atau aqidah
islami, sebagai keyakinan dan pengalaman kehidupan sufi yang benar menjadi
landasan bagi orang Islam, secara teoritis memang berpotensi besar untuk
menjadi sumber motivasi etos kerja Islami yang selalu segar dan tak kunjung
kering. Diantara penghambat etos kerja seperti kemalasan, kelemahan hati,
pengaruh hawa nafsu yang merusak kepribadian, dapat dihindari dengan
mempraktekkan kehidupan sufi (tasawuf) yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah.
Manusia adalah makhluk bekerja (homo faber). Manusia diciptakan untuk
bekerja, dan kerjanya adalah ibadahnya apabila memenuhi syarat husnul fi’liyah (pekerjaan yang baik)
dan husnul fa’iliyyah (yang
mengerjakan baik). Tidak ada kesuksesan, kebaikan, manfaat atau perubahan dari
keadaan buruk menjadi lebih baik kecuali dengan kerja menurut bidangnya
masing-masing. Mereka yang enggan bekerja tidak mungkin menjadi Muslim yang
baik. Kerja merupakan manifestasi dan bagian dari pengamalan Islam itu sendiri.
Kerja produktif dalam rangka memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga dan
masyarakat, mengembangkan serta membangun daerah atau negeri, menanggulangi
kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, memerintahkan berbuat ma’ruf, mencegah
kemungkaran dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai penegakan tugas khilafah manusia di muka bumi.
Profesional
adalah mengerti akan tugas (sesuai dengan keahlian/bidangnya) dan bertanggung
jawab (amanah), kemudian
bersungguh-sungguh mengerjakannya dengan kualitas yang terbaik (ahsan). Dengan bekerja secara
profesional maka akan didapatkan hasil yang maksimal. Maka dapat dipahami bahwa
profesionalismeadalah
hal-hal yang berkaitan dengan bidang kerja yang telah menjadi keahliannya serta
dikerjakan secara maksimal dan bertanggung jawab.
Etos kerja yang tinggi dan
sikap keprofesionalan setiap individu harus diupayakan dan dibina secara terus
menerus mengingat pada kenyataannya dunia kerja itu sifatnya kompleks dan dinamis. Sebagai
seorang muslim, perlu diingat dan ditanamkan dalam kalbu bahwa bekerja bukanlah
hanya sekedar memenuhi kebutuhan dan mengejar kenikmatan yang sifatnya duniawi
saja, melainkan sebagai jembatan menuju kebahagiaan ukhrawi yang hakiki. Setiap
manusia adalah khalifah di muka bumi. Pekerjaan atau tugas kita saat ini
merupakan amanah dari Allah dan telah ditakdirkan kepada kita berdasarkan
Ilmu-Nya, DIA Maha Tau kadar iman kita, DIA Maha Tau kadar kemampuan dan
intelektualitas kita. Pekerjaan juga dipandang sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman.
Kerja
profesional yang Islami harus dibingkai dengan ajaran-ajaran yang terkandung
dalam al-Quran dan as-Sunnah. Untuk meningkatkan etos kerja dan profesionalisme
kerja dalam diri kita, para ahli sufi telah mengajarkan kita melalui sikap yang
mereka contohkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan ajaran dan konsep
tasawuf. Diantaranya, sikap Optimisme, Istiqamah, Sabar, Ikhlas, Ridha,
Qana’ah, Takwa, Takut, Tawakkal, Tobat, Zuhud, Wara’, Syukur, Cinta, Rindu,
Shidiq, Syaja’ah, Takdir, Malu, Zikir, Doa, Tafakkur, Uzlah, Kemiskinan, dan
Kematian.
1. Sikap Optimisme
Sikap Optimisme
atau harapan jelas mempunyai tujuan yang dapat membuat semangat kerja seseorang
menjadi kuat, karena untuk menciptakan sikap optimisme ini membutuhkan usaha
yang besar pula. Jika harapannya untuk bertemu dengan Allah, maka ia harus
berusaha keras untuk mendekatkan diri kepanya-Nya. Namun jika ia berharap
kehidupan didunianya lebih baik, maka ia harus bekerja keras dan
bersungguh-sungguh.
Untuk itu, tasawuf dapat mengajak
kita agar bekerja keras untuk mencapai apa yang kita inginkan, namun apabila
harapan itu tidak tercapai maka kita tidak boleh berputus asa, karena hal ini
sangat bertentangan dengan sikap optimisme. Apapun
pekerjaan yang kita lakukan, maka kita harus tetap memiliki sikap optimisme,
agar apa yang kita harapkan dapat dikabulkan oleh Allah SWT.
Dengan sikap optimis kita akan kreatif, namun tidak takabbur atau sombong.
2. Istiqamah
Istiqamah merupakan salah satu hal penting dalam
melakukan suatu pekerjaan. Dengan sikap teguh atau konsisten yang kita miliki,
maka dengan mudah kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Konsisten
disini bisa kita
lihat dari berbagai segi, terutama dalam hal tingkah
laku yang akan kita perbuat. Seseorang yang tidak memiliki konsisten maka ia
akan selalu gagal dalam melakukan pekerjaannya. Istiqamah yang dimaksud adalah
berhubungan dengan perbuatan yang baik, dan tidak merugikan bahkan menyalahi
aturan agama.
3. Sabar
Sabar dapat dipahami
sebagai sikap tabah, tekun dan tangguh dalam menghadapi dan menyelesaikan
berbagai problema hidup. Tidak ada orang yang sukses tanpa kesungguhan dan
keuletan serta ketangguhan untuk meraihnya. Didalam
suatu pekerjaan kita pasti akan menghadapi suatu tantangan, masalah
ataupun kesulitan, serta adakalanya kita merasa lelah
dan jenuh. Inilah ujian yang harus dihadapi dan
disikapi dengan sabar. Dengan
sikap sabar, seseorang tidak mudah putus asa jika belum berhasil, tidak cepat
menyerah ketika mendapatkan kesulitan, berusaha dengan bijak mencari solusi
untuk mengatasi masalah yang terjadi, tidak larut dalam kesedihan ketika terkena
musibah, dan ia akan cepat bangkit untuk menatap masa depan yang lebih cerah.
Rasa
semangat kerja akan lebih tinggi jika
kita ingat untuk bersabar dalam menjalankan perintah Allah, seperti shalat,
zakat, puasa, dan haji, yang mana untuk memenuhi kebutuhan itu semua juga
memerlukan biaya besar yang hanya kita dapatkan dengan bersabar dan kerja
keras.
4. Ikhlas
Ikhlas merupakan dasar etos kerja yang paling ideal,
karena dengan sikap ikhlas seseorang tidak akan pernah mengenal lelah dalam
menjalankan pekerjaannya. Berbeda dengan seseorang yang tidak memiliki sikap
ikhlas, ia akan merugikan banyak pihak terutama dirinya sendiri. Sikap ikhlas
juga membuat seseorang melakukan jujur dalam pekerjaannya. Dengan demikian,
seseorang akan bertanggung jawab atas pekerjaan yang ia lakukan, ia juga sadar
bahwa pekerjaan yang ia lakukan bukan hanya menguntungkan (bermanfaat)
bagi dirinya, namun juga untuk orang lain.
5. Ridha
Ridha
berarti senang, juga merupakan sikap yang diperlukan dalam meningkatkan etos
kerja.Ridha disini berarti senang terhadap segala perintah Allah, termasuk
perintah mencari nafkah. Hal itu berarti kita sebagai umat Islam harus
berusaha keras dalam menghadapi hidup. Mencari nafkah merupakan salah satu
tindakan ridha terhadap Allah, dan jika kita telah ridha maka pekerjaan seberat apapun kita akan merasa mudah
dan senang
dalam melaksanakannya.
6. Qana’ah
Qana’ah yaitu sikap
merasa cukup dengan apa yang telah diperoleh. Seberapa pun upah yang kita dapatkan
kita harus merasa sabar dan bersyukur.Karena sekecil apapun rezeki itu,
janganlah kita mudah putus asa, percayalah semuanya telah ditentukan oleh Allah.Sedangkan apabila kita mendapatkan rezeki yang lebih,
janganlah kita menghamburkannya dengan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Tujuan qana’ah mengajarkan kita untuk merasa cukup
dengan apa yang kita punya, agar kita tidak terdorong terhadap perbuatan yang
sangat dibenci Allah, seperti korupsi ataupun mencuri.
7. Taqwa
Taqwa
berarti menjaga atau memelihara, dimaksudkan agar kita selalu menjaga diri
terhadap perbuatan yang tercela. Memelihara rasa
takut untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan diri sendiri bahkan menghancurkanperadaban manusia. Dengan taqwa kita dapat membangun dunia tanpa melewati batasan
agama.
8. Tawakkal
Tawakkal yaitu
sikap berserah diri dan mempercayakan secara bulat segalanya kepada Allah
setelah melaksanakan suatu rencana dan usaha.Manusia hanya merencanakan dan
mengusahakan, tetapi Allah yang menentukan hasilnya. Apapun hasil yang Allah berikan maka kita harus tabah
menerimanya.
Tawakkal
merupakan sikap optimis dan percaya diri, bahwa segala hal ada yang
mengaturnya, yakni Allah swt. Bila kita mengikuti aturan-Nya, yakni sunnatullah, maka kita akan sukses, baik
di dunia maupun di akhirat. Dan kita meyakini sepenuhnya yang memberi keputusan
hasil baik atau tidak adalah yang memiliki sunnatullah
itu sendiri yakni Allah swt, serta kita yakin sepenuhnya bahwa itulah ketentuan
terbaik menurut-Nya. Sikap tawakkal akan menjauhkan diri kita dari perilaku
menyalahkan diri sendiri, marah dan menyalahkan keadaan atau orang lain,
menjauhkan diri kita dari keputusasaan atau kekecewaan apabila hasil akhir yang
terjadi tidak sesuai dengan rencana kita.
9. Taubat
Taubatmengandung
etos kerja yang tinggi, karena pada intinya taubat adalah memperbaiki diri dari
perbuatan yang tercela kembali kepada perbuatan yang terpuji sebagaimana yang
telah diajarkan agama Islam, yaitu dengan cara mencari dan mengembalikan harta
haram yang telah diperoleh. Sehingga taubat dapat
meningkatkan semangat kerja kita untuk mencari nafkah halal dan
mengembalikannya kembali dengan rezeki yang halal.
Taubat
dapat dipahami agar kita berusaha tidak melakukan kesalahan sedikitpun, baik
yang berhubungan dengan Allah maupun yang berhubungan dengan sesama manusia.
Bila makna dan nilai taubat ini
diimplementasikan dalam kehidupan, maka kita akan terhindar dari berbagai
kesalahan, selalu waspada dan hati-hati dalam setiap pekerjaan yang dilakukan.
Selain itu, dengan pengalaman ketuhanan yang diperoleh seseorang melalui istighfar (mohon ampun pada Allah)
adalah pertama, menanamkan kerendahan
hati yang tulus, karena kesadaran bahwa tidak seorang pun yang bebas dari dosa.
Kedua, sebagai konsekuensi langsung
dari kerendahan hati itu dengan banyak istighfar kita dididik dan dituntun
untuk tidak mengklaim kesucian diri atau bersikap semuci suci (sok suci), yang mana sikap itu merupakan suatu
kesombongan atau keangkuhan.
10. Zuhud
Zuhudmerupakan
salah satu sikap yang diajarkan tasawuf, yaitu mengingatkan kepada umat manusia
agar tidak terlalu cinta terhadap kekayaan yang ada didunia ini.Sikap zuhud
tidak berarti membuat hidup kita melarat, sehingga membuat kita malas bekerja.
Zuhud hanya mengajarkan kita untuk mencari nafkah yang halal dan tidak
menghambur-hamburkan uang kita dengan perbuatan maksiat.Zuhud dalam pengertian
ini sering dialihbahasakan dengan istilah ascetisisme
dan diberi pengertian sebagai sikap mematikan terhadap kesenangan dunia. Pengertian
ini diambil dari pengalaman sejarah dimana para zahid tersebut memiliki gaya
hidup yang menolak segala bentuk kemewahan dalam rangka melenyapkan keterikatan
hati terhadap dunia dan seisinya.
Bila dilacak dari sudut
etimologi ia berasal dari bahasa Griks, ascatis yang artinya latihan
untuk mengambarkan orang dalam
“penjara”. Latihan ini dalam agama Hindu disebut sebagai tapa, sedangkan dalam self
mortification yakni suatu upaya pemendaman nafsu yang ada pada diri sendiri
seperti yang diperlihatkan oleh Ibrahim al-Adham.[18]
Dalam
kehidupan, zuhud dapat dipahami
sebagai hidup sederhana, tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan.
Kesederhanaan merupakan prinsip hidup Islami. Tahapan-tahapan zuhud itu adalah,
pertama, meninggalkan segala yang
haram dan syubhat. Kedua, tidak
melakukan sesuatu secara berlebihan walaupun halal, seerti makan, minum dan
berpakaian. Ketiga, bersikap zuhud
terhadap zuhud. Artinya tidak menganggap zuhud itu sebagai suatu hal yang perlu
dibanggakan. Sebab membanggakan zuhud itu bukan sikap zuhud.
11. Wara’
Wara’ juga
termasuk salah satu sikap yang diajarkan dalam tasawuf, yang artinyaberpantang.Maksudnya, kita harus
meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat, atau yang belum jelas haram
halalnya (syubhat) apalagi yang haram.Wara’
juga bertujuan untuk mengendalikan hawa nafsu kita terhadap kekayaan didunia
ini. Untuk memakmurkan hidup kita, dengan sikap wara’ kita tidak akan melakukan
perbuatan yang diharamkan agama, seperti berhati-hati ketika mencari rezeki
yang halal dan sekuat tenaga menghindarkan dari berbagai sumber yang haram.
12. Syukur
Dengan
rasa Syukur kita juga dapat
meningkatkan semangat kerja, maksudnya kita dapat berterima kasih kepada Allah
SWT terhadap nikmat yang kita peroleh, berterimakasih tidak hanya dilakukan
dengan lisan, juga harus diikuti dengan tindakan.Misalnya, dengan bekerja lebih
keras dan lebih baik lagi.Bekerja disini dalam rangka taat kepada Allah,
sehingga pekerjaan itu tidak boleh sedikitpun ternodai oleh perbuatan yang
dilarang oleh Allah.
13. Cinta
Cinta merupakan hal
terpenting dalam meningkatkan semangat kerja.Mencintai
pekerjaan kita saat ini berarti mencintai tugas yang diamanahkan Allah kepada
kita. Telah kita ketahui, cinta terhadap Allah adalah cinta
yang utama, cinta terhadap diri sendiri dan keluarga dapat kita tempatkan
dibawah cinta kepada Allah. Dengan rasa cinta itu, sebagai muslim maka semangat
kerja kita akan semakin tinggi. Dorongan semangat bekerja itu dapat berasal
dari cinta yang kita miliki, yaitu cinta kepada Allah karena kita ingin
bertakwa kepada-Nya, dan cinta kepada keluarga karena kita ingin memberikan
kebahagiaan kepada mereka dengan memberikan nafkah yang halal.
14. Rindu
Sikap
yang selanjutnya adalah Rindu, rindu
disini adalah rindu terhadap Allah yang berada di atas rindu keluarga dan rindu
apapun. Sikap rindu itu akan memacu seseorang untuk selalu
berbuat aktif, baik dalam urusan agama maupun urusan duniawi. Seseorang akan
semangat bekerja jika dia merasa rindu dengan keluarganya. Dengan demikian,
rindu merupakan sikap yang dapat menumbuhkan semangat kerja yang kuat, dengan
rindu keluarga berarti dia rindu terhadap Allah, Karena rindu terhadap Allah harus berada di atas rindu keluarga.
15. Shiddiq
Shiddiq adalah benar
atau jujur. Maksudnya, benar atau jujur dalam perbuatan ataupun ucapan.Sikap
shiddiq dimaksudkan agar orang bekerja dengan
jujur.Jujurnya seseorang dapat kita lihat pada pekerjaan dan ucapannya. Dengan
demikian, shiddiq dapat
meningkatkan semangat kerja seseorang menjadi kuat. Maka tanpa bekerja,
seseorang akan sulit membuktikan kejujurannya terhadap orang lain.
16. Syaja’ah
Syaja’ahartinya
berani, maksudnya berani melakukan perbuatan yang benar, meskipun menanggung
resiko yang sangat berat.Seperti halnya dalam pekerjaan, seseorang pasti
terkadang merasa sulit dalam menghadapi pekerjaannya yang disebabkan oleh rasa
takut, namun jika dia mempunya keberanian yang tinggi, maka segala kesulitan
itu dapat diatasinya.Dengan demikian syaja’ah juga dapat menumbuhkan semangat
kerja yang kuat.
17. Percaya pada Takdir
Takdir adalah sebuah ketentuan Allah tentang segala sesuatu yang belum terjadi didunia
ini. Setiap orang telah ditakdirkan Allah untuk memiliki pikiran, kemampuan, kemauan, dan
kebebasan yang bertujuan agar seseorang dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya.Sehingga manusia ditakdirkan untuk bekerja keras
mencari nafkah. Orang yang menyadari takdir yang digariskan Allah itu maka dia akan semangat bekerja sehingga dapat
mensejahterakan hidupnya. Sebaliknya, jika seseorang mengingkari takdirnya,
maka hidupnya akan selalu mendapatkan kesulitan.
18. Malu
Rasa Malu
juga sangat penting dalam pembinaan karakter kaum profesional. Malu disini adalah
malu terhadap Allah dan diri sendiri saat kita hendak melakukan perbuatan yang
dilarang oleh Allah. Mempunyai rasa malu juga dapat mendekatkan diri kita
kepada Allah SWT.Malu untuk berbuat jahat, maka dapat mendorong seseorang
untung berbuat baik. Begitu juga dalam hal pekerjaan, seseorang akan malu
melakukan kesalahan dalam pekerjaannya, maka dia akan terdorong untuk tekun
dan bekerja keras sehingga tidak melakukan pekerjaan yang
salah.
19. Zikir dan doa
Pada dasarnya zikir menurut
ajaran Islam adalah mengingat Allah dalam setiap keadaan yang bertujuan untuk
menjalin ikatan batin antara seorang hamba dengan Allah sehingga timbul rasa
cinta, hormat dan jiwa muraqabah
(merasa dekat dan diawasi Allah). Dengan adanya sikap dan perilaku zikir, iman
seseorang menjadi hidup, terjalin kedekatannya dengan Allah. Zikir bisa melalui
qalbu dengan merasa ridha atas segala keputusan-Nya serta mentasdiqkan Allah dengan keyakinan yang penuh, bisa melalui lisan
dengan sering menyebut nama-Nya, dan bisa pula melalui perilaku dengan
berorientasi semua perbuatan atau amal yang dilakukan hanya karena-Nya (lillahi ta’ala).
Ketika kita berzikir lisan
dengan mengucapkan Allahu Akbar, maka
harus dapat kita refleksikan bahwa kita membesarkan Allah swt sebagai sang Khaliq (pencipta) yang Maha Tinggi, dan
mengecilkan apa-apa selain Allah. Kita agungkan asma Allah dalam shalat, dalam
doa, kita bertakbir, namun pada kenyataannya dalam dunia nyata kita agungkan
kekayaan, harta, kekuasaan dan kedudukan/jabatan. Pada saat kita bekerja di
kantor, pada saat kita bersaing merebut pasar dan konsumen dalam berbisnis, tak
jarang kita abaikan perintah-perintah Allah, kita lalai menunaikan shalat, kita
berperilaku semena-mena atas jabatan yang kita miliki, kita menghalalkan segala
cara tanpa peduli halal-haram agar terpenuhi keinginan/tujuan kita. Kita
lupakan Allah swt, kita gantikan takbir dengan takabbur.
Zikir bukan hanya di mulut,
secara lisan berjuta-juta kali menyebut nama Allah, tapi kering di qalbu dan di
perilaku. Zikir harus dilakukan sinergis dalam diri kita, baik dalam qalbu,
lisan maupun perbuatan, sehingga ia memiliki nilai efektivitas dalam kehidupan,
baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan menyebut nama Allah, mengerjakan shalat sunah, membaca al-Quran,
zikir, dan doa, selain mendapatkan pahala bagi yang mengerjakannya, juga dapat
membuat hati dan pikiran merasa tenang.Senantiasa menghadirkan dan menyertakan
Allah dalam setiap aktivitas pekerjaan kita akan memunculkan ketentraman,
kekuatan, optimisme, merasa dijaga dan dilindungi dari bisikan-bisikan syaithan
yang dapat menjerumuskan kita berperilaku negative, selalu saja ada petunjuk,
kelancaran dan kemudahan dari Allah bagi kita agar kita mampu menyelesaikan
dengan baik pekerjaan sesulit apapun itu.
Doaadalah suatu tindakan memohon terhadap Allah untuk mendapatkan kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat. Harus kita sadari
bahwa doa tidak dapat berdiri sendiri, dengan hanya berdoa
sajaAllah tidak akan pernah mengabulkannya. Doa harus diikuti
dengan usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh, dengan begitu permohonan itu
akan dikabulkan.
20. Tafakkur
Tafakkur berarti
perenungan, maksudnya kita perlu merenungkan ciptaan Allah yang ada dimuka bumi
ini. Tafakkur adalah perbuatan wirid yang dapat mendekatkan diri kita terhadap
Allah SWT.Tafakkur juga dapat memunculkan kerinduan kita terhadap perintah-Nya,
salah satunya mencari nafkah untuk keluarga.Sikap
tafakkur dapat memunculkan inovasi, kreativitas dan optimisme, menjadikan kita
pribadi yang bermanfaat bagi orang-orang di sekitar kita. Didalam pekerjaan,
tafakkur juga dapat diterapkan dalam mengelola kebijakan manajerial,
merencanakan sesuatu dengan menganalisa dampak baik-buruknya, serta dalam upaya
mengatasi kegagalan yang terjadi. Selain itu
tafakkur juga dapat membuat hati dan pikiran kita tenang dalam melakukan
pekerjaan kita.
21. Uzlah
Uzlah yaitu
mengasingkan diri, yakni mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat, sehingga
dapat menjauhkan diri dari perbuatan maksiat serta melatih kita untuk
membiasakan diri melakukan ibadah.Oleh sebab itu dengan melakukan uzlah kita
dapat menenangkan hati dan pikiran, sehingga dapat meningkatkan kembali
semangat kerja kita dalam memenuhi kewajiban kita untuk mencari nafkah.
22. Kemiskinan
Kemiskinan atau farq
artinya seseorang pada dasarnya adalah miskin secara spiritual dan material.
Dengan kemiskinan itu, seseorang akan terdorong untuk selalu mendekatkan diri
kepada-Nya dengan banyak beribadah dan akan bekerja keras untuk mencari rezeki
yang halal dan banyak. Sehingga dengan konsep kemiskinan itu, sikap semangat
kerja seseorang akan lebih terpacu.
23. Kematian
Peningkatan
semangat kerja yang terakhir adalah dengan ingat Kematian.Mengingat kematian
tidak harus dengan menjauhi urusan dunia, tetapi melakukan perbuatan yang nyata
dikehidupan dunia. Dengan ingat kematian pun kita akan membuat sikap kita untuk
lebih berani menghadapi sebuah kematian. Itu berarti, sikap berani mati yang
kita miliki dapat mendorong kita untuk lebih semangat bekerja sampai akhir hayat kita.
Orang
yang ingat mati adalah orang yang sadar bahwa hidup didunia ini adalah
sementara dan hanya sebentar, dengan begitu dia akan mempergunakan waktu yang
tersedia dengan sebaik-baiknya untuk melakukan ibadah dan bekerja keras dalam
mencari nafkah untuk keluarganya.
Dari pemaparan di atas,
jelaslah terlihat bahwa nilai-nilai tasawuf sangat relevan diaplikasikan untuk
pembentukan dan pembinaan jiwa, sikap dan perilaku individu yang terkait dengan
peningkatan etos kerja dan profesionalisme kerja.
Semoga kita termasuk orang
yang dapat melakukan sikap-sikap atau perbuatan yang dapat meningkatkan
semangat kerja seperti yang dilakukan para sufi dalam mengamalkan ajaran
tasawuf.
E. KESIMPULAN
Berusaha memahami
nilai-nilai tasawuf secara elastis dan plastis tersebut dapat dilakukan jika ada kehendak yang baik,
good will, dalam melihat khazanah pemikiran Islam secara fair dan lepas dari
semangat predesposisi yang bersemangat sektarian. Penerapan cara pandang
seperti ini dapat dilakukan misalnya melihat problem semisal al-Hallaj sebagai suatu variasi
pemahaman Islam yang memiliki keabsahan dan tidak dipandang sebagai penjahat
agama yang harus berakhir di tiang gantungan. Betapa ironisnya bahwa tragedi
ini, menjadi semacam ancaman serius bagi siapa saja yang berani menyatakan pandangan
agama yang berlawanan dengan penguasa.
Untuk melihat ada tidaknya
nilai-nilai tasawuf yang applicable
bagi masyarakat modern memang diperlukan adanya upaya aktualisasi ajaran dan
perubahan visi terhadap metodologi pemahaman Islam dengan pemikiran replektrif
yang terlepas dari keterpakuan terhadap rumusan yang ada. Terutama sekali
ajaran-ajaran tasawuf yang pemahamannya sering terkooptasi oleh sakralistis
tokoh sufi yang dikagumi, perlu kiranya diadakan kajian yang terarah pada
aspek-aspek historisitasnya. Sehingga sangat mungkin akan terjadi reformulasi
konsep-konsep tasawuf yang baru yang dinamis.Wallahu a’lam.
DAFTAR
PUSTAKA
Syekh
Mahmud Ahmad dengan judul The Pilgrimage of eternety, (Lahore :
Institut Of Islamic Culturem 1961)
Muhammad
Iqbal , Javid Lama, diterjemahkn oleh syekh Mahmud Ahmad dengan judul The
Pilgrimage of eternety, (Lahore : Institut Of Islamic Culturem 1961)
Rahman
Terhadap persoalan tasawuf, dalam Islam terj. Ahsin Muhammad, cet. 2
(Bandung: Pustaka, 1994)
Abdul
Jamil, “Aktualisasi Tasawuf untuk masyarakat ....” dalam, Jurnal Theologis, 17
Februari 1993
Harun
Nasution dalam Munawar Budhy Rachman, ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam
Dalam Sejarah, (Jakarta L Para Madina, 1995)
HAR
GIBBn Shorter Encyclopedia of Islamic (Leyden : NEIJ. Preill, 1972)
Abdul
Hakim Hasan, al-Tassawuf fi syi’ral-Araby (Mesir: Maktabah Anglo
al-Misyiriyah, 1954)
Ibrahim
Basyuni, Nasyatu al-Tasawuf fi al-Islam (Mesir: Dar Ma’rif, tt)
Al-Ghazali,
Manhaj al-‘abidin, (Beirut : Dar alFikr, tt)
Anna
Marie Schimmel, Mystical Dimension of Islam (Chapel Hill, The
University of North Capolina Pressm tt)
Muhammad
Iqbal,The Reconstructrion of Religious in Islam, Terj. Osman Raliby, cet 3 (Jakarta :
Bulan Bintang, 1983)
Komaruddin
Hidayat dan Nuh Wahyudi Nafis, Agama
Masa Depan Perspektif Filsafat Parennial, (Jakarta : paramida, 1995)
Jhon
Naisbitt dan Patricia Aburdene, Megatrends 2000 terj. FX Budianto,
Jakarta : Binarupa Aksara, 1990
W.
Montgomery Watt, Islamic Political Though . terj. Hamid Fahmi Zakarsi
dan Tufiq ibn Syam (Jakarta : Beunebi Cipta, 1987)
Nicholson
The Mystic of Islam (London : Routlege and Kegan Paul, 1968)
Ismail
Raji al-Faruci, Tauhid, terj. Rahmani Astuti (Bandung : Pustaka, 1988)
[2] Hossain Nasr, 1979: 121.
[3] Hossain Nasr, 1979: 132.
[4] Penyebab kemandekan tasawuf
yang lain adalah masuknya unsur-unsur bid’ah dan praktek khurafat
kedalam Islam, sehingga umat Islam mulai terbuai dengan bentuk-bentuk pemujaan
terhadap syekh-syekh sufi daripada memikirkan dan memperhatikan ajaran-ajaran
sufi yang hakiki. Selain itu budaya taqlid yang telah mendarah daging
pada diri umat Islam telah menyebabkan inti ajaran tasawuf terpinggirkan.
Lihat Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin
Muhammad, cet., 2 (Bandung : Pustaka, 1994), h.286 dan 294.
[5] Abdul Jamil, “Aktualisasi
Tasawuf untuk masyarakat ....” dalam, Jurnal Theologis, no.17 Februari
1993, h.2.
[6] Lihat Harun Nasution dalam Munawar Budhy
Rachman, ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (jakarta L
Para Madina, 1995) hal.61.
[7] Ibrahim
Basyuni, Nasy’atu al-Tasawuf fi al-Islam (Mesir: Dar al- Ma’arif, tt),
h.51.
[8] HAR.
Gibb, Shorter Encyclopedia of Islam (Leyden : NEIJ. Preill, 1972),
h.671.
[9] Abdul
Hakim Hasan, al-Tashawuf fi syi’ral-Araby (Mesir: Maktabah Anglo
al-Misyiriyah, 1954), h.178.
[10] Al-Ghazali,
Minhaj al-‘Abidin, (Beirut : Dar al-Fikr, tt) hal.51.
[11] Anne
Marie Schimmel, Mystical Dimension of Islam (Chapel Hill, The
University of North Capolina Press,
tt.), h.14.
[12] H.A.R.
Gibb, Op.Cit..., h.670.
[13] Abdul
jamil, Op.Cit..., h.3.
[14] Ibid
hal.2.
[15] Lihat
Muhammad Iqbal, The Reconstructrion of Religious in Islam, terj. Osman Raliby, cet. 3 (Jakarta : Bulan
Bintang, 1983), h.49-52.
[16] Komaruddin
Hidayat dan Nuh Wahyudi Nafis, Agama
Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta : paramida, 1995), h.3.
[17] Abdul jamil, Op. Cit, hal.
7.
[18] Ibid. h. 80
No comments:
Post a Comment