Wednesday 16 January 2019

Nilai-Nilai Tasawuf Yang Relevan Bagi Pembinaan Karakter Kaum Profesional


Nilai-Nilai Tasawuf Yang Relevan Bagi Pembinaan Karakter Kaum Profesional
Oleh Prof. Dr. H. Muzakkir, MA
A. PENDAHULUAN
Membicarakan tasawuf Islam sepertinya tidak begitu relevan bagi kalangan masyarakat modern yang sedang memasuki suasana globalisasi dan kompetisi berbagai kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Tasawuf seperti terasing ditengah-tengah lalu lalangnya manusia yang sedang dikejar waktu untuk mencari nilai tambah pada hari-harinya yang kesemuanya berorientasi kepada nilai ekonomi. Kajian terhadap tasawuf terasa seperti menampilkan barang antik yang mempertahankan seseorang untuk tidak terlepas dari sikap fatalistik dan asketis.
Faktor yang menyebabkan munculnya kenyataan seperti itu, antara lain berpangkal dari kecenderungan memahami tasawuf dalam ruang lingkup gejala semantik semata tanpa melihat ia sebagai produk kebudayaan yang terkait dengan sejarah perkembangan keagamaan masyarakat. Pemahaman yang sempit menyebabkan tasawuf digambarkan bersimpuhnya seorang murid dihadapan para mursyid dengan pakaian yang sangat sederhana dan selalu pasrah dalam hidupnya, sebagai manifestasi dari sikap mencintai akhirat dan membenci dunia.
Faktor penyebab yang lain adalah disebabkan pula oleh posisi tasawuf yang terasa tidak populer ditengah-tengah ilmu keislaman yang lainnya yang menjadi kebutuhan mendesak seperti fiqh, teknologi dan aqidah. Disini, tasawuf hanya menjadi pelengkap saja dari keragaman dalam Islam meskipun oleh pengikutnya dipandang sebagai unsur esensial yang dapat menjadikan berkualitasnya amalan keberagamaan seseorang.
Kelompok-kelompok sufi (the sufi orders) yang melembaga dalam wadah tarekat (Arab, thoriqoh, jalan atau aliran tasawuf) begitu besar dalam membangun dan mengembangkan kehidupan Islam secara mendalam (esoteric).  Tanpa lembaga seperti ini, nampaknya dunia umat Islam akan kehilangan keseimbangan dalam memenuhi dan menjawab aspek batin keagamaannya. Sekalipun demikian sulitnya orang memahami tradisi yang satu ini sehingga akibat ketidaktahuannya mereka selalu mengecam kehidupan komunitas yang satu ini.Para pengamat sosial (antropolog, sosiolog dan sejarawan) banyak mencoba untuk “menjinakkan” lahan kajian kehidupan mereka yang rumit ini.  Kerumitan itu justru bagi sebagian ilmuwan merupakan lahan kajian yang unik dan menarik, semakin masuk kedalamnya semakin terbuai.  “Ia laksana kebun mawar” kata Schimmel, “aku enggan keluar…, setiap kuamati perilaku mawar itu semerbak baunya semakin membuat aku betah di dalamnya sehingga menimbulkan rangsangan-rangsangan pertanyaan yang tak pernah ada habisnya”.[1]
Seyyed Hossain Nasr mengatakan; “tariqoh is the most subtle ... aspect of Islam ... at the same time that is external effect is to be seen in many manifestation of islamic society and civilization”, bahwa tarekat sufi bukan hanya aspek terpenting dari Islam, tapi juga dalam panggung sejarah, mereka telah terbukti memberikan manifestasi yang sangat besar bagi pengembangan masyarakat dan peradaban Islam secara nyata.[2]
Kelompok puritanis dan awam yang hanya banyak mengenal Islam dari aspek exoteris (syari’at, lahiriyah, legal dan formal) sering kali mendeskriditkan keberadaan kelompok-kelompok sufidengan berbagai lembaga tarekatnya.  Ketegangan itu semakin melebar akibat yang satu lebih banyak menekankan lahiriyah semata, sementara yang lain lebih cenderung ke arah hakikat batiniyah dalam melakukan amalan-amalan Islam.
Sekalipun sebenarnya kelompok terakhir ini selalu berangkat dari tonggak-tonggak syari’ah, kecuali hanya orang-orang kebatinan murni saja.Simbolisme kehidupan dalam pengetahuan dan pengalaman beragama antara keduanya, yang satu lebih pada pengembangan potensi Nabi Hidlir as, yang satu lagi pada pengembangan potensi Nabi Musa as.Perilaku Nabi Musa as sebagai simbol exoterisme, seringkali terjebak oleh perilaku Nabi Hidlir as, yang lebih menonjolkan esoterisme-nya. Kedua potensi syari’at (exoterisme) dan hakikat (esoterisme) ini, pada akhirnya telah dipadukan oleh Nabi Muhammad saw.
Pendalaman untuk menempuh dan mencapai nilai-nilai hakikat beragama (Islam) sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw ini, kemudian dikembangkan dan dilakukan secara intensif oleh para sahabatnya, tabiin dan salaf as shalihin, mereka yang terakhir ini sering disebut sebagai kelompok-kelompok sufi. Namun demikian, untuk mencapai nilai-nilai hakikat ini memang memerlukan kesungguhan orang untuk mendapatkannya, sehingga jumlah mereka yang tertarikpun sangat terbatas. Mayoritas umat memandang sufi sebagai jalan yang pelik dan cukup rumit. Sehingga akibat kerumitan orang untuk memahami perilaku dan sikap hakikat mereka, masih saja  disebut mistik (gelap), bahkan tidak sampai disitu mereka katakan, bahwa sufisme adalah paham kelompok jumud, bid’ah dimana di dalamnya terdapat warna pasif dan anti intelektual. Padahal mereka itu sebaliknya kata Nasr:“Sufism is an active participan in a spiritual path and is intellectual in the veal meanning of this word. Contemplation in Sufism the higest form activity and in fact Sufism has always integrated the active and contemplative lives. That is why many Sufism have been teachers and scholars, artists and scientifists, and eve statesmen and soldiers.[3]
Tasawuf sebenarnya memiliki nilai-nilai yang indah serta mampu mengarahkan evolusi pengalaman keagamaan seseorang dalam Islam dan sangat relevan bagi pembinaan karakter para kaum profesional di era modern ini.Kita menginginkan tasawuf dapat menjadi sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat di era digital sekarang. Dengan demikian, maka jalan yang ditempuh adalah dengan mengaktualisasikan ajaran tasawuf tersebut dalam konteks kebudayaan masyarakat yang selalu berkembang.
Tulisan berikut akan memaparkan tentang nilai-nilai tasawuf yang relevan bagi pembinaan karakter kaum profesional.

B. PROBLEMATIKA ASAL-USUL TASAWUF
Pembicaraan mengenai asal-usul tasawuf tidak dimaksudkan untuk mengulangi kembali tradisi yang dikemukakan oleh para penulis buku-buku tentang tasawuf, tetapi untuk menempatkannya sebagai persoalan yang menjadi salah satu di antara sekian banyak penyebab kemerdekaan.[4]
Beberapa penulis tasawuf, baik dari kalangan Islam atau Barat memulai uraiannya dengan penjelasan mengenai asal-usul kata atau istilah dan dari situlah kemudian tasawuf diberi pengertian. Dengan pola uraian seperti itu, maka tasawuf tidak lagi dapat menyentuh esensinya sebagai pengalaman keagamaan yang cenderung bersifat kondisional, menyesuaikan diri dengan kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat.[5]Sarjana Barat seperti Nicholson memulai uraiannya tentang mistik Islam dengan paparan tentang asal usul istilah tasawuf yang macam-macam. Mengikuti kelaziman para pendahulunya ia akhirnya berkesimpulan bahwa pandangan yang mendekati kebenaran tentang istilah tasawuf adalah yang menyatakan bahwa tasawuf berasal dari shuf, yang berarti bulu domba.[6] Pertimbangannya adalah karena kesesuaian makna istilah ini dengan perilaku kebanyakan para sufi yang menampilkan diri sebagai manifestasi dari kebencian mereka kepada dunia materi serta kecintaan mereka kepada akhirat.
Kalangan muslim sendiri seperti Ibrahim Basyuni memberikan penjelasan mengenai asal-usul tasawuf dengan uraian tersendiri ketika menyatakan bahwa untuk memahami tasawuf harus berpangkal pada tiga elemen dasarnya, yaitu al-Bidayah, al-Mujahadah, dan al-Mazaqat.[7]Elemen pertama mengandung arti bahwa secara dasar manusia mengakui bahwa semua hal yang ada ini memiliki peluang yang sama untuk dekat dengan-Nya. Semakin dekat dengan-Nya maka semakin sedikit tabir pemisah yang menghalangi antara ia dengan Yang Maha Agung tersebut. Apa yang dikatakan oleh Makruf al Karkhy, bahwa tasawuf adalah mengambil hakekat dan bersikap acuh tak acuh terhadap apa saja yang ada ditengah makhluk, merupakan contoh dari pengertian elemen dasar yang pertama ini.[8]
Elemen kedua mengandung arti bahwa dalam mendekati Yang Maha Agung, Tuhan, manusia memerlukan kesungguhan dan perjuangan, yakni harus dilalui dengan mujahadah. Atas dasar ini seorang sufi sangat terlihat sebagai seorang yang sedang terikat dan menghindarkan diri dari kesenangan, agar dapat berkonsentrasi sepenuhnya kepada Tuhan. Bahkan banyak hal dapat dijumpai dalam cerita-cerita kehidupan sufi, misalnya dalam buku tazkirat al-Auliya’ karya Faridudin Attar dijelaskan bahwa betapa mereka sengaja menjalani kehidupan ini dengan penuh penderitaan agar dapat memisahkan diri dengan keterpautan dan keterpakuan pada kehidupan dunia yang mereka anggap dapat mengganggu hubungan cintanya dengan Tuhan.[9]
Secara teknis lagi, mereka juga membuat semacam tatanan teknis yang harus dilalui dengan usaha yang sangat keras lagi susah, untuk sampai kepada Tuhan. Misalnya jalan atau fase-fase ibadah yang dibuat oleh al-Ghazali mulai dari tingkatan terendah, aqabah al-‘ilm wa al-Ma’rifat, sampai tingkat tertinggi, yakni aqabah al-hamd wa al-syukur.[10]  Demikian pula, tahapan-tahapan suluk yang dibuat oleh para sufi mulai dari tahapan terendah, yakni tahapan taubat, sampai tahapan tertinggi seperti ma’rifat atau ittihad, merupakan suatu tahapan yang terasa asing bagi suatu masyarakat yang sedang terpacu oleh ideologi materialistis dan pragmatis. Atau masyarakat yang sedang berupaya memenuhi tuntutan-tuntutan ekonomis. Tetapi jika dilihat dari fenomena kehidupan keberagaman manusia dalam berbagai agama yang ada, hal itu memang merupakan suatu usaha yang lumrah bagi pengikut kehidupan mistik baik dalam Islam, Hindu, Kristen atau Budha, serta agama-agama yang lain.
Elemen ketiga mengandung arti manakala seorang penempuh jalan sufi telah melalui usaha keras dan susah tersebut, maka ia akan dapat merasakan kedekatan dengan Tuhan dan kelezatan rohani yang tiada tara. Seperti ungkapan al-Junaid bahwa tasawuf adalah suatu keadaan bersama dengan Tuhan tanpa adanya pemisah antara keduanya.[11]
Jika memahami tasawuf berangkat dari apa yang dipaparkan oleh Ibrahim Basyuni tersebut, maka paling tidak akan didapatkan cara untuk mengatasi kesulitan dalam memahami pengalaman orang yang cenderung tidak dapat diobjektifkan. Dengan kata lain dapat sedikit mengatasi kesulitan, seperti yang dirasakan oleh Schimmel yang mengambarkan seseorang yang memahami tasawuf ibarat memasuki kawasan perbukitan yang maha luas sebagai gambaran sulitnya memahami secara utuh representatif.[12]
Kata shuf yang dianggap paling tepat oleh kebanyakan penulis Barat dianggap sebagai anak korelatif dengan tradisi mistikus Kristen yang memakai pakaian terbuat dari bulu domba kasar sebagai bukti pertaubatan mereka kepada Tuhan dan keinginan untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Carra de Vaux misalnya, memberikan penjelasan mengenai pakaian para sufi meniru kebiasaan rahib Kristen. Dari sinilah nantinya akan muncul anggapan  bahwa tasawuf Islam muncul sebagai akibat adanya kontak dengan dunia luar Islam bukanlah produk pemikiran orisinil Islam.
Dengan keterjebakan pada pengertian semantik ini maka tasawuf Islam dalam perkembangannya harus selalu dituntut memiliki karakter sebagaimana yang diperlihatkan oleh perilaku lahiriyah para sufi yang meninggalkan kehidupan materi dan selanjutnya menuju kehidupan rohani. Ini berarti harus menolak segala bentuk asimilasi dengan kebudayaan yang selalu berkembang dalam suatu masyarakat. Atau dengan kata lain, mengikuti pola kehidupan dalam ajaran tasawuf selalu tampak tidak kontekstual.[13]Oleh karena itulah tasawuf selalu tampak terlihat ketinggalan zaman dan kurang relevan bila dibicarakan ditengah-tengah kesibukan manusia yang sedang disibukkan mengejar dunia, materi. Selain itu, penampilannya sering dicurigai sebagai bentuk penyimpangan agama yang tak pernah diajarkan oleh nabi dan karena itu hanya beberapa kalangan saja yang mengamalkannya.
Anggapan bahwa tasawuf merupakan fenomena mistik yang memiliki watak universal sebenarnya mengandung implikasi bahwa kemunculannya bisa saja terjadi tanpa adanya pengaruh dari tradisi diluar satu agama. Terlebih bila dilihat dari kecenderungan pemeluk suatu agama untuk mengadakan suatu tanggapan, respon, terhadap adanya panggilan yang datang dari dunia non-empiris. Maka sebenarnya dari masing-masing agama dapat saja tumbuh dan berkembang suatu usaha untuk melaksanakan ajaran agamanya secara ekstrem sebagai wujud penunaian panggilan tersebut. Dan apabila dilihat dari perkembangannya yang bersinggungan dengan protes terhadap suasana yang tidak menguntungkan untuk kehidupan kerohanian yakni tatkala muncul sikap berfoya-foya dari kalangan penguasa Umayyah, maka tasawuf muncul dengan warna yang menonjolkan corak apokaliptik.[14]Disinilah sebenarnya tasawuf muncul untuk menjawab tantangan zamannya, dan dengan begitu sebenarnya dan seharusnya ia juga dapat memberikan jawaban terhadap persoalan yang muncul dalam masyarakat sekarang, sudah barang tentu pola dan bentuk perilaku gerakan ditampilkan jelas berbeda dengan kemunculannya dimasa-masa yang lalu. Pola berpikir seperti itu yang juga dipakai oleh orang seperti Iqbal, kiranya dapat juga dijadikan sebagai landasan untuk mengaktualisasikan tasawuf dalam konteks masa kini atau masa yang akan datang, atau mungkin dalam konteks Indonesia, yang dipelopori oleh Hamka dengan konsep tasawuf modernnya.[15]

C.KARAKTERISTIK MASYARAKAT MODERN
Masyarakat atau manusia modern yang sering dikonotasikan sebagai suatu masyarakat yang telah memiliki kesadaran pragmatis-materialistis, rasional, dan sering diidentifikasikan sebagai masyarakat yang telah mencapai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata dalam perkembangannya menjadi terbelenggu oleh bias kemajuan yang dicapai.[16] Namun, harus diakui pula bahwa nilai-nilai yang diwariskan oleh kemajuan tersebut telah membentuk konstruk pemikiran masyarakat modern dan telah menghasilkan suatu bentuk kebudayaan dan peradaban yang semakin maju. Nilai-nilai tersebut adalah :
1.           Daya kreatif dan inovatif, akibat revolusi teknologi yang kemudian dibarengi dengan pola perekonomian pasar bebas maka terjadilah kondisi persaingan yang amat ketat dalam perekonomian antar bangsa. Dalam suasana demikian ini maka ada semacam tuntutan dari sejumlah lapisan masyarakat, khususnya negara-negara berkembang, untuk menumbuhkan nilai-nilai kreatif dan inovatif yang dapat menghasilkan kualitas produksi yang mampu bersaing dengan negara-negara lain.
2.           Orientasi waktu yang selalu kedepan. Orientasi yang demikian ini berbeda dengan apa terjadi pada masyarakat agraris yang pandangannya tentang waktu tidak membedakan antara kemarin, kini dan yang akan datang. Dengan kata lain, waktu menurut mereka adalah waktu siklus dalam arti waktu sekarang adalah pengulangan belaka dari apa yang terjadi dimasa lampau dan akan terjadi pula dimasa-masa mendatang.[17] Manusia yang berada ditengah-tengah suasana modern atau kontemporer seperti itu akan memiliki kecenderungan untuk selalu tidak penah merasa cukup mengkonsumsi waktu yang tersedia. Dan ia selalu berusaha untuk menggunakan waktu yang tersedia itu seefisien dan seproduktif mungkin.
3.           Peningkatan kecerdasan, karena jumlah manusia semakin bertambah dan pertambahannya tidak berimbang dengan kesempatan kerja yang tersedia, maka akan menimbulkan suatu persaingan yang amat ketat dalam berbagai sektor kehidupan. Terlebih khusus peluang untuk memperoleh kehidupan yang layak. Suasana yang demikian itu akan menimbulkan kehendak masyarakat untuk berusaha mencerdaskan generasi berikutnya. Akibatnya, kecerdasan masyarakat tersebut akan menimbulkan sikap kritis dalam berbagai hal, yang juga akan membangkitkan sikap kritis terhadap agamanya. Hal mana, kenyataan kemajuan yang telah dicapai oleh Barat membuktikan sikap ini.
Eric Fromm mengatakan bahwa, karakter masyarakat modern diwarnai oleh orientasi pasar, di mana keberhasilan seseorang tergantung kepada sejauh mana nilai jualnya di pasar.Masyarakat modern bagaikan penjual dirinya sekaligus sebagai komunitas yang siap dijual di pasar.Oleh karena itu penghargaan atas diri manusia itu ditentukan oleh nilai jualnya di pasar, akibatnya setiap orang termotivasi untuk berjuang keras menjadi pekerja sukses dan kaya, demi penegasan atas keberhasilannya.Kemakmuran melambangkan tingginya nilai jual, sementara kemiskinan dimaknai sebaliknya. 
Kebaikan, kejujuran, kesetiaan pada kebenaran dan keadilan sudah bagai tidak bernilai jika tidak memberikan manfaat untuk kesuksesan dan kemakmuran.Jika kondisi ekonomi seseorang tidak makmur, maka dinilai sebagai orang yang belum sukses, bahkan gagal dalam kehidupan. Keadaan seperti ini menandakan masyarakat modern, masyarakat yang mengalami keterasingan (aliensi), mereka tidak lagi berpijak kepada kualitas kemanusiaan, melainkan berpatokan kepada keberhasilan dalam mencapai kekayaan materi.
Kondisi ini memalingkan kesadaran manusia sebagai makhluk termulia.Keutamaan dan kemuliaan menyatu dengan kekuatan kepribadian, tidak bergantung pada sesuatu yang ada di luar dirinya.Oleh karena itu masyarakat modern mengalami depersonilisasi kehampaan dan ketidakbermaknaan hidup.Keberadaannya tergantung kepada pemilikan dan pengasaan symbol kekayaan, keinginan mendapatkan harta yang berlimpah melampaui komitmennya terhadap solidaritas sosial.Hal ini didorong oleh pandangan bahwa orang yang banyak harta merupakan manusia unggul.

D. APLIKASI NILAI-NILAI TASAWUF DALAM KAITANNYA DENGAN ETOS KERJA    DAN PROFESIONALISME KERJA
            Etos kerjaadalah merupakan pancaran dari sikap hidup mendasar pemiliknya terhadap kerja, yang dipengaruhi oleh dimensi individual, sosial dan lingkungan alam sehingga mempengaruhi dinamika (gairah/semangat) kerjanya. Etos kerja manusia berkaitan dengan dimensi individual bila dilatarbelakangi oleh motif yang bersifat pribadi. Jika dimensi sosial yang memotivasi aktivitas kerjanya seperti dorongan meraih status dan penghargaan masyarakat, maka ketika itu etos kerja orang tersebut sudah mendapat pengaruh kuat dan tidak terpisahkan dari dimensi sosial. Faktor lingkungan alam berperan bila keadaan alam, iklim dan sebagainya berpengaruh terhadap sikap kerja orang tersebut.          Pada kenyataannya, manusia adalah makhluk yang sangat kompleks, ia memiliki rasa suka, benci, marah, gembira, sedih, berani, takut, jenuh, letih, dan lain sebagainya. Ia juga mempunyai kebutuhan, kemauan, cita-cita dan angan-angan. Selain itu, ia mempunyai lingkungan pergaulan di rumah atau tempat kerjanya. Rasa benci yang terdapat pada seorang pekerja, ketidakcocokan terhadap atasan atau teman satu tim, kehidupan keluarga yang kurang harmonis, keadaan sosio-kultural, sosio-ekonomi dan kesehatan yang kurang baik dapat berpengaruh negative terhadap kegairahan dan aktivitas kerjanya.
            Bagi orang yang beragama, adalah sangat memungkinkan etos kerjanya memperoleh dukungan kuat dari dimensi trancendental (termasuk di dalamnya pengaruh tasawuf), yaitu dimensi yang melampaui batas-batas nilai materi yang mendasari etos kerja manusia, hingga pada dimensi ini kerja dipandang sebagai ibadah. Namun harus ditegaskan bahwa pemahaman parsial terhadap ajaran agama (Islam) juga dapat berpengaruh negative terhadap etos kerja.
            Dari pemaparan di atas, dapatlah dikatakan bahwa faktor-faktor yang berperan dalam proses terbentuknya etos kerja ternyata tidak tunggal, melainkan lebih dari satu dan bahkan bisa banyak dan saling berinteraksi satu dengan lainnya. Sistem keimanan atau aqidah islami, sebagai keyakinan dan pengalaman kehidupan sufi yang benar menjadi landasan bagi orang Islam, secara teoritis memang berpotensi besar untuk menjadi sumber motivasi etos kerja Islami yang selalu segar dan tak kunjung kering. Diantara penghambat etos kerja seperti kemalasan, kelemahan hati, pengaruh hawa nafsu yang merusak kepribadian, dapat dihindari dengan mempraktekkan kehidupan sufi (tasawuf) yang berdasarkan al-Quran dan as-Sunnah.
            Manusia adalah makhluk bekerja (homo faber). Manusia diciptakan untuk bekerja, dan kerjanya adalah ibadahnya apabila memenuhi syarat husnul fi’liyah (pekerjaan yang baik) dan husnul fa’iliyyah (yang mengerjakan baik). Tidak ada kesuksesan, kebaikan, manfaat atau perubahan dari keadaan buruk menjadi lebih baik kecuali dengan kerja menurut bidangnya masing-masing. Mereka yang enggan bekerja tidak mungkin menjadi Muslim yang baik. Kerja merupakan manifestasi dan bagian dari pengamalan Islam itu sendiri. Kerja produktif dalam rangka memenuhi kebutuhan pribadi, keluarga dan masyarakat, mengembangkan serta membangun daerah atau negeri, menanggulangi kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, memerintahkan berbuat ma’ruf, mencegah kemungkaran dan lain sebagainya dapat dikategorikan sebagai penegakan tugas khilafah manusia di muka bumi.
            Profesional adalah mengerti akan tugas (sesuai dengan keahlian/bidangnya) dan bertanggung jawab (amanah), kemudian bersungguh-sungguh mengerjakannya dengan kualitas yang terbaik (ahsan). Dengan bekerja secara profesional maka akan didapatkan hasil yang maksimal. Maka dapat dipahami bahwa profesionalismeadalah hal-hal yang berkaitan dengan bidang kerja yang telah menjadi keahliannya serta dikerjakan secara maksimal dan bertanggung jawab.
Etos kerja yang tinggi dan sikap keprofesionalan setiap individu harus diupayakan dan dibina secara terus menerus mengingat pada kenyataannya dunia kerja itu  sifatnya kompleks dan dinamis. Sebagai seorang muslim, perlu diingat dan ditanamkan dalam kalbu bahwa bekerja bukanlah hanya sekedar memenuhi kebutuhan dan mengejar kenikmatan yang sifatnya duniawi saja, melainkan sebagai jembatan menuju kebahagiaan ukhrawi yang hakiki. Setiap manusia adalah khalifah di muka bumi. Pekerjaan atau tugas kita saat ini merupakan amanah dari Allah dan telah ditakdirkan kepada kita berdasarkan Ilmu-Nya, DIA Maha Tau kadar iman kita, DIA Maha Tau kadar kemampuan dan intelektualitas kita. Pekerjaan juga dipandang sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman.
Kerja profesional yang Islami harus dibingkai dengan ajaran-ajaran yang terkandung dalam al-Quran dan as-Sunnah. Untuk meningkatkan etos kerja dan profesionalisme kerja dalam diri kita, para ahli sufi telah mengajarkan kita melalui sikap yang mereka contohkan dalam kehidupan mereka sesuai dengan ajaran dan konsep tasawuf. Diantaranya, sikap Optimisme, Istiqamah, Sabar, Ikhlas, Ridha, Qana’ah, Takwa, Takut, Tawakkal, Tobat, Zuhud, Wara’, Syukur, Cinta, Rindu, Shidiq, Syaja’ah, Takdir, Malu, Zikir, Doa, Tafakkur, Uzlah, Kemiskinan, dan Kematian.
1. Sikap Optimisme
            Sikap Optimisme atau harapan jelas mempunyai tujuan yang dapat membuat semangat kerja seseorang menjadi kuat, karena untuk menciptakan sikap optimisme ini membutuhkan usaha yang besar pula. Jika harapannya untuk bertemu dengan Allah, maka ia harus berusaha keras untuk mendekatkan diri kepanya-Nya. Namun jika ia berharap kehidupan didunianya lebih baik, maka ia harus bekerja keras dan bersungguh-sungguh.
            Untuk itu, tasawuf dapat mengajak kita agar bekerja keras untuk mencapai apa yang kita inginkan, namun apabila harapan itu tidak tercapai maka kita tidak boleh berputus asa, karena hal ini sangat bertentangan dengan sikap optimisme. Apapun pekerjaan yang kita lakukan, maka kita harus tetap memiliki sikap optimisme, agar apa yang kita harapkan dapat dikabulkan oleh Allah SWT. Dengan sikap optimis kita akan kreatif, namun tidak takabbur atau sombong.
2. Istiqamah
Istiqamah merupakan salah satu hal penting dalam melakukan suatu pekerjaan. Dengan sikap teguh atau konsisten yang kita miliki, maka dengan mudah kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan. Konsisten disini bisa kita lihat dari berbagai segi, terutama dalam hal tingkah laku yang akan kita perbuat. Seseorang yang tidak memiliki konsisten maka ia akan selalu gagal dalam melakukan pekerjaannya. Istiqamah yang dimaksud adalah berhubungan dengan perbuatan yang baik, dan tidak merugikan bahkan menyalahi aturan agama.
3. Sabar
Sabar dapat dipahami sebagai sikap tabah, tekun dan tangguh dalam menghadapi dan menyelesaikan berbagai problema hidup. Tidak ada orang yang sukses tanpa kesungguhan dan keuletan serta ketangguhan untuk meraihnya. Didalam suatu pekerjaan kita pasti akan menghadapi suatu tantangan, masalah ataupun kesulitan, serta adakalanya kita merasa lelah dan jenuh. Inilah ujian yang harus dihadapi dan disikapi dengan sabar.            Dengan sikap sabar, seseorang tidak mudah putus asa jika belum berhasil, tidak cepat menyerah ketika mendapatkan kesulitan, berusaha dengan bijak mencari solusi untuk mengatasi masalah yang terjadi, tidak larut dalam kesedihan ketika terkena musibah, dan ia akan cepat bangkit untuk menatap masa depan yang lebih cerah.
Rasa semangat kerja akan  lebih tinggi jika kita ingat untuk bersabar dalam menjalankan perintah Allah, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, yang mana untuk memenuhi kebutuhan itu semua juga memerlukan biaya besar yang hanya kita dapatkan dengan bersabar dan kerja keras.
4. Ikhlas
Ikhlas merupakan dasar etos kerja yang paling ideal, karena dengan sikap ikhlas seseorang tidak akan pernah mengenal lelah dalam menjalankan pekerjaannya. Berbeda dengan seseorang yang tidak memiliki sikap ikhlas, ia akan merugikan banyak pihak terutama dirinya sendiri. Sikap ikhlas juga membuat seseorang melakukan jujur dalam pekerjaannya. Dengan demikian, seseorang akan bertanggung jawab atas pekerjaan yang ia lakukan, ia juga sadar bahwa pekerjaan yang ia lakukan bukan hanya menguntungkan (bermanfaat) bagi dirinya, namun juga untuk orang lain.
5. Ridha
            Ridha berarti senang, juga merupakan sikap yang diperlukan dalam meningkatkan etos kerja.Ridha disini berarti senang terhadap segala perintah Allah, termasuk perintah mencari nafkah. Hal itu berarti kita sebagai umat Islam  harus berusaha keras dalam menghadapi hidup. Mencari nafkah merupakan salah satu tindakan ridha terhadap Allah, dan jika kita telah ridha maka pekerjaan seberat apapun kita akan merasa mudah dan senang dalam melaksanakannya.
6. Qana’ah
Qana’ah yaitu sikap merasa cukup dengan apa yang telah diperoleh. Seberapa pun upah yang kita dapatkan kita harus merasa sabar dan bersyukur.Karena sekecil apapun rezeki itu, janganlah kita mudah putus asa, percayalah semuanya telah ditentukan oleh Allah.Sedangkan apabila kita mendapatkan rezeki yang lebih, janganlah kita menghamburkannya dengan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Tujuan qana’ah mengajarkan kita untuk merasa cukup dengan apa yang kita punya, agar kita tidak terdorong terhadap perbuatan yang sangat dibenci Allah, seperti korupsi ataupun mencuri.
7. Taqwa
Taqwa berarti menjaga atau memelihara, dimaksudkan agar kita selalu menjaga diri terhadap perbuatan yang tercela. Memelihara rasa takut untuk melakukan tindakan yang dapat merugikan diri sendiri bahkan  menghancurkanperadaban manusia. Dengan taqwa kita dapat membangun dunia tanpa melewati batasan agama.
8. Tawakkal
Tawakkal yaitu sikap berserah diri dan mempercayakan secara bulat segalanya kepada Allah setelah melaksanakan suatu rencana dan usaha.Manusia hanya merencanakan dan mengusahakan, tetapi Allah yang menentukan hasilnya. Apapun hasil yang Allah berikan maka kita harus tabah menerimanya.
Tawakkal merupakan sikap optimis dan percaya diri, bahwa segala hal ada yang mengaturnya, yakni Allah swt. Bila kita mengikuti aturan-Nya, yakni sunnatullah, maka kita akan sukses, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kita meyakini sepenuhnya yang memberi keputusan hasil baik atau tidak adalah yang memiliki sunnatullah itu sendiri yakni Allah swt, serta kita yakin sepenuhnya bahwa itulah ketentuan terbaik menurut-Nya. Sikap tawakkal akan menjauhkan diri kita dari perilaku menyalahkan diri sendiri, marah dan menyalahkan keadaan atau orang lain, menjauhkan diri kita dari keputusasaan atau kekecewaan apabila hasil akhir yang terjadi tidak sesuai dengan rencana kita.
9. Taubat
Taubatmengandung etos kerja yang tinggi, karena pada intinya taubat adalah memperbaiki diri dari perbuatan yang tercela kembali kepada perbuatan yang terpuji sebagaimana yang telah diajarkan agama Islam, yaitu dengan cara mencari dan mengembalikan harta haram yang telah diperoleh. Sehingga taubat dapat meningkatkan semangat kerja kita untuk mencari nafkah halal dan mengembalikannya kembali dengan rezeki yang halal.
Taubat dapat dipahami agar kita berusaha tidak melakukan kesalahan sedikitpun, baik yang berhubungan dengan Allah maupun yang berhubungan dengan sesama manusia. Bila makna dan nilai taubat ini diimplementasikan dalam kehidupan, maka kita akan terhindar dari berbagai kesalahan, selalu waspada dan hati-hati dalam setiap pekerjaan yang dilakukan. Selain itu, dengan pengalaman ketuhanan yang diperoleh seseorang melalui istighfar (mohon ampun pada Allah) adalah pertama, menanamkan kerendahan hati yang tulus, karena kesadaran bahwa tidak seorang pun yang bebas dari dosa. Kedua, sebagai konsekuensi langsung dari kerendahan hati itu dengan banyak istighfar kita dididik dan dituntun untuk tidak mengklaim kesucian diri atau bersikap semuci suci (sok suci), yang mana sikap itu merupakan suatu kesombongan atau keangkuhan.
10. Zuhud
Zuhudmerupakan salah satu sikap yang diajarkan tasawuf, yaitu mengingatkan kepada umat manusia agar tidak terlalu cinta terhadap kekayaan yang ada didunia ini.Sikap zuhud tidak berarti membuat hidup kita melarat, sehingga membuat kita malas bekerja. Zuhud hanya mengajarkan kita untuk mencari nafkah yang halal dan tidak menghambur-hamburkan uang kita dengan perbuatan maksiat.Zuhud dalam pengertian ini sering dialihbahasakan dengan istilah ascetisisme dan diberi pengertian sebagai sikap mematikan terhadap kesenangan dunia. Pengertian ini diambil dari pengalaman sejarah dimana para zahid tersebut memiliki gaya hidup yang menolak segala bentuk kemewahan dalam rangka melenyapkan keterikatan hati terhadap dunia dan seisinya.
Bila dilacak dari sudut etimologi ia berasal dari bahasa Griks, ascatis yang artinya latihan untuk mengambarkan orang  dalam “penjara”. Latihan ini dalam agama Hindu disebut sebagai tapa, sedangkan dalam self mortification yakni suatu upaya pemendaman nafsu yang ada pada diri sendiri seperti yang diperlihatkan oleh Ibrahim al-Adham.[18]
Dalam kehidupan, zuhud dapat dipahami sebagai hidup sederhana, tidak berlebihan dan tidak pula kekurangan. Kesederhanaan merupakan prinsip hidup Islami. Tahapan-tahapan zuhud itu adalah, pertama, meninggalkan segala yang haram dan syubhat. Kedua, tidak melakukan sesuatu secara berlebihan walaupun halal, seerti makan, minum dan berpakaian. Ketiga, bersikap zuhud terhadap zuhud. Artinya tidak menganggap zuhud itu sebagai suatu hal yang perlu dibanggakan. Sebab membanggakan zuhud itu bukan sikap zuhud.
11. Wara’
Wara’ juga termasuk salah satu sikap yang diajarkan dalam tasawuf, yang artinyaberpantang.Maksudnya, kita harus meninggalkan segala hal yang tidak bermanfaat, atau yang belum jelas haram halalnya (syubhat) apalagi yang haram.Wara’ juga bertujuan untuk mengendalikan hawa nafsu kita terhadap kekayaan didunia ini. Untuk memakmurkan hidup kita, dengan sikap wara’ kita tidak akan melakukan perbuatan yang diharamkan agama, seperti berhati-hati ketika mencari rezeki yang halal dan sekuat tenaga menghindarkan dari berbagai sumber yang haram.
12. Syukur
Dengan rasa Syukur kita juga dapat meningkatkan semangat kerja, maksudnya kita dapat berterima kasih kepada Allah SWT terhadap nikmat yang kita peroleh, berterimakasih tidak hanya dilakukan dengan lisan, juga harus diikuti dengan tindakan.Misalnya, dengan bekerja lebih keras dan lebih baik lagi.Bekerja disini dalam rangka taat kepada Allah, sehingga pekerjaan itu tidak boleh sedikitpun ternodai oleh perbuatan yang dilarang oleh Allah.
13. Cinta
Cinta merupakan hal terpenting dalam meningkatkan semangat kerja.Mencintai pekerjaan kita saat ini berarti mencintai tugas yang diamanahkan Allah kepada kita. Telah kita ketahui, cinta terhadap Allah adalah cinta yang utama, cinta terhadap diri sendiri dan keluarga dapat kita tempatkan dibawah cinta kepada Allah. Dengan rasa cinta itu, sebagai muslim maka semangat kerja kita akan semakin tinggi. Dorongan semangat bekerja itu dapat berasal dari cinta yang kita miliki, yaitu cinta kepada Allah karena kita ingin bertakwa kepada-Nya, dan cinta kepada keluarga karena kita ingin memberikan kebahagiaan kepada mereka dengan memberikan nafkah yang halal.
14. Rindu
Sikap yang selanjutnya adalah Rindu, rindu disini adalah rindu terhadap Allah yang berada di atas rindu keluarga dan rindu apapun. Sikap rindu itu akan memacu seseorang untuk selalu berbuat aktif, baik dalam urusan agama maupun urusan duniawi. Seseorang akan semangat bekerja jika dia merasa rindu dengan keluarganya. Dengan demikian, rindu merupakan sikap yang dapat menumbuhkan semangat kerja yang kuat, dengan rindu keluarga berarti dia rindu terhadap Allah, Karena rindu terhadap Allah harus berada di atas rindu keluarga.
15. Shiddiq
Shiddiq  adalah benar atau jujur. Maksudnya, benar atau jujur dalam perbuatan ataupun ucapan.Sikap shiddiq dimaksudkan agar orang bekerja dengan jujur.Jujurnya seseorang dapat kita lihat pada pekerjaan dan ucapannya. Dengan demikian, shiddiq  dapat meningkatkan semangat kerja seseorang menjadi kuat. Maka tanpa bekerja, seseorang akan sulit membuktikan kejujurannya terhadap orang lain.
16. Syaja’ah
            Syaja’ahartinya berani, maksudnya berani melakukan perbuatan yang benar, meskipun menanggung resiko yang sangat berat.Seperti halnya dalam pekerjaan, seseorang pasti terkadang merasa sulit dalam menghadapi pekerjaannya yang disebabkan oleh rasa takut, namun jika dia mempunya keberanian yang tinggi, maka segala kesulitan itu dapat diatasinya.Dengan demikian syaja’ah juga dapat menumbuhkan semangat kerja yang kuat.
17. Percaya pada Takdir
Takdir  adalah sebuah ketentuan Allah tentang segala sesuatu yang belum terjadi didunia ini. Setiap orang telah ditakdirkan Allah untuk memiliki pikiran, kemampuan, kemauan, dan kebebasan yang bertujuan agar seseorang dapat bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya.Sehingga manusia ditakdirkan untuk bekerja keras mencari nafkah. Orang yang menyadari takdir yang digariskan Allah itu maka dia akan semangat bekerja sehingga dapat mensejahterakan hidupnya. Sebaliknya, jika seseorang mengingkari takdirnya, maka hidupnya akan selalu mendapatkan kesulitan.
18. Malu
Rasa Malu juga sangat penting dalam pembinaan karakter kaum profesional. Malu disini adalah malu terhadap Allah dan diri sendiri saat kita hendak melakukan perbuatan yang dilarang oleh Allah. Mempunyai rasa malu juga dapat mendekatkan diri kita kepada Allah SWT.Malu untuk berbuat jahat, maka dapat mendorong seseorang untung berbuat baik. Begitu juga dalam hal pekerjaan, seseorang akan malu melakukan kesalahan dalam pekerjaannya, maka dia akan terdorong untuk tekun dan bekerja keras sehingga tidak melakukan pekerjaan yang salah.
19. Zikir dan doa
Pada dasarnya zikir menurut ajaran Islam adalah mengingat Allah dalam setiap keadaan yang bertujuan untuk menjalin ikatan batin antara seorang hamba dengan Allah sehingga timbul rasa cinta, hormat dan jiwa muraqabah (merasa dekat dan diawasi Allah). Dengan adanya sikap dan perilaku zikir, iman seseorang menjadi hidup, terjalin kedekatannya dengan Allah. Zikir bisa melalui qalbu dengan merasa ridha atas segala keputusan-Nya serta mentasdiqkan Allah dengan keyakinan yang penuh, bisa melalui lisan dengan sering menyebut nama-Nya, dan bisa pula melalui perilaku dengan berorientasi semua perbuatan atau amal yang dilakukan hanya karena-Nya (lillahi ta’ala).
Ketika kita berzikir lisan dengan mengucapkan Allahu Akbar, maka harus dapat kita refleksikan bahwa kita membesarkan Allah swt sebagai sang Khaliq (pencipta) yang Maha Tinggi, dan mengecilkan apa-apa selain Allah. Kita agungkan asma Allah dalam shalat, dalam doa, kita bertakbir, namun pada kenyataannya dalam dunia nyata kita agungkan kekayaan, harta, kekuasaan dan kedudukan/jabatan. Pada saat kita bekerja di kantor, pada saat kita bersaing merebut pasar dan konsumen dalam berbisnis, tak jarang kita abaikan perintah-perintah Allah, kita lalai menunaikan shalat, kita berperilaku semena-mena atas jabatan yang kita miliki, kita menghalalkan segala cara tanpa peduli halal-haram agar terpenuhi keinginan/tujuan kita. Kita lupakan Allah swt, kita gantikan takbir dengan takabbur.
Zikir bukan hanya di mulut, secara lisan berjuta-juta kali menyebut nama Allah, tapi kering di qalbu dan di perilaku. Zikir harus dilakukan sinergis dalam diri kita, baik dalam qalbu, lisan maupun perbuatan, sehingga ia memiliki nilai efektivitas dalam kehidupan, baik di dunia maupun di akhirat.
Dengan menyebut nama Allah, mengerjakan shalat sunah, membaca al-Quran, zikir, dan doa, selain mendapatkan pahala bagi yang mengerjakannya, juga dapat membuat hati dan pikiran merasa tenang.Senantiasa menghadirkan dan menyertakan Allah dalam setiap aktivitas pekerjaan kita akan memunculkan ketentraman, kekuatan, optimisme, merasa dijaga dan dilindungi dari bisikan-bisikan syaithan yang dapat menjerumuskan kita berperilaku negative, selalu saja ada petunjuk, kelancaran dan kemudahan dari Allah bagi kita agar kita mampu menyelesaikan dengan baik pekerjaan sesulit apapun itu.
Doaadalah suatu tindakan memohon terhadap Allah untuk mendapatkan kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat. Harus kita sadari bahwa doa tidak dapat berdiri sendiri, dengan hanya berdoa sajaAllah tidak akan pernah mengabulkannya. Doa harus diikuti dengan usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh, dengan begitu permohonan itu akan dikabulkan.
20. Tafakkur
Tafakkur berarti perenungan, maksudnya kita perlu merenungkan ciptaan Allah yang ada dimuka bumi ini. Tafakkur adalah perbuatan wirid yang dapat mendekatkan diri kita terhadap Allah SWT.Tafakkur juga dapat memunculkan kerinduan kita terhadap perintah-Nya, salah satunya mencari nafkah untuk keluarga.Sikap tafakkur dapat memunculkan inovasi, kreativitas dan optimisme, menjadikan kita pribadi yang bermanfaat bagi orang-orang di sekitar kita. Didalam pekerjaan, tafakkur juga dapat diterapkan dalam mengelola kebijakan manajerial, merencanakan sesuatu dengan menganalisa dampak baik-buruknya, serta dalam upaya mengatasi kegagalan yang terjadi. Selain itu tafakkur juga dapat membuat hati dan pikiran kita tenang dalam melakukan pekerjaan kita.
21. Uzlah
Uzlah yaitu mengasingkan diri, yakni mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat, sehingga dapat menjauhkan diri dari perbuatan maksiat serta melatih kita untuk membiasakan diri melakukan ibadah.Oleh sebab itu dengan melakukan uzlah kita dapat menenangkan hati dan pikiran, sehingga dapat meningkatkan kembali semangat kerja kita dalam memenuhi kewajiban kita untuk mencari nafkah.
22. Kemiskinan
Kemiskinan atau farq artinya seseorang pada dasarnya adalah miskin secara spiritual dan material. Dengan kemiskinan itu, seseorang akan terdorong untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya dengan banyak beribadah dan akan bekerja keras untuk mencari rezeki yang halal dan banyak. Sehingga dengan konsep kemiskinan itu, sikap semangat kerja seseorang akan lebih terpacu.
23. Kematian
Peningkatan semangat kerja yang terakhir adalah dengan ingat Kematian.Mengingat  kematian tidak harus dengan menjauhi urusan dunia, tetapi melakukan perbuatan yang nyata dikehidupan dunia. Dengan ingat kematian pun kita akan membuat sikap kita untuk lebih berani menghadapi sebuah kematian. Itu berarti, sikap berani mati yang kita miliki dapat mendorong kita untuk lebih semangat bekerja sampai akhir hayat kita.
Orang yang ingat mati adalah orang yang sadar bahwa hidup didunia ini adalah sementara dan hanya sebentar, dengan begitu dia akan mempergunakan waktu yang tersedia dengan sebaik-baiknya untuk melakukan ibadah dan bekerja keras dalam mencari nafkah untuk keluarganya.
Dari pemaparan di atas, jelaslah terlihat bahwa nilai-nilai tasawuf sangat relevan diaplikasikan untuk pembentukan dan pembinaan jiwa, sikap dan perilaku individu yang terkait dengan peningkatan etos kerja dan profesionalisme kerja.
Semoga kita termasuk orang yang dapat melakukan sikap-sikap atau perbuatan yang dapat meningkatkan semangat kerja seperti yang dilakukan para sufi dalam mengamalkan ajaran tasawuf.

E. KESIMPULAN
Berusaha memahami nilai-nilai tasawuf secara elastis dan plastis tersebut dapat dilakukan jika ada kehendak yang baik, good will, dalam melihat khazanah pemikiran Islam secara fair dan lepas dari semangat predesposisi yang bersemangat sektarian. Penerapan cara pandang seperti ini dapat dilakukan misalnya melihat problem semisal al-Hallaj sebagai suatu variasi pemahaman Islam yang memiliki keabsahan dan tidak dipandang sebagai penjahat agama yang harus berakhir di tiang gantungan. Betapa ironisnya bahwa tragedi ini, menjadi semacam ancaman serius bagi siapa saja yang berani menyatakan pandangan agama yang berlawanan dengan penguasa.
Untuk melihat ada tidaknya nilai-nilai tasawuf yang applicable bagi masyarakat modern memang diperlukan adanya upaya aktualisasi ajaran dan perubahan visi terhadap metodologi pemahaman Islam dengan pemikiran replektrif yang terlepas dari keterpakuan terhadap rumusan yang ada. Terutama sekali ajaran-ajaran tasawuf yang pemahamannya sering terkooptasi oleh sakralistis tokoh sufi yang dikagumi, perlu kiranya diadakan kajian yang terarah pada aspek-aspek historisitasnya. Sehingga sangat mungkin akan terjadi reformulasi konsep-konsep tasawuf yang baru yang dinamis.Wallahu a’lam.




DAFTAR PUSTAKA

Syekh Mahmud Ahmad dengan judul The Pilgrimage of eternety, (Lahore : Institut Of Islamic Culturem 1961)

Muhammad Iqbal , Javid Lama, diterjemahkn oleh syekh Mahmud Ahmad dengan judul The Pilgrimage of eternety, (Lahore : Institut Of Islamic Culturem 1961)

Rahman Terhadap persoalan tasawuf, dalam Islam terj. Ahsin Muhammad, cet. 2 (Bandung: Pustaka, 1994)

Abdul Jamil, “Aktualisasi Tasawuf untuk masyarakat ....” dalam, Jurnal Theologis, 17 Februari 1993

Harun Nasution dalam Munawar Budhy Rachman, ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (Jakarta L Para Madina, 1995)

HAR GIBBn Shorter Encyclopedia of Islamic (Leyden : NEIJ. Preill, 1972)

Abdul Hakim Hasan, al-Tassawuf fi syi’ral-Araby (Mesir: Maktabah Anglo al-Misyiriyah, 1954)

Ibrahim Basyuni, Nasyatu al-Tasawuf fi al-Islam (Mesir: Dar Ma’rif, tt)

Al-Ghazali, Manhaj al-‘abidin, (Beirut : Dar alFikr, tt)

Anna Marie Schimmel, Mystical Dimension of Islam (Chapel Hill, The University  of North Capolina Pressm tt)

Muhammad Iqbal,The Reconstructrion of Religious in Islam,  Terj. Osman Raliby, cet 3 (Jakarta : Bulan Bintang, 1983)

Komaruddin Hidayat dan Nuh Wahyudi Nafis,  Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Parennial, (Jakarta : paramida, 1995)

Jhon Naisbitt dan Patricia Aburdene, Megatrends 2000 terj. FX Budianto, Jakarta : Binarupa Aksara, 1990

W. Montgomery Watt, Islamic Political Though . terj. Hamid Fahmi Zakarsi dan Tufiq ibn Syam (Jakarta : Beunebi Cipta, 1987)

Nicholson The Mystic of Islam (London : Routlege and Kegan Paul, 1968)

Ismail Raji al-Faruci, Tauhid, terj. Rahmani Astuti (Bandung : Pustaka, 1988)

Al-Cusyairi , Risalah al-Qusyairih, (T.P Isa al-Babi al-Halabi, tt)



[1]  Annimerie Schimmel, 1986.
[2]  Hossain Nasr, 1979: 121.
[3]  Hossain Nasr, 1979: 132.
[4]  Penyebab kemandekan tasawuf yang lain adalah masuknya unsur-unsur bid’ah dan praktek khurafat kedalam Islam, sehingga umat Islam mulai terbuai dengan bentuk-bentuk pemujaan terhadap syekh-syekh sufi daripada memikirkan dan memperhatikan ajaran-ajaran sufi yang hakiki. Selain itu budaya taqlid yang telah mendarah daging pada diri umat Islam telah menyebabkan inti ajaran tasawuf  terpinggirkan.
   Lihat Fazlurrahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, cet., 2 (Bandung : Pustaka, 1994), h.286 dan 294.
[5]  Abdul Jamil, “Aktualisasi Tasawuf untuk masyarakat ....” dalam, Jurnal Theologis, no.17 Februari 1993, h.2.
[6]  Lihat Harun Nasution dalam Munawar Budhy Rachman, ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, (jakarta L Para Madina, 1995)              hal.61.
[7]  Ibrahim Basyuni, Nasy’atu al-Tasawuf fi al-Islam (Mesir: Dar al- Ma’arif, tt), h.51.
[8]  HAR. Gibb, Shorter Encyclopedia of Islam (Leyden : NEIJ. Preill, 1972), h.671.
[9]  Abdul Hakim Hasan, al-Tashawuf fi syi’ral-Araby (Mesir: Maktabah Anglo al-Misyiriyah, 1954), h.178.
[10]             Al-Ghazali, Minhaj al-‘Abidin, (Beirut : Dar al-Fikr, tt) hal.51.
[11]             Anne Marie Schimmel, Mystical Dimension of Islam (Chapel Hill, The University  of North Capolina Press, tt.), h.14.
[12]             H.A.R. Gibb, Op.Cit..., h.670.
[13]             Abdul jamil, Op.Cit..., h.3.
[14]             Ibid hal.2.
[15]             Lihat Muhammad Iqbal, The Reconstructrion of Religious in Islam,  terj. Osman Raliby, cet. 3 (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), h.49-52.
[16]             Komaruddin Hidayat dan Nuh Wahyudi Nafis,  Agama Masa Depan Perspektif Filsafat Perennial, (Jakarta : paramida, 1995), h.3.
[17]             Abdul jamil, Op. Cit, hal. 7.
[18]             Ibid. h. 80

No comments:

Post a Comment